PERGI KE MAGELANG

3.4K 579 32
                                    

Wildan dan Dinda mungkin belum bisa saling melupakan. Ini waktu yang terlalu singkat, tapi mereka mungkin bisa untuk terbiasa menjalani hidup tanpa kehadiran satu sama lain. Berusaha bebas dari belenggu rindu yang terkadang menyesakkan untuk menerima kenyataan bahwa mereka nyaman untuk sendiri dengan pilihan masing-masing.

Terkadang Wildan masih menelepon Dinda untuk memastikan bahwa gadis itu merindukannya atau tidak, tapi gadis itu hanya melirik ponselnya dan tak berniat mengangkat panggilan itu. Dia memilih menyibukan diri dengan belajar dalam segala suasana sembari membantu ibunya.

"Masa depan kamu adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan," kata Reni yang selalu diingat oleh Dinda.

Setiap pikiran tentang Wildan muncul, selalu ditepisnya walaupun berat. Dia yakin suatu saat akan mudah.

Saat keduanya tak sengaja berpapasan di depan sekolah karena Wildan menunggunya pun, Dinda langsung membuang muka. Seolah tak kenal. Kembali menjadi asing seperti biasa.

Hal itu membuat Wildan berpikir, Dinda tak menginginkannya lagi.

Alhasil mereka putus kontak sampai Wildan berangkat ke karantina. Sehari sebelumnya, Arga pergi ke rumah Dinda untuk mengabarkan tapi pria muda itu pulang dengan tangan hampa karena Dinda tak ada di rumah. Dia pergi untuk belajar kelompok bersama teman-temannya.

Saat di bandara pun, Wildan masih beberapa kali mencoba menghubungi gadis itu tapi nomornya tak aktif. Dia menoleh ke arah Arga.

"Gimana Dinda, Pak?" tanyanya.

Arga menggeleng pelan. "Kemarin saya enggak ketemu, Mas. Enggak ada di rumah."

Mendadak Wildan langsung lesu. Bahkan setelah memeluk ayah dan ibunya sebelum berangkat sekalipun, dia hanya memasang senyum yang dipaksakan. Kepada Arga pun begitu walaupun pria itu sangat memahaminya.

"Latihan yang baik di karantina. Papa cuma pengen satu, kamu lulus dan pendidikan tahun ini di Akmil. Lanjutkan karir papa sebagai perwira yang terhormat," ucap Sahara sambil menatapnya dengan nyalang.

Wildan mengangguk saja. Sedangkan Sonya sudah beruai air mata tak karuan melepas Wildan yang berjalan menjauh.

.

.

"Magelang ... i'm coming," batinnya.

***

Wildan tak paham bagaimana pikiran tentang Dinda itu sangat menghantuinya dan mempengaruhinya selama di karantina.

Mereka dilatih oleh salah satu tentara tapi pikiran Wildan seperti kosong. Sangat kehilangan. Dia terlihat sering melamun dan lambat membuatnya dimarahi di lapangan pada hari ketiga.

"FOKUS! KALAU TIDAK FOKUS, PULANG AJA KAMU!" hardik pria paruh baya bernama Dodi itu.

Tak peduli statusnya sebagai anak jenderal, tak ada perlakuan spesial.

Hal itu semakin membuatnya down. Malamnya saat semua teman-temannya sudah tertidur lelap, dia masih duduk termenung di ranjang. Mungkin dia masih mengalami sedikit shock akibat keadaan yang berbeda.

Hidupnya yang sering dimanja, kini agak berubah selama di karantina yang penuh jadwal dan belajar serta latihan.

Tak sadar sebuah tepukan di pundaknya membuatnya kaget di kegelapan. Pria itu membawa senter dan menyodorkan tangan ke arahnya.

"Aldan. Aldan Althariz Alghifari. Ranjang saya di ujung," ucapnya dengan senyum tipis.

Wildan terdiam sejenak. Walaupun suasana gelap tapi dia bisa melihat wajah pria itu dengan penerangan dari senter. Sangat tampan, pikir Wildan.

"Harusnya lo jadi artis sinetron dan semacamnya. Kenapa mau jadi tentara? Kulit lo bisa gosong," sindir Wildan. Jelas saja, Aldan terlalu putih bersih.

Pria itu malah tertawa pelan. "Negara sudah memberikan banyak kepada saya, maka sudah saatnya, saya mengabdi untuk negara. Jadi ... kamu tidak bisa menghalangi saya."

Keduanya berpandangan sambil tersenyum. Wildan langsung menyodorkan tangannya untuk membalas jabatan tangan Aldan.

"Wildan. Wildan Sahara Aryakasena."

Dia pikir sudah saatnya dia berbaur. Meskipun tidak semua di karantina pasti lulus Akmil, setidaknya mengenal beberapa orang itu penting untuk membuatnya nyaman selama di tempat itu.

"Anaknya Jenderal Sahara?"

Wildan mengangguk. "Iya."

Sejujurnya Wildan agak trauma dengan namanya 'Kajian'. Karena menurutnya, hubungannya dengan Dinda kandas sebelum dimulai lantaran 'Ngaji'.

Namun, luar biasanya, dia justru dipertemukan dengan Aldan yang agak unik. Lulusan pesantren yang selalu mengajaknya dalam melakukan kebaikan dan amal shalih selama di karantina. Lihat saja ajakannya.

"Bangun shalat malam."
"Shalat yuk."
"Ayo puasa senin-kamis."
"Waktunya Shalat Dhuha."
Dan segala macam ajakan untuk melakukan amal kebaikan yang menurut Wildan sangat 'mengerikan' karena mengganggu jadwal tidurnya. Lucunya, cuma dia yang diajak karena hanya dia yang dianggap 'teman' oleh pria itu.

"Terkadang gue merasa berkenalan dengan orang yang salah. AAAAAAAAAA ...." omelnya dalam hati saat dia harus dibangunkan pada dini hari untuk shalat ataupun sahur untuk puasa sunnah. Dia merasa menjadi orang yang sangat ... malang.

Lebih lucunya dia seperti kaku untuk menolak ajakan pria itu, karena Aldan terlampau 'berwibawa'.

Saat siang hari mereka harus latihan fisik, Wildan merasa dia sudah akan wafat di lapangan saking laparnya karena puasa. Saat-saat seperti itu, matanya menatap Aldan dengan tajam.

"Kenapa gue harus patuh sama si malaikat itu?" Dia kesal sendiri dengan dirinya karena tak sanggup memarahi Aldan.

Setiap dia sudah berupaya mengumpulkan tenaga untuk menghardik Aldan yang selalu mengusik hidupnya dengan ajakan kebaikan, saat melihat wajah ganteng dan bercahaya milik pria itu, dia langsung tak sanggup. Sangat tak sanggup.

"Gue baru tahu, fungsi good looking bisa meredakan amarah. Mungkin karena amal kebaikannya terlalu banyak kali, ya. Sisi setan gue langsung ciut kalau lihat mukanya," batinnya. "Tapi ... kenapa dunia ini penuh dengan orang baik? Hah ...." Wildan menghela napas berat. Dia lelah bertemu orang baik di manapun yang selalu mengajaknya pada kebaikan.

Saat tes Akademi Militer dan sampai tahap akhir dinyatakan lulus, Wildan baru tahu bahwa Aldan pun dinyatakan lulus.

Entah dia harus berbahagia atau berduka karena bertemu pria itu lagi.

.

"Ini berarti hidup gue selama pendidikan bakal dipenuhi siraman rohani." Mengingatnya saja dia sudah tak bertenaga dan sakit kepala karena hidupnya akan 'dipaksa' untuk melakukan amalan kebaikan. "AAAAAAA ... kenapa harus ada manusia bernama Aldan di dunia ini?"

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang