PAHLAWAN?

4.4K 593 14
                                    

"Aku pengen gabung di acaranya Diandra."

Sahara menghentikan kunyahannya sebelum menatap dingin putra semata wayangnya itu.

"Tidak pergi ke manapun malam ini!" titahnya sebelum melanjutkan makan malamnya.

Sonya langsung melihat aura amarah mulai menyeruak di meja makan. 

Wildan menatap pria paruh baya itu dengan sedikit kesal. "Tapi--"

"Pergi saja ke pestanya Diandra kalau kamu bukan anak saya."

"Diandra itu teman sekelasku. Semua temen-temenku dateng." Wildan bersikeras membuat Sahara kembali menatapnya dengan dingin.

"Ya, mereka boleh dateng. Karena mereka bukan anak saya. Kamu anak saya!" tegas Sahara membuat Wildan sangat kesal.

Tanpa banyak kata, pria itu langsung meninggalkan meja makan tanpa pamit.

"Enggak sopan! Jadi anak bandel aja! Sampai umur berapa baru dia mengerti, setiap tindakannya itu bisa membuat orang berpikir bahwa itu adalah aplikasi dari didikan saya padahal saya enggak pernah didik dia jadi berandalan kayak gitu!" ujar Sahara sambil melanjutkan kembali makan malamnya.

Sonya langsung menyentuh lembut lengan suaminya itu. "Nanti mama bicara sama Wildan, Pa."

"Saya udah kirim informan ke sana. Diandra itu manusia bebas yang hobi ke club. Acara di rumahnya juga dibuat layaknya di club. Wildan enggak boleh ke sana."

Pria paruh baya itu menoleh ke pintu dapur. "Arga?"

"Siap, Ndan." Arga muncul dengan cepat.

"Pastikan Wildan enggak ke mana-mana malam ini. Kamu ajak cerita atau apa lah. Jangan buat dia keluar malam ini ke pestanya si Diandra itu."

"Siap, Ndan," balas Arga dengan tegas.

Arga langsung menuju kamar anak atasannya itu tapi tak ditemukannya. Pria muda itu beralih ke arah lapangan basket di belakang rumah dinas itu. Benar saja,  Wildan tengah duduk di sana sambil memegang bola basket yang hanya ditatapnya tanpa minat.

"Belajar IQRA' kuy."

Pundak Wildan ditepuk pelan sebelum Arga mengambil tempat di sampingnya.

"Bosen!"

"Udah sampai mana belajarnya sama ustadz di masjid itu?"

Agak lama Wildan terdiam sebelum mendongkak dan menatap ke depan dengan lesu.

"Capek belajar terus. Capek jadi anak petinggi, harus ikut kemauan ayahnya terus. Harus bisa melampaui kehebatan ayahnya. Intinya, gue capek dengan semua hal. Capek, lelah, bosan. Gue enggak pengen berjuang lagi untuk apa pun. Titik." Pria itu mulai mengeluarkan sedikit kekesalannya membuar Arga tersenyum getir.

Dia bisa merasakan perasaan Wildan. Ada banyak hal yang tidak Wildan ceritakan bahwa dia tidak pernah ada hak untuk memilih. Semuanya harus sesuai kemauan orang tuanya termasuk dalam urusan memilih cita-cita. Dari kecil dia tak diberi pilihan selain menjadi prajurit TNI.

Mungkin selama ini dia tidak pernah bercerita, betapa lelah dirinya menjalani semua proses yang identik dengan kerja keras.

Arga mengangguk paham. "Ya, capek, bosen. Semua orang juga capek dan lelah. Bosen juga. Mau dia anak petinggi militer atau enggak. Pasti ada hal-hal yang buat capek dan lelah dengan keadaan. Ini kan masih di dunia. Bisa santai itu di surga. Maksud saya ... kalau kita menyerah hanya karena capek, lelah, terbebani dan lainnya, terus bagaimana? Sementara semua di dunia ini juga tentang capek, lelah, dan terbebani. Berlari dari masalah untuk mencari keadaan baru terkadang bukan solusinya. Karena kita selalu tetap menemukan lelah dan capek di keadaan apa pun.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang