Semenjak pertemuan kedua membuat keduanya kembali galau jilid 2. Kalau dulu galau akan dibawa ke mana hubungan mereka, sekarang galau apakah rasa mereka masih sama atau tidak?
Hanya Wildan yang setelah Dinda melakukan kekejaman menyiram dengan air cuci piring, gadis itu memukul setir mobil saking menyesal dan malunya. Ya, dia sudah memiliki urat malu sekarang.
"Aish ... kenapa gue refleks siram mukanya sih? Aaaaaaaaaaa ... buat malu aja. Dia bakal ngira gue tetep bar-bar dong. Aaaaaaaaa ...." Dinda galau setengah mati di dalam mobilnya. Takut dicap aneh oleh Wildan. Takut Wildan melihat kekurangannya padahal Wildan sudah mengetahui segala kebusukannya dari zaman dulu. Gadis yang tak ada elegannya sama sekali.
Tiba-tiba dia tersadar. "Kenapa gue mikirin penilaiannya dia? Ah, kagak penting banget!" Diam-diam dia sadar, itu karena dia masih ... cinta. Cinta pada pria tukang makan yang menyuruhnya makan pecel lele lima porsi untuk mengetahui dan menyadari bahwa mereka satu server. Server doyan makan.
Sepulang dari itu pun Wildan galau. Menyalahkan diri sendiri. Berkata ingin move on tapi ketika melihat Dinda, jiwa usilnya tergugah. Langsung mengganggu gadis itu tanpa menjaga batasan. Sangat aneh, pikirnya.
Kalau sudah demikian, status move onnya sangat dipertanyakan, pikirnya.
"Ah, ngapain coba tadi gue ngobrol sama Dinda? Enggak penting banget!" batinnya kesal dengan diri sendiri.
Namun, hanya Dinda dan Wildan yang tahu bahwa malamnya mereka tak bisa tidur lantaran mengenang banyak momen di masa lampau yang terulang begitu saja. Momen manis yang hanya mereka berdua yang tahu. Tak sengaja terlintas di kepala, berusaha ditepis tapi terus muncul seolah memaksa untuk dikenang.
Keesokan harinya tanpa janjian mereka pergi ke sebuah tempat yang sama. Sebuah tempat milik Teguh yang sarat akan cerita sejarah kelam itu.
Lucunya, bertemu di pintu masuk membuat keduanya terpaku di tempatnya. Sama-sama membuka kaca mata hitam yang dikenakan. Tanpa kata tapi keberadaan mereka bersama di sana seolah sudah mengakui secara tak langsung bahwa mereka saling ... merindukan.
"Apa lo sesuka itu sama Jihan sampai harus datengin ke rumah sakit segala dan asramanya?" sindir Dinda membuka pembicaraan.
Ekspresi Wildan tetap datar. "Hanya orang seperti lo yang berusaha menepis fakta tentang siapa orang yang gue sukai dulu. Ah, tapi enggak penting lagi pembahasan tentang perasaan. Lo selalu merasa, lo enggak pantes dicintai dengan segala sifat kasar dan galak lo itu yang enggak sama dengan Jihan. Dan, lucunya gue selalu melihat lo dari pandangan yang lain bahwa lo adalah orang yang paling memahami gue. Sayangnya, semua itu lo sia-siakan dengan berlindung di balik sikap pura-pura lo bahwa gue suka sama Jihan.
"So, tetap aja berpikir begitu. Enggak usah khawatir, gue masih bisa lupain lo!" tegas Wildan langsung berbalik memasang kaca mata hitamnya dan berlalu begitu saja.
Dia sudah lelah tentang semua sikap Dinda yang dari dulu selalu berpura-pura menuduhnya untuk menutupi gengsi pribadinya.
"Lucunya, lo selalu menempatkan diri lo sebagai korban!" Volume Dinda meninggi tapi Wildan tak peduli.
Mobil pria itu berlalu membuat Dinda terkenang satu perkataan Wildan saat dulu.
"Lo sabar nungguin gue di luar sini. Jangan tergoda sama cowok lain. Kalau gue lulus, gue di kesatrian juga sibuk pendidikan. Sibuk latihan. Enggak ada waktu lirik cewek lain. Jadi lo enggak harus khawatir."
Dia memilih menepis ingatan itu sampai berdiri di depan foto Monumen Soco. Tak sengaja dia menggeser bingkai foto itu dan menemukan sebuah tulisan di sana.
"Wildan & Dinda (tanggal mereka berkunjung dulu)" di bawah tulisan itu terdapat sebuah kalimat, "Kalau orang bertanya tentang cinta, maka jawabanku adalah kamu."
Dinda tersentak. Dia tahu dulu Wildan sempat menulis sesuatu di balik bingkai foto itu sebelum mereka pulang dan dia baru tahu, itu yang ditulis pria itu.
.
.
"Sebenarnya gue selalu bingung sejak dulu. Harus dibawa ke mana perasaan kita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...