Banting Stir

3 0 0
                                    

Aku mendaftarkan diri di satu organisasi yang semalam sempat ku pilih. MAPALA IPB.

Kali ini aku benar-benar yakin bahwa organisasi itu akan menyelamatkanku agar tidak terus-menerus teringat dengan Kak Rangga. Bagaimana pun juga, aku lelah dengan semua penantian ini.

"Assalamualaikum." Suara seorang perempuan yang berada di depan pintu kamar asrama mengalihkan perhatianku saat sedang mengisi formulir pendaftaran MAPALA IPB di laptop.

"Waalaikumsalam. Kok kalian bisa dateng berduaan gini?" tanyaku heran ketika melihat Kenzia dan Fatin datang secara bersamaan.

"Iya, tadi kami ketemu di depan gerbang asrama. Pas banget," sahut Fatin.

"Kalian berangkat jam berapa dari rumah? Ini masih pagi banget loh," tanyaku.

"Sekitar jam 7 pagi," jawab Fatin.

"Ya kira-kira jam 8 pagi tadi, Lan. Ngejar waktu dong. Kan besok kita mau UTS."

"Iya sih betul juga," kataku.

"Lan? Lu daftar MAPALA IPB?" tanya Kenzia heboh.

"Iya nih. Lagi isi formulir."

"Ihh mantep banget. Kita bisa bareng dong nanti. Gue daftar MAPALA IPB juga."

"Oh iya? Asyikk dong," jawabku tak kalah heboh.

"Setelah UTS kita langsung berkegiatan katanya. Seru banget sih pasti," kata Kenzia.

"Duh jadi ngga sabar," sahutku.

Kemudian aku kembali melanjutkan mengisi data di formulir pendaftaran.

Sesekali, aku melihat smartphone ku yang tak kunjung menerima notifikasi apapun dari Kak Rangga.

Kali ini aku berusaha untuk tidak menghubungi Kak Rangga terlebih dahulu. Selain agar aku fokus ujian, aku juga mencoba untuk tidak mengejar dirinya lagi.

Aku mencoba mencari ruang untuk diriku sendiri. Memikirkan apakah yang selama ini aku perjuangkan adalah orang yang benar atau tidak.

Alih-alih selesai mengisi formulir pendaftaran, aku kembali memelajari materi yang akan diujikan esok hari.

Materi yang kupelajari bukanlah mata kuliah yang sulit, tapi tidak bisa dibilang mudah juga. Ya, mata kuliah yang akan diujikan esok hari adalah mata kuliah Bahasa Indonesia.

Malam ini aku telah memelajarinya secara keseluruhan. Dan untuk menunggu mata mengantuk, aku menonton Youtube dari channel Raditya Dika.

Aku memutar video itu dengan earphone yang terpasang di telinga.

"...Carilah pasangan yang kamu sendiri mau hidup dengan orang itu," ucap Raditya Dika di tengah-tengah videonya.

Jariku bergerak untuk mengulang bagian itu berkali-kali. Hatiku membenarkan. Pikiranku juga demikian. Namun, aku masih saja berusaha menyangkal pernyataan itu.

"Mau dengan orang itu." Aku bergumam.

Lagi-lagi pikiranku memikirkan makna dari kalimat barusan. Dan akupun menyadari sesuatu.

"Setelah dipikir-pikir, sepertinya aku tidak mau hidup dengan seorang lelaki yang selalu ingin dikejar. Aku juga tidak mau hidup dengan seorang lelaki yang tidak pernah menghargai keberadaanku," batinku.

Obsesi VirtualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang