PENAWARAN

6.2K 752 24
                                    

Arga agak kaget saat Wildan masuk ke mobil dengan pipi kanan ditempel plester luka. Sedikit lecet akibat piring berisi nasi berakhir di mukanya. "Waduh, kok bisa sampai lecet mukamu, Mas. Ini harus ditindak ini."

Wildan yang merasa itu akan gawat. Kalau sampai ditindak, kasusnya menyusup ke sekolah orang lain pasti ketahuan, pikirnya.

"Enggak usah, Pak," tolaknya dengan sangat tulus dan sekuat tenaga.

"Enggak usah gimana? Saya yang nanti dimarahin ibu, Mas Wildan. Disangka enggak jagain Mas Wildan lagi."

Wildan memutar bola mata malas karena ibunya itu memang terlalu berlebihan dalam urusan menjaga dirinya. "Ini cuma lecet dikit. Laki-laki mah biasa soal lecet. Enggak boleh mulus-mulus banget kulitnya," dalihnya.

Arga geleng-geleng kepala. "Iya tapi dilecetin wanita juga patut dipertanyakan, Mas."

Wildan menoleh dengan wajah datar. "Maksudnya, Pak?"

"Oh, saya salah, ya? Hahahahaha." Arga sukses tertawa. Dia malah lucu dengan ekspresi Wildan.

Tak lama Wildan tertarik dengan pemandangan di persimpangan. Ada Sano dan gengnya yang tengah nongkrong di sana. Mendadak dia menemukan ide.

"Berhenti, Pak."

Arga menurut saja membiarkan anak atasannya itu turun dan menghampiri segerombolan siswa yang terlihat berpenampilan seperti preman itu.

"Sano?"

Sano yang sedang berbicang dengan temannya itu menoleh ke samping sambil menaikan satu alis seolah bertanya.

"Gue butuh bantuan lo." Wildan to the point.

"Lo siapa?"

"Kita pernah ketemu di kantin."

"Okay. Kenapa?"

"Gue mau minta bantuan lo untuk ngancam Dinda. Beberapa kali Dinda melakukan tindakan yang seharusnya enggak dia lakuin. Gue mau lo siap bersaksi di depan polisi biar si Dinda itu kapok."

Bukannya menjawab, Sano malah mengembungkan pipi dan sedetik kemudian dia tertawa bersama pengikutnya. "HAHAHAHAHAHAHA ...."

Wildan memilih tak peduli.

"Lo yakin?"

"Sangat. Lo enggak usah khawatir soal makanan atau jajan. Gue bisa bayarin semuanya buat lo."

Sekilas segerombolan pria itu melirik ke belakang Wildan dan menemukan mobil hijau lumut dengan plat khusus. Mereka langsung tahu.

"Anak TNI ternyata. Pasti bokap lo petinggi." Sano menatap dengan tatapan selidik.

"Itu enggak penting. Lo mau atau enggak?"

Pimpinan preman sekolah itu tak perlu berpikir lama. "Satu sekolah juga tahu kali kalau Dinda atlet karate dengan emosi enggak terkendali. Hati nuraninya redup, kalau mukul orang enggak pakai kasihan, dan tingkat peri kemanusiaannya berada pada angka nol. Gue minta maaf tapi lo cari orang lain aja. Gue masih mau hidup dengan damai."

***

Wildan berbaring terlentang di dojo setelah latihan karate sambil memikirkan cara menakuti Dinda.

Akhir-akhir ini dia malah dendam dengan Dinda dan mencari segala cara untuk balas dendam. Bukannya memikirkan Jihan, perhatiannya malah terfokus pada gadis menyebalkan bernama Adinda Prastowo itu.

"Mana Dinda udah curiga lagi kalau gue enggak sekolah di situ. Kalau gini, gimana gue bisa kenalan sama Jihan?"

Arga yang berpenampilan sama dengan seragam karate itu mengambil tempat di samping Wildan. "Mas Wildan harus melakukan pendekatan yang humanis."

Wildan menoleh dengan wajah heran. "Maksudnya, Pak?"

"Pendekatan humanis berupa dibukanya gerbang dialog terlebih dahulu dengan musuh lebih diutamakan daripada berjatuhannya korban dalam perang. Dalam artian, perang adalah jalan terakhir, Mas."

Pria di samping Arga itu malah menghela napas malas. Dia teringat dengan tawaran uangnya kepada Dinda pada hari pertama mereka bertemu yang berakhir pada kepalanya dihajar nampan kayu. Tak akan berguna, pikirnya.

"Ya, pendekatan humanis dilakukan sama manusia normal, Pak. Dia psikopat binti kanibal. Gimana bisa dialog? Belum dialog, centong nasi, piring semuanya melayang. Saya macam korban KDRT."

Sontak Arga tertawa. "Okay gini aja, Mas Wildan pakai cara damai aja dulu. Pokoknya damai."

"Enggak bisa, Pak. Dia tuh enggak kooperatif. Gue tawarin duit biar bisa deketin Jihan aja dia enggak mau."

"Baru tahu saya ada perempuan yang enggak suka uang." Arga heran.

"Cuma dia itu. Cewek aneh."

"Siapa namanya, Mas?"

"Enggak tahu. Dinda apa permaisuri atau ratu atau apalah itu." Wildan malas menyebut namanya dengan benar.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang