Wildan, Sahara, dan Sonya setidaknya tahu pada sebuah hadits yang berbunyi, Dari Abu Ayyub radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seseorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam." (Muttafaqun 'alaih) [HR. Bukhari, no. 6077 dan Muslim, no. 2560]
Mereka tahu bahwa hadits ini mencakup sikap diam antara orang tua dan anak maupun kepada teman tak boleh lebih dari tiga hari.
Namun, gengsi ketiganya mengalahkan perintah dalam Islam. Alhasil Sahara yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk meminta maaf pada Sonya.
Setelah Sonya dia ingin meminta maaf pada Wildan tapi putranya itu selalu menghindarinya. Dia tak ada pilihan lain selain merealisasikan saran berarti dari Arga.
Seperti sekarang, Arga tengah mengantar Wildan pada tempat pecel lele Mas Slamet kesukaan Wildan.
"Pak Arga beneran enggak mau ikutan makan?" tanya Wildan memastikan sebelum keluar dari mobil. Karena mereka memang selalu makan berdua tapi kali ini Arga menolak dengan dalih ada yang harus diurus.
Begitu masuk ke kedai kecil itu, Wildan agak terkejut mendapati Sahara tengah duduk di meja pojok dengan pakaian bebas santai. Ya, celana panjang dan kemeja biru navy. Pria paruh baya itu hanya melambaikan tangan dengan santai ke arahnya sembari melempar senyum tipis seolah tak terjadi apa pun.
Pada akhirnya Wildan menyerah menuju meja yang biasa ditempatinya dan mengambil tempat di hadapan ayahnya itu.
"Assalamu'alaikum," sapanya sebelum menyalami dan mencium punggung tangan ayahnya.
Ya, ini poin plus Wildan di mata Sahara. Dari dulu semarah apa pun Wildan pada Sahara dan Sonya, dia tak pernah melewatkan mencium punggung tangan orang tuanya saat berangkat ke sekolah atau ke tempat yang lainnya walaupun tak ada komunikasi sama sekali antara mereka.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Sahara masih mempertahankan senyumnya. Mendadak dia canggung karena telah menanggalkan jubah gengsinya. "Papa baru tahu dari Arga bahwa kamu suka makan di kaki lima dan tempat-tempat kecil."
Wildan mengangguk masih dengan ekspresi cueknya. "Pengusaha kecil hanya memiliki modal kecil. Mereka berjualan bukan untuk menjadi kaya tapi menyambung hidup dan menafkahi keluarganya. Jadi aku terbiasa makan di kedai kecil untuk ikut membantu UMKM dan para pengusaha kecil daripada mementingkan gengsiku makan di tempat mahal. Sesimple itu," jelasnya membuat Sahara angguk-angguk kepala. Dia kagum.
"Well ... papa baru terpikirkan."
Wildan kembali diam. Tak berniat memulai pembicaraan. Dia ingin minta maaf lebih dulu sebagai anak tapi gengsi, tapi menunggu Sahara minta maaf lebih dulu pun terasa mustahil.
"Kamu biasa makan apa di sini?" tanya Sahara lagi.
"Apa perut papa cocok makan di sini?" sindir Wildan. "Aku enggak mau disalahkan kalau terjadi apa-apa sama papa."
Sahara menaikan satu alis dan menatap putranya dengan tatapan selidik. "Ngomong apa sih kamu? Apa kamu baru aja menyindir pria yang punya pengalaman panjang keluar dan masuk hutan plus terbiasa makan dari hasil hutan?"
Keduanya bertatapan sebelum sedetik kemudian ....
"Hahahahahahaha ...." Tertawa bersama.
"Sengsara banget sih," ejek Wildan.
"Hey, tunggu aja kalau kamu jadi tentara." Sahara tak ingin kalah membuat keduanya kembali tertawa.
Pada akhirnya Sahara yang mengatakan kalimat sakti yang dinantikan itu lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...