SHALAT?

3.5K 592 51
                                    

Hari ini Reni mengeluh tak enak badan sehingga kedainya tutup. Baik di sekolah maupun di rumah.

Dinda yang ingin menemaninya di rumah pun dilarangnya. Wanita paruh baya itu memaksa anaknya untuk tetap ke sekolah.

Pada akhirnya Dinda menyerah dan menuruti permintaan ibunya untuk ke sekolah.

Begitu pulang, gadis itu mencari-cari keberadaan ibunya.

"Bu?" panggilnya saat membuka pintu kamar ibunya tapi tak menemukan Reni di sana.

Dinda menuju ruang keluarga. "Bu?"

"Ibu?"

Tetap Reni tak ditemukannya.

Begitu menuju dapur, Dinda kaget bukan kepalang menemukan Reni sudah tersungkur di lantai dapur dengan hidung yang mengeluarkan darah.

"BU ...."

***

Tokkkk tokkkk

"Assalamu'alaikum," ucap Wildan sebelum kembali mengetuk pintu kayu rumah Dinda yang masih setia tertutup itu.

Tak lama seorang wanita paruh baya dengan daster coklat yang merupakan tetangga di samping rumah Dinda muncul.

"Nyari Bu Reni dan Dinda, ya, Mas?"

Pria dengan t-shirt putih yang dilapisi jaket kulit berwarna hitam itu menoleh. "Iya, Bu. Ke mana, ya?"

"Tadi siang ambulance udah bawa ke Rumah Sakit Pelita Harapan, Mas. Bu Reni jatuh di dapur."

Seketika manik hitam Wildan sedikit terbelalak.

***

"Hiks ...."

Entah sudah berapa lama air mata terus menggenang di pipi Dinda. Gadis itu terus menangis sambil memegang tangan Reni yang masih setia berbaring dengan alat bantu pernapasan.

Wanita paruh baya itu masih koma. Selama ini pun dia menderita sakit. Semenjak suaminya meninggal, dia bekerja sangat keras dan sakit-sakitan. Sebelum memiliki kedai, dia bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga, buruh cuci, dan apa pun pekerjaan yang bisa digunakan untuk membiayai anaknya karena tak ada yang ditinggalkan suaminya pasca meninggal selain rumah untuknya.

Dreett

Dinda melihat ponselnya yang berdering dan mendapati nama, "Wildan Sahara" tertera di layar.

"Ekhem ...." Dia membenarkan dulu suaranya. Tak ingin terdengar sedang menangis.

"Di mana, Dind? Gue di depan Pelita Harapan." Suara pria itu tampak khawatir di seberang.

Dinda hanya memberitahukan secara singkat.

"Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana!"

Tak lama Wildan sudah muncul dengan ekspresi tak terbaca. Pria itu mengambil tempat di samping Dinda yang masih terdiam sambil menggenggam tangan ibunya.

"Dind?"

Dinda tak menjawab apa pun. Tetap menunduk dan terlihat meremas roknya dengan kuat menahan air matanya agar tak tumpah. Dia tak ingin menangis di depan orang yang menurutnya asing. Ditahannya kuat-kuat. Sisa air matanya pun sudah dihapusnya sampai bersih walaupun tak dapat berbohong karena kelopak matanya membengkak.

Melihat pemandangan itu, Wildan menghela napas jengah. "Hah ...." Tangannya naik dan menyentuh pelan kepala Dinda dari balik hijab. "Nangis aja. Enggak usah ditahan," pintanya dengan suara pelan.

Dinda tetap menahan air matanya sekuat tenaga dan menggeleng cepat.

"Beneran, Dind. Nangis aja." Wildan meyakinkannya. Dia frustasi melihat Dinda seperti itu.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang