Sesuai Perkiraan

3 0 0
                                    

Benar kan ekspektasiku. Kak Rangga memang manis. Selain itu ia juga memiliki wajah yang ganteng nan putih. Pembawaan yang kalem benar-benar membuatku hanyut di dalamnya. Ia adalah tipeku. Ya Tuhan, yang begini yang selama ini ku maksud, Kak Rangga.

Selama menonton film itu, aku tidak henti-hentinya untuk memuja foto Kak Rangga. Padahal masih dalam bentuk foto, gimana kalau bisa lihat wajahnya langsung nanti? Tapi foto ini sudah sangat jelas, Kak Rangga adalah tipeku.

"Bagus ya filmnya." Kak Rangga membuka obrolan di akhir film. Aku kaget ketika dia berkata demikian dengan membuka kamera laptopnya. Rasanya seperti bukan kenyataan. Aku merasa sedang halu.

"I-iiya bagus, Kak." Aku menjawab pertanyaan Kak Rangga dengan terbata-bata. Kak Rangga nampak menatap layarnya, melihat wajahku yang tertampang di layar Kak Rangga.

"Eh iya, udah sampai mana persiapan ujian nasionalnya? UN sebentar lagi loh," tanya Kak Rangga kepadaku.

"Ya sudah bisa dikatakan lumayan lah hehe. Tapi ngomong-ngomong. Aku lebih pilih untuk fokus ke persiapan SBMPTN. Soalnya materi ujian masuk perguruan tinggi lebih susah."

"Berarti ujian nasional ngga begitu penting ya? Hehe," sindir Kak Rangga.

"Ngga bisa dibilang ngga penting juga si. Tapi berhubung nilai ujian nasional ngga berpengaruh untuk kelulusan SMA, jadi mending fokus ke yang belum pasti dan levelnya lebih susah. Ya kan?"

"Iya betul juga. Semangat terus ya! Ingat, kalau kamu amit-amitnya ngga dapet perguruan tinggi, kamu harus siap mental untuk terima kenyataan kalau temen-temen kamu dapet perguruan tinggi. Sakitnya terasa banget loh. Bukan hanya kamu yang sakit, orang tua pun pasti demikian."

"Siap. Aku bakal terus ingat sama kata-kata Kak Rangga barusan."

"Bagus lah."

"Ngomong-ngomong, ini Kak Rangga lagi dimana?"

"Ini aku lagi di kamar. Lagi ngga ada job juga. Makanya milih berdiam diri di kamar tercinta. Takut diambil alih sama penunggu tak kasat mata."

"Ih jangan gitu! Serem tau!"

"Hehe maaf bercanda, Nduk."

"Hmm ngga papa. Eh aku mau tanya. Kak Rangga ini asli mana? Kok agak medhok gitu ya bicaranya?" tanyaku yang sudah kepalang kepo dengan hal yang satu ini.

"Aku asli Malang, dek."

"Ohh Malang. Terus kenapa pilih kuliah di Jogja? Kan di Malang juga ada kampus?"

"Niatnya emang mau nyari jurusan seni rupa di kampus yang bagus. Dan akhirnya ketemu lah ISI Yogyakarta. Selain itu, disini ada om juga. Jadi, sekalian tinggal bareng om."

"Oh gitu. Berarti sekarang ini lagi di rumah om ya?"

"Betul. Disini juga sekalian bantu-bantu. Ngajarin ibu-ibu kompleks tabuh gamelan."

"Wow menarik! Berarti di tempat om nya Kak Rangga ini banyak gamelan ya?"

"Iya dong. Ada tempatnya sendiri bahkan."

"Tempat khusus gamelan gitu?"

"Iya."

"Keren juga."

"Iya aku emang keren. Hehe."

"Ish." Aku mencibir. Sebenarnya gemas saja dengan apa yang dibilang Kak Rangga barusan. Tapi kenyataannya memang begitu.

"Eh. Besok masuk sekolah kah?"

"Iya. Emangnya kenapa?"

"Kamu ngga tidur dek? Ini udah malem loh."

"Oh iya! Udah jam sebelas aja. Kok cepet banget sih."

"Ya begitulah kalau udah asyik. Suka lupa waktu. Jadi gimana?"

"Gimana apanya?"

"Jadi gimana, mau tidur ngga? Haha," kata Kak Rangga yang agak gemas dengan ketidaknyambunganku itu.

"Ya... em... ya... tidur lah... Masa engga."

"Ya sudah sana tidur. Aku juga mau tidur habis ini. Besok lagi ya. Selamat malam," ucap Kak Rangga dari seberang sana. Sementara aku hanya mengiyakan dengan anggukan kepala.

Besok lagi ya. Selamat malam.

Aku berani bertaruh kalau aku akan mimpi indah malam ini.

₰₰₰

Selepas mimpi indah semalam, aku kembali beraktivitas di hari ini. Tak lupa, setibanya di sekolah, aku menceritakan semua kejadian semalam kepada Audrey tepat di taman sekolah.

"Hah? Kok bisa langsung akrab kaya gitu?" komentar Audrey setelah mendengar ceritaku.

"Ya bisa dong. Gimana? Idaman bukan?"

"Idaman banget lah. Aku jadi iri woe. Kok kalian bisa uwu gitu si? Padahal kan cuma virtualan? Apa ngga takut dia macem-macem?"

Aku mengangkat bahu. Tak tahu pula jawabannya.

"Ehem. Kak Rangga siapa nih kalau boleh tau? Kok kayaknya asik banget daritadi ngomongin dia." Bagas ikut menyahut. Ternyata ia duduk di kursi belakangku. Mendengar semua cerita tentang Kak Rangga.

"Ini loh. Gebetan virtual nya Ilana. Mas mas Jogja. Masa ngga tau si, Gas."

"Ohh gebetan. Udah ada yang baru aja nih," kata Bagas berusaha memancingku untuk berbicara.

"Ihh engga. Cuma temen kok."

"Ya kan semua berawal dari temenan. Betul ngga, Drey?" Yang ditanya hanya mengangguk. Sedangkan aku justru merasa tidak enak jika membicarakan hal ini di depan Bagas.

"Bisa aja." Aku hanya menanggapi demikian.

"Yaudah deh. Terusin aja bahas Kak Rangganya. Aku ke kantin dulu ya. Bye," pamit Bagas kepada kami.

"Lan. Bagas kenapa deh? Kok kayak ngga suka gitu kalau kita ngomongin Kak Rangga?"

"Entahlah. Aku juga ngga enak sama dia jadinya."

"Hmm yaudah deh jangan dipikirin lagi. Mungkin lagi PMS."

"Bisa aja."

"Kita kembali ke laptop. Terus gimana kelanjutannya sama Kak Rangga?"

"Ya gitu. Semalem nonton film dan sempet ngobrol sebentar. Dan hari ini juga sempet main game bareng."

"AHHHH GILAA GILA GILAA INI SIH. Kalian udah deket banget loh! Jarang-jarang hubungan virtual bisa seakur ini loh."

"Entahlah, Drey. Aku juga ngga nyangka. Tapi ya itulah kenyataannya. Apalagi dia ganteng banget. Siapa si yang ngga demen."

"Terus terus? Nanti kalian mau ngapain lagi?"

"Hmm..." Aku jadi memikirkan hal ini. "Nanti deh aku pikiran lagi. Yang jelas, pokoknya setiap hari harus ada komunikasi sama Kak Rangga. Pokoknya harus."

"Iya iya deh yang lagi jatuh cinta. Aku cuma bisa menengadahkan tangan dan berdoa untuk kalian," goda Audrey kepadaku. 

Obsesi VirtualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang