Begitu Wildan masuk dari pintu utama, pria itu langsung disambut oleh Sonya yang sudah tak tahan ingin mencecarnya dengan sejumlah pertanyaan. "Kamu ke mana aja sih, Wil? Harus dijemput segala. Eyang kamu udah nyariin kamu dari tadi."
Ya, ayah dari Sahara dan sepupu Wildan berkunjung hari itu sehingga mereka harus makan malam bersama untuk menyambut purnawirawan TNI yang paling dihormati di keluarga Aryakasena itu.
"Maaf, Ma. Aku mampir Shalat Maghrib dulu."
Untuk beberapa detik Sonya melongo. Entah harus percaya atau tidak pada pengakuan anaknya itu.
Namun, introgasi Sonya berakhir begitu Keisya yang merupakan sepupu Wildan yang seumuran itu mendekat.
"WILDAAAAAN?" Gadis itu heboh sekali sudah akan melompat ke pelukannya tapi Wildan yang menyetop dengan tangannya.
"Hai Kei," sapanya ke arah gadis berambut pendek seleher itu. Persis pemeran Dora di dunia nyata.
"Ih Wildan enggak kangen nih sama Kei."
Wildan memutar bola mata malas. "Karena lo ke sini nebeng sama Eyang sebenarnya bukan untuk temuin gue tapi temuin Pak Arga, kan." Tebakan Wildan tak meleset membuat Keisya nyengir.
Jelas saja, semua ajudan juga sudah tahu bahwa Arga dikejar-kejar oleh sepupu dari Wildan itu.
"Pak Arga mana?"
"Tck. Otak lu dipenuhi Pak Arga semua." Wildan geleng-geleng kepala sebelum menunjuk ke arah Arga yang masih bercerita dan tertawa dengan seorang tentara di pos jaga. "Tuh."
Keisya yang melirik pemandangan itu sampai sulit berkedip. "Oh ya ampun, dia terlalu ganteng bangeeeeeeet, Wil."
Wildan sampai memutar bola mata malas. "Mengerikan banget si lo! Ingat umur!"
Pria itu memilih melangkah ke ruang tamu menuju seorang pria lanjut usia yang tengah duduk dengan badan yang masih tegap walaupun kulitnya sudah tampak keriput dengan uban yang memenuhi kepala.
"Eyang?" Wildan langsung mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan pria itu.
"Wildan." Teguh menoleh dengan ekspresi berbinar langsung menyambut tangan cucunya itu untuk disalami.
"Gimana kabar Eyang?" tanya Wildan setelah mengambil tempat di samping Teguh.
Sahara yang duduk di seberang meja hanya tersenyum tipis melihat pemandangan itu sebelum kembali menyesap tehnya.
Teguh tersenyum lebar. "Alhamdulillah baik. Papa kamu bilang, dua bulan lagi kamu sudah siap masuk ke karantina untuk persiapan tes Akmil. Eyang seneng banget dengernya."
Seketika Wildan terdiam. Agak lama. Dia tahu akan masuk karantina untuk persiapan tapi tidak tahu bahwa waktunya tinggal dua bulan lagi. Terlalu cepat, pikirnya.
"Oh ...." Dia menatap Sahara seolah mencari jawaban tapi pria paruh baya itu melihat ke arah lain.
Teguh menepuk pundak Wildan membuat pria itu kembali menoleh ke arahnya. "Postur kamu juga udah bagus banget. Ah, kalau Radhival masih ada, dia pasti udah lulus Akmil, ya, Sahara? Udah jadi prajurit yang gagah." Pandangannya beralih ke Sahara yang seketika terdiam dengan ekspresi yang berubah dingin. Sonya pun agak gelagapan saat nama itu kembali dibahas. "Kalian berdua juga pasti sangat mirip wajahnya karena ikut wajahnya papa kalian," tambah Teguh.
Wildan malah mengerutkan dahi dengan ekspresi heran. "Radhival? Siapa Radhival, Eyang?"
Sonya langsung tersenyum terpaksa dari seberang meja. "Wildan? Masuk sekarang dan ganti baju, ya," selanya sebelum menoleh ke arah Keisya. "Bantuin Eyang minum obat, Nak." Keisya langsung menurut.
Sepanjang perjalanan ke kamarnya Wildan masih terus bertanya-tanya tentang nama Radhival itu. Dia masih asing dengan nama itu.
"Radhival?" gumamnya. Dia heran karena ekspresi ayahnya seketika berubah saat disebutkan nama itu.
***
Setelah makan malam, mereka masih berbincang panjang lebar tapi Wildan tiba-tiba menatap smartwatchnya.
"Wildan izin ke belakang sebentar, ya." Pria itu langsung pergi begitu saja menuju kamarnya.
Teguh yang menunggunya masih melirik pintu dapur. Dia pikir cucunya hanya pergi untuk mengambil sesuatu di dapur tapi terasa lama baginya.
"Wildan ke mana sih? Kenapa lama banget?"
Sahara dan Sonya yang saling berpandangan. Keduanya langsung kompak berdiri bersamaan.
"Wil?" panggil Sahara.
"Wildan?" Sonya tak mau kalah.
Keduanya langsung bergegas mencari anaknya itu. Sahara berpikir Wildan kabur lagi.
"Mana sih itu anak, Ma?! Jangan-jangan dia keluar lagi temuin teman perempuannya itu."
"Cek dulu di kamarnya, Pa." Sonya menenangkan suaminya itu.
Pria itu langsung mengecek smartwatchnya melihat keberadaan Wildan tapi titiknya masih di rumah itu.
Sahara dan Sonya langsung menuju kamar anaknya. Saat dibuka, pemandangan di hadapan mereka membuat keduanya terdiam dan terpana.
Jelas saja, untuk pertama kalinya mereka melihat Wildan sedang menghadap kiblat dan shalat dengan tenang. Pada wajahnya masih terdapat bekas-bekas air wudhu.
"Dia shalat?" tanya Sahara tak percaya. "Sejak kapan dia shalat?" Sahara mendadak teringat perkataan Wildan tentang teman dari sekolah tetangganya itu.
Bukan menanggapi suaminya, Sonya malah senyum-senyum penuh arti. "Ini yang mama ajarin ke Wildan, Pa," ujarnya dengan bangga sebelum Sahara bertanya dengan pertanyaan andalannya, "Jadi ini yang kamu ajarin ke anak kamu?!"
"Bagus," balas Sahara sekenanya sebelum kembali ke meja makan.
Sonya sampai ingin lompat-lompat di tempatnya. "YESSSSSS ...." Dia merasa menang kali ini. Entah mereka ini sedang menjalani rumah tangga atau kompetisi siapa yang lebih baik.
***
Setelah shalat dia masih sempat-sempatnya menelepon pujaan hati.
"Masih di rumah sakit?" tanyanya sambil mengusap tengkuknya persis orang salah tingkah.
"Iya. Kenapa lo nelepon?!" Suara Dinda tetap saja ketus padahal Wildan sudah berusaha menunjukan perasaannya secara terang-terangan.
Wildan tertawa pelan. "Galak banget sih, Neng. Emang enggak boleh?"
"Cepet ngomong maksud lo! Gue enggak ada waktu ladenin lo, ya!"
"Iya yang paling sibuk. Gue cuma mau nanya, lo udah makan belum?"
"Belum. Kenapa lo nanya-nanya?!"
"Mau gue kirimin makanan. Sebentar, ya." Wildan mulai membuka aplikasi pemesanan makanan di ponselnya.
"Enggak usah!" tolak Dinda dengan keras. Dia tak ingin berhutang budi pada pria itu.
"Enggak apa-apa. Gue minta maaf belum bisa ke sana lagi. Eyang gue lagi dateng ke rumah. Lo enggak apa-apa sendirian dulu?"
"Gue emang berharap lo enggak dateng lagi!"
Sontak Wildan malah tertawa. "Hahahahaha ... galak banget sih." Sering dianiyaya tapi tetap saja dia tergila-gila. "Done. Udah gue pesenin. Tungguin, ya. Gue mau ke depan dulu. Besok gue temuin lo."
"Enggak usah!"
"Gue kangen."
"Ihhhhhhhhhh ...." Dan, rentetan omelan sudah terdengar yang membuat Wildan ingin menulikan telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...