Dinda sedang bersandar di kursi kayu di depan rumahnya sambil menatap foto-fotonya bersama Jihan di ponselnya.
Ya, Jihan. Gadis cantik dan cerdas yang menjadi idaman mayoritas pria di sekolah untuk dijadikan istri di masa depan.
Berbeda sekali dengan dirinya yang justru ditakuti banyak orang dan terkesan selalu muncul sebagai ancaman, pikirnya.
"Pantes aja si Wildan suka sama Jihan. Dia cantik, lemah lembut, udah gitu pinter banget," batin Dinda mendadak galau.
1
2
3
Manik hitamnya langsung melotot lantaran tersadar. "Ihhhhhhh ... kenapa gue mikirin si manusia durhaka bin serakah itu?" ucapnya histeris kepada dirinya sendiri.
Tak lama dia menatap bekas luka di telapak tangannya yang sudah mengering dan sembuh. Dia terkenang peristiwa di siang itu saat Wildan tiba-tiba muncul dan mengobati tangannya begitu saja. Sangat tulus sampai dia tak menemukan satu cara pun untuk menolak.
"Dindaaaaaaa, sadarlah! Dia deketin lo itu sengaja biar lo luluh dan bantuin dia dapetin Jihan. Pokoknya enggak boleh kasih kesempatan ke dia. Karena dia sukanya sama Jihan. So, jangan baper!" batin Dinda mengingatkan dan menegaskan kepada dirinya sendiri.
Namun, wajah Dinda kembali galau. Entah kenapa dia mulai merasa iri dengan Jihan. Cepat-cepat ditepisnya perasaan itu.
Gadis polos bernama Ashafa Jihan Salsabila itu adalah sahabatnya sejak SMP yang selalu ingin dilindunginya dari ancaman pria-pria tak berkualitas. Saking sayangnya pada Jihan, Dinda sangat takut terjadi apa pun pada Jihan.
Hanya Jihan yang bisa memahaminya melebihi orang lain. Dia selalu ingin membahagiakan dan mendampingi gadis itu ke manapun. Tanpa dia sadari, Jihan sudah menjadi dunianya.
.
.
"Jangan sampai persahabatan lo hancur karena perasaan enggak jelas bin pria aneh. Enggak banget! Bangun persahabatan itu butuh waktu lama dan sulit melebihi bangun perasaan sesaat yang bisa putus kapanpun."
***
"Assalamu'alaikum."
Reni tersadar dari kegiatan melap meja di depan rumahnya saat mendengar suara yang tak asing itu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Nak Wildan." Wanita paruh baya itu tersenyum hangat ke arahnya membuat Wildan seperti merasakan perasaan 'pulang' yang sesungguhnya. "Nak Wildan mau makan? Ibu buatin, ya? Udah habis soalnya. Kita buka dari siang."
Wildan tersenyum lebar. "Ah, enggak usah repot-repot, Bu. Cuma mau mampir aja."
"Oh gitu."
"Adindanya ada, Bu?" Langsung menuju pertanyaan intinya.
Reni menggeleng. "Dinda lagi keluar. Lagi beli lampu buat ganti yang di ruang tamu itu, Wil. Makanya gelap. Maaf, ya, Nak Wildan jadi berdiri di sini."
Hati Wildan agak kecewa. "Ah, enggak apa-apa, Bu. Nanti biar saya yang pasangin aja."
Belum berterima kasih kepada Wildan, Reni sudah mendapati kehadiran Dinda yang baru turun dari motor maticnya itu.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Nih Dinda, Wil," ujar Reni.
Wildan pun menoleh dan tepat sekali Dinda pun menatap penuh selidik ke arahnya.
"Wildan?"
Seketika senyum Wildan langsung terbit seiring dengan hatinya yang menghangat. Sangat lebar. Efek tak bertemu lama. "Hai Adinda Prastowo." Siapa lagi yang akan menyapa Dinda dengan nama selengkap itu kalau bukan Wildan seorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...