Sundanese

4 0 0
                                    

Beberapa hari setelah mengerjakan tugas-tugas ospek, tiba saatnya aku harus berangkat menuju kota hujan. Kota Bogor yang menjadi tempat bertengger kampusku itu harus kudatangi sesuai jadwal sebelum ospek berlangsung. Aku berangkat menuju kota itu dengan diantar oleh kedua orang tuaku, tanpa Kak Guntur.

Audrey, Anwar, dan Bagas turut menilik kepergianku. Mereka tiba-tiba saja datang ke rumah ba'da maghrib, satu jam sebelum keberangkatanku.

"Eh, Lan. Kampusmu itu jauh banget deh. Kalo kita kangen gimana," celetuk Audrey kepadaku saat kami sedang duduk manis di ruang tamu.

"Sekarang kan udah di zaman modern nih, voice call bisa, video call pun bisa. Fitur ponselmu beda dari kita ya?" tangkis Bagas menanggapi pernyataan Audrey.

Aku terkekeh. "Iya, bener. Kan kita bisa virtualan dulu, Drey," kataku menenangkan Audrey yang bibirnya sudah manyun itu.

"Pulang pulang bisa kali ajarin kita bahasa sunda. Sekarang udah jadi orang Sundanese, kan?" ucap Anwar dengan mengerjapkan mata berkali-kali.

"Ish. Berangkat aja belum," sahut Audrey kesal.

Aku tersenyum getir. Sayang sekali harus meninggalkan mereka.

Ketika sedang asik-asiknya berbincang, ayah dan mama berteriak memanggilku.

"Lana ayo. Kita udah siap nih. Barang-barang yang mau dibawa ada yang ketinggalan ngga?"

Mataku menyisir ke setiap sudut ruang tamu.

"Kayanya udah masuk bagasi semua, Ma. Disini udah kosong," jawabku dari dalam rumah.

"Ya udah ayok," teriak mama dari depan.

Aku melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil. Sedangkan mereka berdiri di depan rumahku. Benar-benar mengiringi kepergianku dari kota perwira ini.

"Hati-hati, Lan. Kalau udah sampai kabarin ya. Kalau ada apa-apa, jangan lupa berkabar ya," kata Bagas sembari mendekat ke kaca mobil.

"Iya siap, Bos!" jawabku dengan semangat, tidak mau menebar kesedihan.

"Nanti kalau pulang, kabarin juga ya. Aku bawain kwetiau hehe," ucap Bagas.

Mataku mulai pedih. Ingin sekali rasanya menangis. Kenapa harus diiming-imingi kwetiau? Aku lemah soal itu.

"Nah iya tuh. Makanya jangan lama-lama disana, Lan," kata Audrey yang menghampiri kami berdua.

"Paling satu semester doang juga pulang kok. Homesick."

"Tapi harus tetep semangat, Lan. Biar kuliahnya lancar!" ujar Anwar kepadaku.

"Oke siap. Aku berangkat dulu ya. Kalian yang akur. Jangan berantem-berantem ya hehe."

"Iya siap, Lan. Kita ngga akan berantem, kecuali Bagas noh yang mulai duluan," jawab Audrey dengan nada sinisnya.

"Haha. Oke oke. Aku tinggal dulu ya," kataku dengan nada yang bergetar menahan sedih.

Lambaian tangan kami menjadi symbol perpisahan. Bayangan mereka bertiga yang semakin mengecil di mataku menunjukkan bahwa kami benar-benar ada di fase perpisahan. Aku sungguh sedih dengan hal itu.

Untuk mengusir rasa sedih itu, aku membuka ponsel dan menghubungi Kak Rangga.

Ilana : "Kak, aku berangkat ke Bogor malam ini."

Obsesi VirtualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang