Pencakar Langit

8 0 0
                                        

Malam keakraban yang direncanakan satu minggu lalu akhirnya akan dilaksanakan hari ini. Malam keakraban yang akan dilaksanakan di Campsite Gunung Halimun ini selalu menjadi tradisi turun menurun anggota MAPALA IPB.

Selama satu minggu lamanya, Kak Rangga juga tak menghubungiku sama sekali. Dan aku masih tetap berusaha untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu.

Beberapa kurun waktu ke belakang, aku mengaku bahwa aku yang terlebih dahulu menghubungi Kak Rangga. Namun, semakin kesini, aku (mungkin) mencapai titik lelah dengan sikapnya yang tiba-tiba hilang dan tiba-tiba muncul itu.

Setidaknya aku mulai melangkah. Dan aku berusaha mencari makna atas semua ini melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh MAPALA minggu ini.

Aku, Kenzia, Ical, Ojan, dan anggota lainnya kini sudah berkumpul di sekretariat MAPALA. Aku dan Kenzia sibuk memasukkan barang-barang kami ke dalam tas carrier. Sementara Ical dan Ojan sibuk membagi logistik kepada anggota lain.

"Duh ini gimana si biar tas carriernya bisa berdiri tegak? Perasaan jatuh mulu." kataku sembari menumpuk barang bawaan ke dalam tas carrier.

"Kalau mau tas carriernya berdiri tegak, matrasnya dilingkarin aja di dalem." Suara bariton yang berasal dari belakang punggungku sukses membuat aktivitasku terhenti.

Aku juga sempat melihat mata Kenzia yang terlihat sedang menatap seseorang yang ada di belakangku.

"Coba mana matrasnya," ucap seseorang itu sembari mengulurkan tangannya. Tangan yang terulur itu sama persis dengan tangan yang kulihat ketika mengambil kayu bakar.

Seketika aku terdiam. Lagi dan lagi aku melihat ketampanannya dengan dengan jarak yang sangat dekat. Rupanya sedari tadi ia berada di belakangku dan mendengar celotehan memalukan itu.

"Lan? Matrasnya?" tanya Kak Zavier untuk kedua kalinya. Pertanyaan kali ini sukses membuatku tersadar dari lamunan.

"Eh iya. Ini matrasnya, Kak," kataku.

Kak Zavier membantuku packing. Aku juga turut membantu mengarahkan.

"Barang yang paling penting harus ditaruh di bagian atas. Dan kebawahnya menyusul, kamu bisa taruh barang yang tidak terlalu penting selama di perjalanan," kata Kak Zavier.

Aku mengangguk. Tidak berani menatap mata elangnya itu.

Dan setelah selesai membantuku, Kak Zavier pergi meninggalkan aku dan Kenzia.

"Fix ini mah, Lan. Kak Pier naksir berat sama lu."

"Naksir gimana? Kan dia cuma bantuin aku packing. Nothing special."

"Lan... Lan. Ngga peka banget ya jadi cewe."

Aku sebenarnya tau apa yang dimaksud Kenzia. Tapi aku masih belum bisa menghancurkan tembok tinggi yang sudah ku bangun untuk tidak buru-buru percaya kepada orang lain. Apalagi kepada orang yang belum lama ku kenal itu.

Satu jam kemudian, kami diarahkan untuk naik truk. Kami memulai perjalanan pukul 10 pagi.

"Oke. Saya harap kalian sudah siap dan tidak ada yang ketinggalan ya. Pastikan teman sekelompoknya lengkap." Kata Kak Azur membantu mengarahkan kami.

Aku, Kenzia, Ical, dan juga Ojan tentu ada di dalam satu kelompok. Kami juga duduk bersebelahan saat berada di dalam truk.

Perjalanan menuju Campsite Gunung Halimun Salak memakan waktu sekitar dua jam. Selama itu pula aku menggunakan waktu untuk bercengkrama dengan anggota yang lain.

Bercanda dengan kawan selama perjalanan mampu menjadi obat paling ampuh untuk mengusir bosan. Hingga akhirnya, tak terasa kami sampai di campsite Gunung Halimun.

Setelah turun dari truk, kami dikumpulkan kembali.

"Kita akan istirahat selama satu jam dan setelah itu kita akan jalan ke area campsite." Kata Kak Azur mengambil alih.

Saat menyimak Kak Azur, aku tak sengaja melihat Kak Zavier berdiri di sebelahnya. Sebelum ketahuan oleh dirinya, aku terlebih dahulu melemparkan pandanganku ke arah lain.

"Yaudah, Lan, Ken, Cal. Kita duduk di deket sini aja sambil makan cemilan," kata Ojan kepada kami.

Satu jam itu benar-benar kami manfaatkan untuk beristirahat dan menunaikan ibadah sholat. Kami memang harus berjalan cepat agar dapat mencapai campsite sebelum matahari terbenam.

Dan setelah satu jam berlalu, Kak Azur mengambil alih perhatian kami kembali.

"Oke sekarang kalian bisa siap-siap untuk berjalan menuju campsite yang ada di atas sana ya. Kalian jangan sampai terpisah dari kelompok," kata Kak Azur kepada kami. "Di depan kalian juga sudah ada kakak pendamping yang akan menemani perjalanan kalian. Silahkan dari sebelah kanan saya untuk berjalan terlebih dahulu."

Kelompok kami didampingi oleh Kak Titan. Sepanjang perjalanan, Kak Titan juga bercerita saat dimana ia pertama kali mengikuti kegiatan ini. Kami menyimak ceritanya itu dengan antusias.

"Lan, kayaknya Kak Pier di belakang rombongan kita deh," kata Kenzia sembari berbisik kepadaku.

Mendengar itu, aku menoleh ke belakang. Dan benar saja, Kak Zavier berjalan di belakang rombonganku, bersama dua teman cowonya yang lain.

"Belum tentu. Udah biarin aja," kataku kepada Kenzia.

Tak terasa, cerita Kak Titan menemani kami hingga tiba di campsite yang kami tuju. Untungnya, matahari belum lekas terbenam.

Terhitung hampir selama tiga jam kami melangkah menuju campsite Gunung Halimun. Dan ini merupakan pengalaman pertamaku di kampus bersama dengan anggota MAPALA.

"Kalian boleh langsung mendirikan tendanya, ya," kata Kak Titan kepada kami.

"Oke siap, Kak."

Kami langsung saja melakukan perintah Kak Titan itu. Selain karena langit sudah mulai petang, kami juga membutuhkan tempat untuk sekadar menyantap makan malam.

Beberapa tenda dari kelompok lain sudah mulai berdiri sempurna. Tenda kami juga hampir selesai dipasang.

"Lan, tolong kasih patok di bagian sana, ya," perintah Kenzia kepadaku.

Aku langsung bergerak ke arah yang dimaksud Kenzia dengan membawa sebongkah batu berukuran besar. Mematok bambu sebagai patok bukanlah hal berat yang bisa saja dilakukan oleh kaum wanita.

Setelah tenda berdiri sempurna, kami diajak berkumpul dengan anggota yang lain. Malam ini, seperti malam keakraban pada umumnya, kami menyalakan api unggun.

Aku dan Kenzia juga sempat membakar jagung yang kami bawa.

Tiga angkatan anggota muda MAPALA IPB turut serta meramaikan acara pada malam ini. Acara kali ini tentu akan diramaikan oleh beberapa pertunjukan dari perwakilan angkatan.

Musikalisasi puisi, drama singkat, dan pertunjukkan sebuah lagu turut menemani malam kami. Taburan bintang di angkasa juga seakan-akan ikut menyimak pertunjukan dari kami. Pasalnya, bintang-bintang itu sungguh terlihat bercahaya meskipun tidak dilihat dari teleskop.

Aku dan Kenzia duduk bersebelahan. Kami sama-sama menyantap jagung hasil bakar-membakar tadi.

"Ngga ngerti lagi. Acaranya asik banget, Lan," ucap Kenzia di tengah-tengah pertunjukkan.

Aku setuju dengan perkataan Kenzia itu. Dan menikmati malam keakraban ini hingga acara selesai.

Ketika malam semakin dingin, aku justru teringat dengan sebuah lirik lagu yang seringkali aku dengarkan ketika sedang menunggu balasan dari Kak Rangga.

Ademe angin wengi, ra mampu nambani panase ning ati. Atikku mbok gawe loro amergo kuciwo, tresnaku mbok paro. Ora nyangka kowe tega tenan.

Obsesi VirtualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang