BERTEMU

3.6K 582 17
                                    

"Radhival ... Radhival ... Radhival ...." Sahara terus mengigau nama yang sama sejak tadi sebelum tiba-tiba terbangun dengan napas memburu dan keringat dingin yang bercucuran di wajahnya. "HAH ...."

Pria itu bangkit dari tidurnya dan duduk dengan ekspresi tak terbaca. Setelah sekian lama dia berusaha menepis perasaan itu, mimpi buruk dan perasaan bersalah itu kembali menghantuinya karena Teguh menyinggung kembali nama Radhival membuatnya kembali terngiang.

Tanpa pikir panjang, pria paruh baya itu langsung membuka pintu kamarnya menuju kamar putranya.

Pukul satu malam pintu kamar Wildan sudah diketuk.

"Wildan?" panggil Sahara dengan nada khawatir. "Wildan?"

Wildan yang masih sangat mengantuk membuka pintunya dengan wajah kusut.

Seketika Sahara langsung memegang wajah dan pundaknya bergantian seperti memastikan tak terjadi apa pun pada putranya itu.

"Kamu enggak apa-apa, kan, Wil?" Sahara seperti panik. "Kamu enggak apa-apa, kan, Wildan?"

Wildan mengerutkan dahi lantaran heran. "Ada apa sih, Pa? Ini udah malem. Wildan ngantuk."

Sahara tetap saja khawatir. "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Ada temen yang jahatin kamu di sekolah? Atau siapa yang nyakitin kamu?"

Lagi-lagi Wildan menatap papanya itu dengan penuh tanya. "Aku enggak ngerti maksud papa. Aku baik-baik aja, Pa."

"Tidur, Nak. Tidur." Sahara mengusap kepala anaknya dengan pelan membuat Wildan terpaku karena merasakan baru pertama kali Sahara begitu perhatian padanya. "Maaf papa ganggu kamu."

Pria paruh baya itu langsung kembali berlalu ke kamarnya meninggalkan sebuah pertanyaan di benak Wildan. "Papa kenapa sih?"

Berbeda dengan Sahara yang duduk di tepi ranjang dan tak lama kemudian menangis dalam diam. "Radhival ... maafin, Papa. Ini semua salah papa. Harusnya papa bisa lebih jagain kamu. Maafin papa."

Dia tak sadar bahwa nama Radhival sudah menjadi trauma tersendiri baginya.

***

Sahara yang baru turun dari treadmill itu menatap heran ke arah putranya yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. "Berangkat pagi banget kamu. Udah latihan fisik?" Jelas saja, itu baru pukul lima pagi.

"Udah, Pa. Aku berangkat dulu, ya. Aku udah pamit sama mama." Wildan menyalami pria itu sebelum menuju mobilnya.

Rupanya dia sengaja berangkat pagi karena hendak ke rumah sakit terlebih dahulu mengantarkan sarapan untuk Dinda sebelum ke sekolah.

Begitu berbelok di koridor yang menuju ruangan Reni dirawat, dia berhenti dan kembali ke balik tembok. Dilihatnya sosok Jihan sedang duduk menemani Dinda di sana.

"Ada Jihan. Kalau gue ke sana, bawaan tanduknya Dinda bakal keluar lagi. Enggak ada Jihan aja dia mengerikan apalagi ada." Pria itu menghela napas jengah sebelum menahan seorang perawat. 

"Suster?"

"Iya, Mas?" Wanita berseragam putih itu berhenti.

"Bisa minta tolong anterin sarapan ini untuk cewek yang pakai hijab biru enggak? Bilang aja dari Wildan, Sus."

Beruntung perawat itu ingin membantunya. Setelahnya dia memilih langsung pergi karena yakin Dinda tak terlalu ingin menemuinya.

"Permisi Mbak?"

Dinda dan Jihan kompak mendongkak menatap perawat itu.

"Iya, Sus?" sahut Dinda.

"Ini tadi dari Wildan, Mbak. Saya dimintai tolong untuk memberikannya kepada Mbak."

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang