TUMBEN

3.9K 597 32
                                    

"Hai Adinda Prastowo."

Dinda yang sedang mengangkat dua kardus berisi barang-barang kantin di kedua tangannya itu hampir terlonjak mendapati keberadaan Wildan yang sudah hadir dengan senyum super lebar.

Tanpa izin, pria itu hendak mengambil salah satu kardus yang ada di genggamannya.

Sontak Dinda langsung berontak. "Lepasin! Ngapain sih lo?!"

"Udah, gue bawain. Gue lagi baik."

"Enggak usah!" tolak Dinda dengan keras. Karena dia yakin, pria itu memiliki sejuta motif untuk menaklukannya demi mendapatkan Jihan.

"Beneran. Gue bawain."

Kebetulan Reni pun muncul di pintu pagar. Wildan langsung menoleh ke arah wanita paruh baya itu. "Bu Reni, saya bantu, ya." Jurus senyum lebarnya pun digunakan.

"Oh iya, Nak Wildan." Reni tak kuasa menolak.

Wildan merasa mendapat persetujuan untuk memulai aksinya lagi tapi tentu darah tinggi Dinda langsung meningkat.

"LEPASIN! LEPASIN ENGGAK?!"

Wildan tak mau tahu rebutan kardus di depan sekolah yang membuat Arga yang tengah mengawasi pria itu dari kejauhan malah menepuk jidat.

"Mas, Mas. Kamu lebih cocok jadi penjahat daripada jadi pahlawan," gumamnya.

Wildan tetap tak menyerah. Dinda mengumpulkan seluruh tenaganya untuk berteriak.

"LEPASIIIIIIIIIIIN!"

Sontak keduanya menjadi pusat perhatian walaupun ujung-ujungnya Wildan menang karena didukung penuh oleh Reni yang sangat tersentuh dengan kebaikan palsunya.

***

"Wildan mau enggak ikut makan siang di sini?" tawar Reni kepada pria yang baru selesai mengantar semua kardus ke ruang tengah itu.

"Mau banget, Bu." Jelas saja, hobi makannya tersalurkan setiap melihat masakan Irma.

Dinda langsung menatap tak suka ke arah pria itu sebelum beralih ke arah ibunya.

"Bu?"

Seolah sudah dapat membaca pikiran anaknya yang tak suka, Irma langsung mengalihkan putrinya itu.

"Ambil piring, Dinda."

"Biar saya bantuin Dinda, Bu."

"Enggak usah, Nak. Ke meja makan aja. Kita makan bareng dulu, ya."

Seketika senyum aneh Wildan langsung terbit. Bertepatan dengan Arga yang meneleponnya.

"Beres," ucapnya ke arah smartwatchnya.

Tak lama mereka sudah makan siang dalam kehangatan. Reni yang begitu bersemangat menyambut kehadiran Wildan itu banyak bercerita dan menanyakan beberapa hal. Tak lupa memasukan beberapa lauk ke piring Wildan. Seperti memperlakukan anaknya sendiri.

Entah kenapa pria itu merasa sangat bahagia karena merasa begitu disambut.

"Tambah, Nak. Makan yang banyak, ya. Gimana pelajaran di sekolah? Lancar?"

"Lancar, Bu."

Begitu menoleh ke arah putrinya, Reni langsung geleng-geleng karena sejak tadi Dinda terus menatap Wildan dengan tajam.

"Dinda?" tegur Reni membuat putrinya itu kembali menunduk malas.

"Oh iya, Bu. Ayahnya Dinda belum pulang, ya?"

PRAKKKKKK

"A ...." Wildan menahan nyeri saat kaki kanannya diinjak di bawah meja. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Dinda.

"Ada apa, Nak Wildan?"

"Enggak apa-apa, Bu. Aman." Senyum terpaksanya langsung terbit.

"Ayahnya Dinda sudah meninggal dari Dinda masih kecil. Jadi maaf, ya, kita hanya makan bertiga," jelas Irma membuat Wildan langsung paham kenapa Dinda tak suka dengan pertanyaannya.

"Mohon maaf, ya, Bu saya bertanya." Mendadak dia merasa bersalah.

"Ah, enggak apa-apa kok."

Setelah selesai makan, Wildan memaksa ikut membantu Dinda membawa piring ke dapur. Dilihatnya gadis itu sudah bersiap akan mencuci piring-piring kotor bekas makan siang itu.

Rencana pahlawannya membuatnya seketika tergugah.

"Sini gue aja." Pria itu langsung merebut paksa spon cuci piring dari tangan Dinda.

"Enggak usah!"

Wildan tetap tak ingin kalah. "Beneran. Udah gue aja."

"Enggak!"

"Gue aja!"

"Enggak!"

"Gue aja!"

"ENGGAAAAAAAAK!"

PRAKKKKK

Berakhir dengan spon yang masih terdapat sabun pencuci piring itu menempel di wajah Wildan. Mata kanannya langsung perih.

"A ...."

Reni yang muncul di pintu dapur langsung kaget. "Dinda?!"

Dinda juga terpaku di tempatnya saat melihat pria itu sudah memegang mata kanannya menahan perih karena matanya terkena sabun cuci piring.

"Sini!"

Pundak Wildan langsung ditarik menuju wastafel dan gadis itu langsung membersihkan wajah Wildan di bawah air mengalir.

Telapak tangannya menadah air dan membasuh beberapa kali mata kanan pria itu tapi tetap saja perih.

"Gimana sih kamu, Dinda?! Ibu kan sudah bilang, jangan nyakitin orang. Gini kan jadinya." Reni sangat kesal dengan kelakuan anaknya itu.

Setelah dibasuh beberapa kali pun tetap saja Wildan merasa sangat perih. Pria itu teringat tentang rencana tes Akmilnya.

"Bisa anterin gue ke dokter mata, Dind?" tanyanya sebelum kembali berdiri tegak memegang mata kanannya yang belum ingin terbuka karena menahan perih.

"Okay. Bentar." Dinda menarik beberapa tissue di meja sebelum melap wajah pria itu dengan wajah khawatir. Dilapnya juga perlahan bagian matanya.

Mata kiri Wildan yang masih menatap dengan jelas itu bisa melihat tingkah gadis itu. Terasa dekat sekali. Sangat dekat.

1

2

3

Deg

Sontak dia langsung deg-degan. Dia tak tahu kenapa jantungnya berdetak kuat sekali melihat gadis itu terus sibuk melap wajahnya yang masih terdapat bekas air itu.

"Kenapa gue yang baper? Ini gimana sih konsepnya?" Dia kesal dengan dirinya sendiri.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang