Selangkah Lebih Nyata

4 0 0
                                    

Keesokan harinya, sesuai persetujuan semalam, kami selaku panitia buku tahunan berkumpul di taman sekolah. Kami membicarakan beberapa hal penting yang harus dipersiapkan. Mulai dari pembagian tugas serta timeline ke depannya.

"Sebelumnya aku mau ngucapin terima kasih buat kalian yang udah bersedia untuk membantuku nyiapin tetek-bengek buku tahunan sekolah tahun ini," ucap Tristan selaku ketua buku tahunan sekolah tahun ini.

"Dan sebagai informasi, karena ini panitia yang sifatnya informal, kita boleh minta tolong ke siapa saja yang memang bisa membantu dalam hal ini. Toh juga buku tahunan ini kan nantinya untuk kita semua," lanjut Tristan sembari menggulung buku catatannya itu.

Kami mengangguk. Menunggu ucapan Tristan lebih lanjut.

"Nah. Untuk pertemuan perdana kita di pagi ini, aku cuma mau nyampein beberapa hal yang harus kita siapin untuk beberapa waktu ke depan," kata Tristan dengan membuka buku yang bentuknya sudah tergulung karena ulahnya itu.

"Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tema untuk BTS (Buku Tahunan Sekolah) ini. Tema yang kita ambil akan sesuai dengan kesepakatan kita bersama satu angkatan kelas 12. Untuk pengambilan kesepakatan, kita bisa lakukan musyawarah dengan anak-anak lain. Gimana? Ada yang mau ditanyakan?" jelas Tristan panjang lebar.

"Eh, Tan. Izin tanya, kalau untuk vendor BTS udah ada atau belum?" tanya Audrey kepada Tristan.

"Oh iya. Aku lupa ngasih tau. Jadi untuk vendor BTS aku udah sempet ngehubungin kakak kelas alumni yang sempet ngurusin BTS. Mereka ngasih kita kontak vendor untuk BTS tahun ini. Jadi, nanti kita tinggal pilih aja kira-kira tema dan harga mana yang mau kita pilih."

"Izin tanya, Tan. Untuk pemilihan tema BTS nanti sistemnya mau gimana?" tanya Wigan kepada Tristan.

"Kalau untuk itu, kita buka pengumuman aja buat anak kelas 12. Kita minta mereka kumpul di aula setelah pulang sekolah. Gimana?" ucap Tristan.

"Setuju," ucap kami berlima secara bergantian.

"Oke. Selanjutnya itu yang jadi PR buat kita. Langsung aja aku bagi tugasnya ya. Anwar dan Audrey temenin aku buat konsultasi dengan waka kesiswaan dan setelah itu bikin power point presentasi dari ketiga tema BTS. Wigan, Bagas, dan Ilana bantu buat urus aula dan segala persiapannya ya untuk musyawarah nanti. Gimana? Ada yang keberatan?" tanya Tristan kepada kami.

"Boleh boleh," ucap Wigan mewakili kita semua yang sedang menganggukan kepala.

"Oke mungkin segitu dulu dari aku. Nanti kita saling berkabar aja di grup terkait progrees tugas masing-masing. Ada tambahan?"

"Dari aku cukup, Tan," sahutku.

"Baik. Terima kasih untuk kalian yang udah nyempetin waktunya buat diskusi di jam istirahat. Maaf ya jadi ganggu waktu kalian hehe. Mungkin sekian dulu dari aku. Bentar lagi udah mau bel juga. Sekali lagi terima kasih ya, ," ucap Tristan mengakhiri diskusi pada pagi ini.

Sembari berdiri, aku kepikiran sesuatu. "Eh, Gas, Gan. Gimana kalau kita ngehubungin Pak Asep buat pinjem aula dan lain-lainnya saat istirahat kedua nanti? Istirahat kedua nanti kan waktunya lumayan banyak tuh," usulku kepada Wigan dan Bagas.

"Eh iya boleh tuh. Gimana, Gas?" tanya Wigan kepada Bagas yang sedang berdiri di sebelahnya itu. Sementara Bagas hanya mengangguk. Tanda ia setuju dengan usulanku.

Dan ketika bel istirahat kedua berbunyi, kami bertiga langsung mencari keberadaan Pak Asep.

"Biasanya Pak Asep ada di dapur sekolah nih kalau jam segini," celetukku saat berjalan dengan dua orang bertubuh tegap pegiat alam ini. Siapa lagi kalau bukan Wigan dan Bagas.

"Yaudah kita kesana aja," jawab Bagas meresponku.

Akhirnya kami bertiga menuju ke arah dapur sekolah yang letaknya dekat dengan kantin kejujuran. Dugaanku benar. Pak Asep berada di dalam dapur sekolah itu sembari menghisap rokok batangnya.

"Permisi, Pak Asep." Sapaku ketika berada di depan pintu dapur berwarna hijau pekat. Yang dipanggil akhirnya mendekat ke arah kami.

"Eh, Lana. Ada apa nih rame-rame kesini? Kangen ya sama saya?" Aku tertawa singkat mendengar ocehan Pak Asep dan kemudian menjelaskan tujuan kami kesini.

"Jadi gini, Pak. Kami bertiga mau izin untuk pinjam kunci aula sekolah untuk keperluan musyawarah pemilihan tema buku tahunan sekolah. Boleh kan, Pak?"

"Wahh boleh banget. Apa si yang engga buat Neng Lana," goda Pak Asep. "Mau dipinjam kapan emangnya?"

"Besok siang sepulang sekolah, Pak," sahut Bagas.

"Bisa bisa."

"Untuk perlengkapannya juga bisa kami pinjam kan ya, Pak? Sound, mic, proyektor, dan lain-lainnya ada kan?" tanya Wigan tak mau ada yang ketinggalan,

"Oh iya bisa. Itu semua ada di dalam aula ya. Nanti kalian cek dulu aja masih bisa dipakai atau tidak."

"Untuk kuncinya bisa kami ambil kapan ya, Pak?" tanya Bagas.

"Besok boleh. Di jam istirahat kedua. Temui saya saja disini."

"Siap. Terima kasih banyak sekali lagi, Pak. Lana pamit balik ke kelas dulu, ya," ucapku kepada Pak Asep yang dibalas anggukan olehnya.

"Akhirnya kelar juga urusan satu ini," ujar Wigan lega saat meninggalkan dapur sekolah. "Eh, aku sekalian kabarin ke Tristan di grup panitia kali ya." Dan kami setuju dengan itu.

₰₰₰

Lagi dan lagi. Setelah seharian cukup padat mengurus BTS di sekolah, kini saatnya merebahkan diri di kasur. Memutar lagu keras-keras dari sang legendaris Avenged Sevenfold. Earphone yang terpasang sempurna di kedua telinga, mata yang terpejam, dan jiwa yang sedang konser sungguh menjadi kombinasi relaksasi tersendiri.

Sekitar satu jam berada di posisi yang tidak bergerak sama sekali itu, aku baru teringat bahwa ada berkas daftar hadir yang belum sempat ku kumpulkan pada email guru. Terpaksa aku harus terbangun dari zona nyaman ini.

Tanganku bergerak membuka laptop dan langsung mencari berkas itu. Untungnya, aku sudah mengerjakan dari jauh-jauh hari. Jadi, sekarang tinggal mengumpulkan saja.

Ketika tugas itu telah terkirim, aku mendengar notifikasi WhatsApp. Sebuah chat masuk ke dalam smartphone-ku. Aku sempat tersenyum kecil. Tak mau mengelak, aku mendambakan pesan ini.

Kak Rangga : "Lagi ngapain, Dek?"

Ilana : "Habis ngumpulin tugas. Lagi nyantai aja sekarang."

Kak Rangga : "Nonton bareng yuk."

Aku sungguh tidak menyangka Kak Rangga se-to the point itu. Kira-kira angin apa yang membuatnya bersikap seperti itu?

Ilana : "Gimana caranya?"

Kak Rangga : "Pake zoom aja. Nanti nonton bareng disana."

Ilana : "Oke. Mau nonton apa emangnya?"

Kak Rangga : "Nonton Mariposa kali ya?"

Ilana : "Emang suka?"

Kak Rangga : "Nggak tau. Kan belum nonton."

Ilana : "Yaudah deh, yuk."

Malam itu, untuk yang pertamakalinya, aku "bertemu" secara virtual dengan Kak Rangga. Bukannya film yang kutonton, aku justru salah fokus dengan foto yang digunakan Kak Rangga pada akunzoomnya. 

Obsesi VirtualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang