Arga yang merupakan bintara berpangkat Sersan Satu yang menjadi ajudan itu menaikan satu alis begitu anak atasannya itu masuk ke mobil sambil memegang kepala.
"Minta tolong kita ke rumah sakit dulu, Pak." Suara Wildan lesu bercampur kesal di dalamnya.
"Kamu kenapa, Mas? Berantem?"
Wildan menoleh dengan wajah kesal. "Ini lebih mengerikan dari berantem, Pak. Cewek gila itu bisa-bisanya menganiyaya gue. Lihat aja bakal gue balas dua kali lipat. Pokoknya ke rumah sakit, Pak."
"Siap." Arga menahan tawanya kuat-kuat agar tak menertawakan anak dari Jenderal Bintang Satu itu. "Cewekmu, Mas?"
Wildan menghela napas kasar. "Cewek gue gimana sih, Pak? Dia bukan tipe gue banget. Astaga, ada cewek dengan sifat kayak manusia kanibal gitu. Psikopat mengerikan. Mama aja enggak pernah mukul kepala gue dan dia seenak jidat bisa mukul kepala gue.
"Kan enggak lucu kalau misalkan gue gagal tes kesehatan pas masuk Akmil cuma gara-gara ada masalah di kepala. Cewek itu bener-bener!"
Arga geleng-geleng kepala. "Miris bener sih kamu, Mas, Mas."
"Berarti belum ada yang cantik di sekolah, ya, Mas? Lagian saya nanya ada yang cantik enggak di sekolah, Mas Wildan bilang enggak ada karena muka cewek satu sekolah sama semua."
Arga mempertanyakan kenormalan Wildan sebagai pria.
***
"Ekhem ...."
Dinda menghentikan acara menyendok nasi dari termos nasi ke piring sebelum mendongkak ke arah pria yang sedang berdiri di hadapannya dengan menyilangkan kedua tangan di dada itu.
Ekspresinya langsung berubah datar dan tatapannya seolah ingin memakan. "Mau apa lagi lo?!"
"Gue menuntut tanggung jawab," ujar Wildan dengan ekspresi tak kalah datar.
"Hah? Tanggung jawab? Kepala lo tanggung jawab!" Centong nasi hampir mendarat di kepala Wildan. Cuma menggertak.
"Hettttttt ...." Wildan sampai melotot sambil menghindar. Cewek di hadapannya itu benar-benar bermasalah dalam pengendalian emosi dan pengendalian tangan yang bisa mendarat asal di tubuh orang lain, pikirnya. "Gue bisa aja laporin lo ke polisi atas tuduhan penganiyayaan!"
Bukannya merasa terancam, pipi Dinda malah mengembung dan sedetik kemudian benar saja, tawa membahananya keluar membuat dirinya menjadi pusat perhatian di kantin. "Hah? HAHAHAHAHAHAHAHAHA ...."
Wildan melongo karena baru pertama kalinya melihat gadis yang tidak tahu cara anggun dan menjaga image sedikitpun. Dia merasa ngeri.
"Aduh, perut gue, perut gueeeee. Lo suka ngelawak, ya. Terhibur banget gue," katanya dengan nada sinis bin ketus.
Wildan malah tambah jengkel karena diejek. "Gue serius! Apa yang lo lakuin itu membahayakan gue."
"Emang lo punya bukti?" tantang Dinda.
"Di sini ada CCTV." Wildan yakin sekali.
"CCTV kepala lo!"
Sontak Wildan mendongkak ke segala arah mencari CCTV tapi tak menemukan apa pun. Baru sadar bahwa itu sekolah anak kelas menengah.
"Gue ... ada saksi." Masih tak ingin kalah.
"Sano dan gengnya? Emang mereka mau bersaksi buat lo? Makan mereka aja setiap hari digratisin emak gue. Well dari planet mana sih lo sampe kagak tahu gue dan Sano itu tetanggaan?"
Kali ini Wildan kehilangan pembelaan. "Gue bakal pastiin--"
"Mending lo pergi aja sebelum centong nasi ini menempel di muka lo!" Nada Dinda sarat akan ancaman dilengkapi tatapan mengerikannya.
Wildan melotot. "Lo ...." Perkataannya terhenti begitu smartwatch hitam di pergelangan tangannya bergetar menandakan ada panggilan masuk. Itu smartwatch khusus dari ayahnya yang dilengkapi kamera pengawas untuk mengetahui keberadaan dan pergerakannya untuk alasan keamanan. Dan, luar biasanya, Wildan tak tahu hal tersebut.
"Ya, Pak?"
"Mas Wildan, saya di depan. Mau mengantar titipan donasi dari ibu untuk pihak sekolah. Mas Wildan di mana? Di kafetaria sekolah?" tanya Arga dari seberang.
Alis kiri Dinda malah meninggi. "Kafetaria?" Sejak kapan sekolahnya punya kafetaria? Pikirnya bertanya-tanya.
Wildan mulai panik. "Saya ... saya di kantin, Pak."
"Kantin?"
Gawat, pikir Wildan. Pasalnya sekolahnya tidak ada kantin. Pelayanan makan semua melalui kafetaria sekolahnya.
"Maksud saya ...."
"Posisinya di mana, Mas? Soalnya ibu nitipin kue untuk Mas Wildan nih."
"Oh ... okay, Pak. Saya ke sana." Dia langsung menyentuh tombol mengakhiri panggilan.
"Jadi lo nyusup ke sekolah ini?" Tatapan Dinda tajam sekali.
Wildan berusaha tetap santai. "Maksud lo?"
PRAKKKKKK
Tak menjawab, tangan Dinda sudah bertindak. Piring berisi nasi sudah menempel di wajah Wildan yang berakhir wajah pria itu dipenuhi nasi putih. Mubadzir di mana-mana.
"HEYYYYYYY ...." Wildan kehilangan kesabaran kali ini.
Mau adu jotos dengan Dinda, sayang sekali Jihan sudah muncul.
"Bu Reni?"
Sontak Wildan menoleh ke samping. Hendak mengajak kenalan tapi wajahnya sudah tak keren.
"Jihan? Kamu mau makan apa?"
"Enggak. Aku mau bantu cuci piring aja deh."
1
2
3
"Ji--" Mulut Wildan sudah dibekap duluan dan kakinya diinjak membuatnya merunduk paksa di bawah kolong meja. "AAAAA ...."
Jihan malah mengerutkan dahi. "Aku kayak denger suara tadi, Bu."
Reni yang sejak tadi menyiapkan bumbu soto itupun berpikir hal yang sama. "Iya, Ibu juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...