TAHUN PERTAMA

3.2K 562 21
                                    

Wildan benci tahun pertama pendidikan. Sangat benci. Tidak, ini bukan tentang jadwal hariannya yang sangat berubah menjadi sangat disiplin, tapi tentang latihannya. Sering dijemur, sering disiksa, dan sering merayap di lumpur yang sangat bertentangan dengan prinsip super bersih, higienis, dan kinclongnya. Dia tak bisa menerapkan itu selama di Akmil karena belum apa-apa, mukanya selalu penuh lumpur. Sadis, pikirnya.

Sering dia menelepon ayahnya saat liburan untuk mengeluh mengenai keadaannya dan kulit putihnya yang berubah drastis menjadi kecoklatan. Dan, balasan Sahara sangat tegas kepadanya.

"Kalau kamu mau melewati masa sulit, jenuh, lelah, dan lainnya, maka harus kamu jalani prosesnya tanpa banyak protes! Kalau kamu hanya tahu mengeluh dan memilih menyerah, apa artinya kamu berjuang sejak awal?!

"Kalau enggak mau dijemur dan pengen terawat terus, jadi pegawai kantoran! Karena tentara itu menjadi besar di lapangan melalui seringnya cium bau mesiu. Baru aja kena cahaya matahari dan lumpur udah mau nangis! Kamu ini cita-citanya mau jadi artis sinetron yang enggak tamat-tamat atau jadi tentara?!"

Belum lagi cara menghormati senior yang sangat 'mengherankan'. Dia merasa harga dirinya diuji tatkala dipaksa menghormati manusia lainnya yang hanya dibedakan oleh tahun pendidikan. Anak jenderal sepertinya tak terbiasa direndahkan.

Mau makan saja harus menggunakan aba-aba dan banyak koordinirnya. Dia merasa fisik dan psikisnya sangat diuji.

Herannya saat jadwal pesiar saat dia ingin menikmati masa-masa untuk 'bebas', Aldan langsung mengajaknya ke 'Taman Surga'. Dia menyambut dengan sangat antusias tapi baru tahu bahwa itu adalah acara pengajian. Dia hampir terjungkal di Masjid lantaran ngantuk saat mendengarkan ceramah.

"Hanya orang seperti Aldan yang menganggap acara ceramah sebagai sarana refreshing." Jujur, dia merasa bertemu dan berteman dengan manusia yang salah. Sangat salah.

Memprihatinkan, pikirnya.

Beruntungnya jadwal libur akhir tahun akhirnya tiba. Dia bisa pulang ke rumahnya melepas rindu dengan keluarganya walaupun dalam waktu yang singkat.

"Mas Wildan?" Arga menyambutnya di bandara dengan sangat antusias sebelum memeluknya dengan erat.

Setelah melepas rindu dengan orang tuanya, pria itu menyempatkan Shalat Ashar di masjid di dekat sekolahnya dulu untuk bertemu dengan Ustadz Ahmad.

Karena seragam lorengnya tak boleh dilepas walaupun sedang liburan, maka Ustadz Ahmad langsung tahu dengan apa yang sedang dijalani oleh Wildan.

"Pak? Ke rumah Adinda sebentar, ya," pintanya pada Arga membuat pria muda itu senyum-senyum penuh arti.

"Kangen banget pasti."

"Selama pendidikan enggak terlalu kepikiran sih, Pak. Paling malam sebelum tidur. Soalnya setiap hari disiksa terus."

Arga sukses tertawa. "Hahahahahahaha ...."

Mereka berhenti di depan rumah yang dulu sering dikunjungi oleh Wildan itu.

Tokkkkk tokkkkk

"Assalamu'alaikum."

Wildan mengetuk pintu beberapa kali. Sudah tak sabar bertemu Dinda walaupun dia agak khawatir Dinda kaget dengan perubahan warna kulitnya.

"Assalamu'alaikum," ulangnya dengan lebih keras.

Tiba-tiba handle pintu bergerak membuat jantung Wildan entah kenapa berdetak lebih cepat.

Deg
Deg
Deg
.

.

.

Dreeet

Begitu pintu dibuka, Wildan melihat seorang pria muda seumuran Arga yang asing. Pria itu menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. 

"Cari siapa, ya, Pak Tentara?" tanya pria itu dengan ekspresi datar. Dia belum tahu bahwa status Wildan masih Taruna Akmil.

Belum Wildan menjawab, perhatian keduanya teralih pada seorang anak kecil yang menangis di gendongan pria itu membuat Wildan tersadar, pria itu menggendong seorang bayi.

Seketika Wildan melotot. "Enggak ... ENGGAAAAAAAAAKKKK," batinnya lebay.

Dia masih belum paham pada apa yang terjadi dan menimpanya. Ditinggal menikah? Yang benar saja, pikirnya.

"Pak? Nyari siapa?" tanya pria itu lagi membuat Wildan tersadar dari segala kesimpulan keterlaluannya yang sudah memenuhi otaknya.

"Itu ... saya mencari Adinda Prastowo."

Pria asing itu tampak mengerutkan dahi. "Adinda? Maksud Anda, pemilik rumah ini sebelumnya? Anak dari Ibu Reni Fatmawati?"

Kali ini Wildan lebih heran. "Saya belum paham."

"Ya, rumah ini dijual cepat untuk membiayai pengobatan ibunya. Hampir semua barang pun dijual kepada kami. Walaupun saya dengar ibunya meninggal setelah operasinya gagal."

DEG

Wildan lebih terkejut. Tak lama wajahnya mendadak sendu. Dia sangat berduka dengan berita meninggalnya Reni. Seorang wanita paruh baya yang begitu baik dan dermawan pada semua orang. Berusaha selalu berbagi walaupun dia sendiri kekurangan. Beberapa bayang-bayang Reni muncul di benaknya membuatnya sangat kehilangan. Seperti kehilangan sosok ibunya sendiri.

Dia pun baru tahu bahwa Dinda melewati hari-hari yang berat setelah kepergiannya. Masih segar diingatannya saat gadis itu menangis tersedu-sedu di rumah sakit saat ibunya koma.

"Dinda? Maafin gue enggak ada di saat lo ngelewatin ini semua. Maafin gue  ...."

"Lalu ... di mana Adinda sekarang?"

Pria itu menggeleng pelan. "Saya enggak tahu, Pak. Setahu saya dia mahasiswi di salah satu PTS. Mungkin dia pindah ke kosan dekat kampusnya."

"Kampusnya di mana?" tanya Wildan dengan cepat.

Pria itu menggeleng lagi. "Saya enggak tahu sampai sejauh itu, Pak."

Wildan langsung berbalik cepat ke mobilnya setelah mengucapkan terima kasih kepada pria itu.

Beberapa kali dia menghubungi nomor ponsel Dinda tapi nihil. Tak aktif.

"Apa dia udah ganti nomor?" batinnya bertanya-tanya.

Dinda tak memiliki akun sosmed dan itu membuatnya kehilangan jejak gadis itu. Membuatnya kembali ke kesatrian setelah liburan dengan tangan hampa.

Saat-saat seperti itu, Aldan kembali hadir menepuk pundaknya bak malaikat.

"Ngaji. Dekatkan diri kepada Allah Ta'ala."

Harusnya Wildan kesal dengan nasehat itu tapi kali ini dia luluh lantaran kesedihan memenuhi dadanya.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang