TA'ARUF

5K 648 43
                                    

Kejadian pingsannya Dinda di lobi perusahaannya tentu sangat menghebohkan. Kabarnya sampai terdengar oleh Jihan yang berakhir pada Dinda menceritakan semuanya.

Jihan akhirnya mencoba mengonfirmasi dan meminta bantuanl suaminya. Hal itulah yang membuat Aldan akhirnya menemui Wildan setelah hampir dua pekan pria itu uring-uringan lantaran bingung apa yang harus dilakukannya.

"Kenapa sejak awal kamu tidak cerita sama saya?" tanya Aldan begitu mereka selesai shalat dzuhur di sebuah masjid yang masih ada dalam area asrama yang ditempati Aldan.

Siang itu Wildan mampir di rumah Aldan karena pria itu memintanya untuk datang.

Wildan tertegun. "Percayalah, gue pengen cerita tapi selalu ada halangan. Gue juga enggak bermaksud ngomong gitu ke dia. Gue cuma ... enggak bisa ngendaliin diri aja pada saat itu. Susah."

Aldan angguk-angguk kepala. "Saya bisa paham." Kadang dia pun heran pada dirinya sendiri karena sisi romantisnya bisa keluar begitu saja di depan istrinya. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Wildan, pikirnya. "So, saya dan istri sudah bersepakat untuk membantu kamu sebagai perantara kalau kamu mau."

"Untuk?"

"Ta'aruf." Aldan to the point tapi Wildan menggeleng. Dia masih merasa ragu. Khawatir ditolak.

"Dia belum tentu mau, Al."

"Justru karena saya melihat peluang Bu Dinda mau, makanya saya berani menawarkan bantuan. Kalaupun saat ta'aruf nanti ditolak atau gagal, setidaknya kamu sudah menempuh cara yang syar'i dan seharusnya untuk menjemput jodoh. Pernikahan itu suci, maka harus dimulai dengan cara yang benar kalau ingin diberkahi oleh Allah 'Azza wa Jalla.

"Ini tidak hanya tentang cenderungnya kita ke lawan jenis tapi tentang ibadah terlama yang di dalamnya ada komitmen, tanggung jawab, dan lainnya."

Agak lama Wildan terdiam sebelum melirik Aldan mencoba mencari keyakinan dirinya.

.

.

"Bismillah. Gue bersedia."

Pada akhirnya mereka bertukar biodata seperti biasa. Masing-masing mereka bertukar biodata melalui perantara Aldan dan Jihan. Mulai mempelajari biodata masing-masing dan keadaan diri yang harus ditulis sangat jujur. Tak seperti membeli kucing dalam karung seperti yang dianggap masyarakat yang memandang ta'aruf dengan sebelah mata.

Wildan tak berharap banyak. Dia sudah menyiapkan diri untuk gagal. Dia tak berharap apa pun lagi karena pengalaman berharapnya pada manusia selalu mematahkannya. Kalaupun nanti gagal, dia sudah cukup puas karena sudah berusaha semaksimal mungkin yang bisa dilakukannya. Sehingga, mungkin dia bisa lebih menerima jika harus kehilangan Dinda, pikirnya.

"Insyaallah enggak ada yang tersakiti atau dirugikan kalau pakai sistem ta'aruf. Asal jangan menaruh hati sejak awal kalau belum ada kata sah. Ngasih hati kalau udah ada kata sah. Dan, memang udah seharusnya begitu," kata Jihan pada Dinda.

Setelah rentang waktu sepekan dan keduanya shalat istikharah, di luar dugaan, Dinda menerima untuk masuk ke tahap selanjutnya.

Wildan sangat bahagia saat menerima pesan dari Aldan terkait hal itu.

Lagi-lagi Aldan dan Jihan menjadi perantaranya. Mereka mempertemukan dua orang itu di rumahnya dan mendampingi mereka seraya memberikan kebebasan untuk bertanya satu sama lain guna untuk memantapkan tekad mereka. Hal itu pun membolehkan Wildan untuk nadzor atau melihat fisik secara jelas perempuan yang ingin dinikahinya itu. Sebatas wajah dan telapak tangan bukan yang merupakan bagian aurat.

"Silahkan. Kalian bisa saling bertanya hal yang diperlukan untuk menguatkan tekad ke tahap selanjutnya," jelas Aldan.

Keduanya menunduk saja walaupun duduk berhadapan dengan jarak berarti yang dipisahkan sebuah meja di ruang tamu Aldan.

Wildan bingung akan bertanya apa karena dia sudah mantap pada semua hal dan biodata Dinda dibuat sangat lengkap. Begitu lengkap sampai dia memahami dan menerima semuanya tanpa terkecuali. Dia mendongkak sejenak dan mendapati ekspresi Dinda pun datar saja. Tak ada aura malu-malu sama sekali dan sepertinya tak ada lagi yang ingin ditanyakannya.

Tak lama pria itu berdeham dan memilih berbicara.

"Gue ... udah cukup kenal sama lo, Din. Gue enggak ada pertanyaan berarti. Gue cuma mau bilang, kalau lo cari yang sempurna banget level ustadz pemahaman ilmu agamanya, mungkin gue bukan orangnya. Tapi, kalau lo nyari sesama penuntut ilmu yang mau belajar agama bareng dan memperbaiki diri bersama selalu, Insyaallah, itu gue.

"Lo tahu sendiri gue gimana. Gue cari orang yang mau sama-sama belajar dan saling support. Bukan orang yang selalu nuntut gue untuk sempurna. Karena gue manusia biasa."

Dinda masih tetap diam membuat Wildan menjadi sedikit panik. Aldan dan Jihan pun ikut deg-degan padahal bukan mereka yang mengalami.

Agak lama sebelum Dinda mendongkak dan hanya mengatakan sebuah kalimat yang singkat, padat, dan sangat jelas.

.

.

"Bismillah. Gue siap dilamar."

"HAHHHH?" Bukan hanya Wildan yang syok, Aldan pun ikut ingin smaput. Kedua pria itu sampai melongo. Biasanya perempuan malu-malu di tahap ini tapi Dinda memang berbeda. Ya, sangat berbeda. Bahkan tanpa memperpanjang kata lagi. Auto melamar.

Beruntungnya Wildan bisa mengendalikan diri untuk tidak melampiaskan kebahagiaannya pada menggendong Aldan karena itu akan sangat 'mengerikan' dalam pandangan Dinda dan Jihan.

Hanya dalam waktu satu bulan, acara lamaran pun dilangsungkan. Sejujurnya dia hanya ingin lamaran biasa dan sederhana tapi Sonya membuat semuanya menjadi lumayan ... 'heboh' yang akhirnya tak ada pilihan bagi Wildan selain mengikuti selama itu masih dalam batasan syari'at. Kalau melanggar, mungkin dia akan berdiskusi secara baik-baik dengan ibunya untuk mengkompromikannya.

Jihan ikut bahagia mendampingi Dinda saat itu. Sahabatnya itu tampak diam saja dan menunduk tapi hanya Dinda yang tahu, dia sangat bahagia untuk mengatakan bahwa dia menunggu momen itu sepanjang hidupnya. Dan, kebahagiaannya sangat terlihat. Ya, terlihat pada wajah datar tanpa ekspresi. Luar biasa langka ekspresi bahagia Dinda.

Wildan menggunakan kemeja putih yang dilapisi jas hitam hari itu dan membawa lengkap anggota keluarga intinya termasuk Arga yang begitu bahagia.

"Saya Wildan Sahara Aryakasena, ingin melamar Adinda Prastowo untuk diri saya. Apakah Adinda berkenan menerimanya?" tanyanya dengan suara pelan.

Dinda menarik napas. "Bismillah. Saya bersedia."

"ALHAMDULILAH." Semua orang yang hadir ikut bahagia.

Sonya sampai memeluk Wildan dan mencium pipi kanan anaknya itu karena setelah sekian lama akhirnya akan menikah. Calonnya pun sangat membuat Sonya terpukau dan bahagia, karena dia adalah Adinda Prastowo. Sosok terpandang yang sangat diidolakan oleh Sonya khususnya saat momen membalas hujatan heaters dengan cara yang elegan tapi pasti. Walaupun Dinda sebenarnya sudah berubah dan tak mau lagi terlibat pada konflik-konflik itu.

Wildan pun baru menyadari satu hal bahwa ternyata pernikahan itu Insyaallah mudah yang membuat sulit adalah kebanyakan strategi untuk PDKT. Jika saja sejak awal dia memberanikan diri untuk mencari perantara untuk ta'aruf, nadzor, dan khitbah atau melamar, dia tak perlu pusing tujuh keliling seperti sebelumnya.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang