"Papa ...." Ucapan Sonya menggantung seiring dengan tangan suaminya yang juga menggantung di udara. Tak jadi menampar anak semata wayang mereka. Wildan.
Tangan Sahara turun tapi tetap menatap pria muda dengan jaket kulit hitam itu dengan wajah memerah memendam amarah yang sedang mendidih. "Bikin malu aja! Kamu boleh buat seperti itu kalau kamu bukan anak saya!" Suaranya terdengar ketus menatap Wildan yang masih menunduk dengan wajah malas.
Jelas saja pria paruh baya yang masih mengenakan pakaian dinas harian dengan pangkat yang tercetak bintang satu itu marah besar.
Lagi-lagi anaknya itu ditemukan di kantor polisi karena terlibat balapan liar.
Cepat-cepat dia mengambil paksa kunci motor dari saku jaket kulit Wildan.
"Enggak ada lagi motor. Mulai sekarang saya sita. Ke mana-mana sama Arga."
Dia langsung pergi melintasi Sonya setelah berkata dengan nada kesal, "Jangan terlalu manjain anak itu, Ma!"
Wildan mendongkak menatap ibunya dengan wajah lesu. "Fine. Apalagi yang enggak boleh dilakuin sama anak petinggi?" sindirnya.
Sonya melotot. "Kamu tuh kenapa sih harus ikut-ikutan balapan liar segala, hah? Buat malu aja! Papa kamu sama Kapolres itu kenal baik. Mau ditaruh di mana muka papa kamu kalau kamu ditangkap sama anak buahnya Kapolres karena langgar aturan?"
"Ma ...."
"Udah, udah! Berhenti ngasih alasan, ya, Wil. Mau belain temen kek, apa kek, Mama enggak peduli! Udah berapa kali kamu buat masalah, hah? Main ke club terus nonjok anak anggota DPR. Mau sampai kapan kamu kayak gini, Wil? Mau sampai kapan?!"
Sonya sudah tak sanggup lagi menanggung beban hidup yang berat. Sangat berat. Memiliki anak seperti Wildan baginya adalah cobaan ketimbang anugerah, pikirnya.
Tanpa pikir panjang, wanita berhijab putih itu langsung mengambil ponsel untuk menelepon layanan, "Curhat Dong Ustadzah". Langsung di depan Wildan dan memasang loudspeaker tentunya.
"Ustadzah? Saya tuh udah bilangin itu anak cuma dia itu kepalanya terbuat dari kandang ayam, Ustadzah. Keras," curhat Sonya sambil memijit dahi. Migrain.
Wildan malah menganga melihat ibunya. Tak paham lagi.
"Bu? Bicara dan doain yang baik buat anaknya, ya." Nasehat ustadzah di seberang.
Sedetik kemudian Wildan tersenyum licik. "Semoga ustadzah ini adalah ustadzah yang bisa salahin emaknya si anak dan bisa belain si anak dari emak-emak yang doyan mencari kesalahan anak dan hanya melihat kekurangan anak." Harapnya walaupun mustahil, tetap saja perbuatannya tak dapat dibenarkan. Salah.
"Saya udah doain, Ustadzah. Udah. Cuma kok semakin hari hipertensi saya malah suka kumat, Ustadzah. Saya udah enggak sanggup. Enggak sanggup." Sonya memegang dada untuk memastikan bebannya yang begitu besar.
"Anaknya shalat enggak, Bu?"
Wildan dan Sonya kompak saling lirik dengan ekspresi kecut.
"Shalat kok, Ustadzah. Shalat." Sonya masih tak mau membongkar aib dan Wildan langsung tersenyum cerah.
"Pas kapan, Bu?"
Lagi-lagi Wildan dan Sonya saling lirik.
"Pas ... Idul Fitri. Itupun saya mesti paksa kayak maksa kerbau kembali ke kandang. Saya bersyukur dia mau ikutan karena mesti foto keluarga. Apa kata ibu-ibu asrama kalau anak saya enggak shalat idul fitri, kan, Ustadzah?" Akhirnya aib Wildan dikupas tuntas setajam parang.
Wildan yang bosan langsung memilih pergi setelah menghela napas malas.
"Shalat fardhu, bagaimana, Bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...