DIAM

3.7K 635 23
                                    

Sejak tadi Jihan melihat raut sedih pada wajah Dinda yang masih setia terdiam itu. Perlahan gadis itu menepuk pundak sahabatnya sembari memberikan senyum manis.

"Ibu kan dikit lagi udah bisa pulang terus kenapa Dinda sedih?"

Dinda beralih melihat koridor rumah sakit yang tampak sepi itu dengan manik hitam yang tampak hampa. Hatinya galau sejak pertemuan dengan Sahara tadi pagi.

"Ada beberapa hal yang kadang kita enggak bisa terima tapi tetep harus bisa diterima. Susah juga, ya," ujarnya dengan suara pelan.

"Dinda kenapa sih? Sini." Jihan menarik sahabatnya ke pelukannya sebelum melepaskannya kembali.

Bagi Jihan, Dinda sudah seperti keluarganya dan saudara perempuannya sendiri. Orang yang paling dipercayainya.

"Dind? Aku belajar dari kecil untuk bisa berdamai dengan diri sendiri dan untuk menerima hal-hal yang bahkan kadang aku enggak pengen. Karena menurutku ... hanya itu yang bisa aku lakuin untuk enggak tersiksa dengan ekspektasiku. Enggak semua hal di dunia ini bisa aku kendalikan. Memahami dan berprasangka baik pada Allah Ta'ala bahwa apa pun yang ditakdirkan untuk aku itu memang yang terbaik. Contohnya, kita enggak pengen lahir dari keluarga yang sulit. But, aku berdoa agar bisa menerima itu, aku berdamai dengan diriku, enggak mengeluh terus, dan enggak pusing memikirkan penilaian orang lain.

"Dan aku rasa sekarang aku bersyukur banget. Lahir dari keluarga susah itu bukan kesalahan. Enggak perlu gengsi atau malu yang terpenting kita mau berjuang untuk hidup yang lebih baik. Semua ada hikmahnya," lanjutnya membuat Dinda mengangguk lemah.

Dinda hanya merasa sangat insecure dengan dirinya sendiri tatkala mengetahui siapa Wildan yang sebenarnya. Sangat merasa tak pantas. Hanya itu yang dipikirkannya.

"Kadang susah aja buat nerima itu, Jihan."

Jihan mengangguk. "I know. Tapi tahu enggak, ini seperti calon penumpang pesawat yang marah-marah pas ketinggalan pesawat. Marah sama pihak bandara, marah sama keluarganya mungkin, dan marah sama semua hal pas dia ketinggalan pesawat. Semua orang disalahin. Pas pesawat itu kecelakaan baru dia melihat sesuatu yang bisa disyukuri dari keadaannya.

"Sama kok kayak Allah Subhanahu wa Ta'ala ngatur hidup kita ini. Menyelamatkan kita dari semua keadaan-keadaan dan hal-hal yang berpotensi menghancurkan kita. Kita aja yang enggak sadar dan belum melihat hikmahnya karena keterbatasan ilmu kita. Banyak hal yang enggak Allah 'Azza wa Jalla takdirkan buat kita, digagalkan, dirusak rencana kita, karena satu alasan aja. Allah 'Azza wa Jalla ingin selamatkan kita. Allah tahu, kita enggak tahu."

Dinda menoleh ke arah sahabatnya itu mata berkaca-kaca. Jihan tersenyum lagi.

"Allah Ta'ala itu enggak berjanji hidup itu akan selalu indah terus dan baik-baik aja, tapi Allah Ta'ala enggak akan mungkin mendzalimi hamba-hamba-Nya.

"Enggak perlu takut sama masa depan. Mau jadi apa pun kita nantinya atau kesulitan apa yang akan kita hadapi, enggak usah terlalu dipikirkan. Jalani aja hari ini dengan sebaik-baiknya. Selama kita punya Allah Subhanahu wa Ta'ala, semuanya bakal baik-baik aja. Bakal baik-baik aja. Okay?"

Air mata Dinda sukses tumpah. Dipeluknya sahabatnya itu dengan erat sekali.

***

Semenjak pertemuan dengan Sahara, Dinda yang mengambil inisiatif untuk menjauhi Wildan sebisa mungkin. Tak berbicara sepatah kata pun pada pria itu, menghindarinya secara jelas bahkan sampai saat Reni sudah dibolehkan pulang ke rumah.

Wildan mencari letak kesalahannya tapi Dinda tak ingin memberitahukan apa pun.  Seperti hari ini saat Wildan baru memarkirkan motornya di depan pagar, Dinda yang duduk di teras langsung buru-buru masuk ke kamarnya dan menguncinya dengan cepat.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang