Wildan sudah berusaha menghindari kemungkinan bertemu Dinda, tapi nyatanya kalau jodoh selalu ada jalan untuk bertemu.
Buktinya dia baru selesai mengikat tali sepatunya dan berdiri, Dinda sudah ada di hadapannya.
Gadis berhijab putih itu melipat tangan di dada sambil melihatnya dengan tatapan musuh bebuyutan.
"Hah ...." Wildan menghela napas malas.
"LO?!" Dinda melotot dan mendekat tanpa memberi jarak.
Sontak gadis itu meraih kedua pundak Wildan dan langsung bergerak seperti menggedor menggunakan tenaga kudanya seperti tengah meminta kepastian. "Kenapa lo ikutin gue?! Kenapaaaaaaa?!"
Mulut Wildan malah menganga karena keduanya seperti tengah terlibat drama aneh. Tidak hanya Wildan yang melongo, jamaah yang sedang melintas pun melirik keduanya dengan tatapan miris.
"Anak zaman sekarang, pacarannya sampai sedramatis itu," komentar salah satu pria paruh baya yang memilih berlalu ke tempat parkir. Meninggalkan drama yang terlalu dipaksakan heboh itu.
"Jangan bilang lo ikutin gue ke sini, ya!"
Kali ini Wildan memutar bola mata malas. "Enggak usah GR lo! Lagian lo secantik apa harus gue kejar-kejar sampai ke sini, hah?!"
"Terus ngapain lo di sini?!"
"Gue ngaji. Paham? N.g.a.j.i," ejanya dengan nada kesal. "Gue ikut mentoring. Ngaji mah hak segala manusia dan segala bangsa. Gue kan pengen dapat ketenangan hidup, emang lo doang yang butuh?!" Ketus level 20. "Lagian gue juga enggak yakin lo beneran dengerin kajian secara kelakuan lo enggak mengamalkan nilai Islam sedikit pun!"
PRAKKKK
Pinggang Wildan langsung pegal linu mendapat tendangan seraya dengan bunyi rok Dinda yang sedikit robek di ujung karena kaki pemiliknya naik di luar batas kenormalan perempuan.
"HEY?!" Pria itu kesal sekali. "Pengen gue masukin mesin cuci nih orang!"
"Ada apa ini?"
Kedua remaja SMA itu langsung menoleh mendapati pria berseragam loreng yang tak lain adalah Arga yang menghampiri mereka.
"Ini Pak, si Adinda Prastowo. Bisa-bisanya dia nendang pinggang gue. Ini kan masuk tindakan kekerasan, kan, Pak? Jerat, Pak dengan pasal berlapis," ujarnya sembarangan.
Seketika wajah Dinda malah panik apalagi saat melihat seragam Arga yang berarti kelakuannya akan dianggap serius dalam hukum.
"Nona? Apa itu benar?" Ekspresi Arga sangat serius.
Dinda bertambah panik sampai air matanya sudah ingin jatuh. "Itu--"
"Tidak usah dijelaskan. Saya memiliki videonya," potong Arga semaunya.
Wildan merasa di awan. "Ekhem ...."
"Jadi, apa hukuman yang cocok untuk perempuan ini, Pak?"
1
2
3
Dinda smaput. Wildan refleks menangkap seperti seorang pahlawan. Terpaksa atas nama kemanusiaan.
"Astaga, dia pikir gue pangeran berkuda putih. Tck."
***
Di sinilah mereka. Nongkrong di dalam mobil di parkiran masjid dan membiarkan Dinda yang tengah pingsan berbaring di kursi belakang. Tak diurus. Dibiarkan sadar sendiri.
"Masa ustadznya nyuruh gue ngaji dari IQRA'. Ogahlah gue, Pak," ucap Wildan sambil menyeruput jus alpukatnya.
"Ini namanya sambil menyelam, minum air, Mas," balas Arga sambil ikut menyeruput jus naganya. Hasil membeli jus di kedai yang tak jauh dari masjid itu.
"Maksudnya, Pak?"
"Ya, deketin Jihan sekalian belajar ngaji. Jihan itu kan pasti pinter ngaji, masa pacarnya enggak bisa ngaji? Enggak insecure kamu, Mas?"
Agak lama Wildan merenung sebelum membenarkan perkataan Arga.
"Iya juga, ya. Jadi saya harus gimana, Pak?"
"Belajar aja IQRA', Mas. Hitung-hitung kapan lagi dapat ilmu gratis. Masa udah gede kalah sama anak TK? Enggak bisa baca Al-Qur'an. Malu, Mas. Ranking 1 enggak berguna kalau enggak bisa baca Al Qur'an.
"Ranking 1 enggak bisa nebus diri pas masuk neraka, Mas. Na'udzubillah."
Untuk beberapa saat Wildan terdiam.
"Tapi malu gue, Pak."
"Kalau malu ya enggak akan bisa-bisa, Mas."
Belum menanggapi Arga, kedua pria itu menoleh ke belakang saat mendengar suara helaan napas yang tak biasa.
"Hm ...." Dinda mengerjapkan matanya beberapa kali sambil memegang kepalanya.
"Si ketua setan udah bangun," ucap Wildan enteng.
"Hey?" interupsi Arga sambil sedikit melotot ke arah anak atasannya itu.
"Berantem aja lo jago, tingkat syok lemah banget. Sampai pingsan dalam hitungan detik. Gue pikir lo kena stroke. Mau gue larikan ke Rumah Sakit terdekat." Tak tanggung-tanggung pria itu mencecarnya. Balas dendam.
Dinda yang masih mengumpulkan kesadaran sebelum bersandar itu tak terlalu menanggapi lantaran tubuhnya masih terlalu lemah.
Tiba-tiba sebuah cup minuman dingin berisi jus alpukat sudah tersodor ke arahnya.
"Minum nih!" Ekspresi Wildan melebihi ibu dari bawang merah.
Dinda tak mengambil jiga lantaran masih sibuk dengan kepalanya membuat Wildan geram.
Pria itu menarik lagi cup minuman itu dan membantu menusukan sedotan. "Nih! Udah gue bantuin untuk buka. Kurang baik apa gue sebagai cowok, hah?"
Dinda malah melongo melihatnya. Masih tak ingin mengambil cup yang disodorkan ke arahnya itu.
"Ambil! Enggak gue taruh racun. Kalau gue mau membunuh lo udah dari tadi gue lakuin. Cuma gue mah enggak dendaman orangnya. Cocoklah gue untuk dijadikan suami."
"Hah?!" Dinda ... melongo.
"Hah?!" Arga ... melongo.
Wildan tetap santai sebelum melirik dua orang itu secara bergantian dengan wajah heran. "Kenapa sih? Tadi gue ngomong apa, emangnya?"
"Idiot!" gumam Dinda yang masih dapat didengar oleh Wildan yang mendadak naik darah.
"HEH?! NGOMONG APA LO?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...