HAMPA

3.6K 639 16
                                    

Semenjak kejadian di meja makan, suasana rumah dinas itu langsung dingin. Wildan, Sahara, dan Sonya tak berkomunikasi sama sekali. Ketiganya sibuk dengan pikirannya masing-masing dan mempertahankan pendapat mereka masing-masing. Tak ada yang ingin mengalah dan memulai sebuah kata keramat, "Maaf.".

Meja makan kosong tanpa penghuni. Ketiganya lebih sibuk di luar rumah. Sonya pun hanya mendampingi Sahara kalau ada acara yang mengharuskan dirinya untuk mendampingi suaminya itu, tapi tak ada komunikasi. Hanya formalitas belaka.

Korbannya adalah para ajudan yang harus tetap netral tapi pasti terkena dampak dari perang dingin dunia ke-3 itu. Tak ingin ikut campur tapi sulit karena ketiganya berusaha menggalang dukungan dari mereka. Netralitas mereka diuji. Horor dan penuh cobaan, pikir mereka.

Wildan pun tak pernah menghubungi Dinda lagi karena dirasanya sia-sia. Gadis itu tak mau menemuinya, tak mau mengangkat teleponnya ataupun membalas pesannya. Semua kontaknya diblokir membuat dunianya menjadi abu-abu lagi. Tak berwarna sama sekali. Meskipun dia rindu setengah mati untuk setidaknya dianiyaya gadis itu. Ya, rindu dianiyaya.

Seperti sekarang, dia melampiaskannya pada kelas seni saat diberi kanvas untuk membuat karya apa pun yang mereka suka. Dia langsung membuat grafiti sebuah nama bertuliskan, "ADINDA PRASTOWO". Seputus asa itu.

Setelah kelas seni, Lauren langsung mencegatnya di pintu.

"Wildan? Bisa bicara sebentar?"

"Oh, okay." Ekspresi pria itu cuek saja.

Tiba-tiba mereka berhenti di tempat yang sepi dan Lauren langsung menyodorkan sebuah kotak makan dengan kedua tangannya.

"Saya suka sama kamu," kata gadis itu dengan cepat. Pipinya memerah menahan malu.

Wildan melirik sebentar kotak makan itu tanpa minat. Seharusnya itu manis kalau selain Lauren yang melakukannya. Adinda misalnya, pikirnya.

.

.

"Terima kasih. Saya hargai perasaan kamu, Lauren, tapi saya minta maaf, saya sudah menyukai seorang perempuan. Semoga mendapat yang lebih baik." Dia langsung berlalu meninggalkan gadis yang masih terpaku di tempatnya itu.

"Siapa?" bisik Lauren tapi saat dia kembali ke ruang seni dan melihat hasil di kanvas Wildan, dia langsung tahu jawabannya. Ya, Adinda Prastowo. 

*** 

Sejujurnya ketiga tokoh dalam drama diam-diaman sudah tak tahan dengan keadaan itu, tapi pada akhirnya, Sahara yang memilih mengalah untuk mencari solusi lebih dulu karena dia sudah malas didiamkan walaupun riwayat cueknya sangat banyak.

Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, dia memilih memanggil Arga. Ajudan termuda sekaligus yang paling dekat dengan Wildan.

"Duduk, Arga," titah Sahara yang masih duduk di seberang meja kerjanya itu.

"Siap, Ndan." Arga langsung mengambil tempat.

"Panggil bapak aja." Arga agak asing dengan situasi tak formal itu.

"Baik, Bapak."

Sahara membenarkan suaranya setelah menimbang-nimbang. "Jangan anggap saya atasan kamu dalam keadaan ini. Anggap saja saya teman atau ayahmu. Enggak masalah. Saya cuma ingin dapat saran yang jujur dari kamu. Jangan ada pembatas antara atasan dan anak buah. Paham?"

"Paham, Bapak," jawab Arga tegas. Dia agak heran sekaligus kagum dengan seorang jenderal yang mendadak ingin mendengarkan masukan ajudan seperti dirinya. Sangat aneh tapi dia merasa sangat terhormat ingin didengarkan. Itu hal yang langka bahkan sangat langka.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang