JAUHI

3.7K 596 10
                                    

Hari libur Wildan dihabiskan untuk kerja bhakti di sekitar rumah dinas. Sebenarnya sudah ada tentara yang bertugas hanya saja hari itu khusus semua penghuni rumah dinas terlibat. 

"Wildan? Bisa bantu ambil mesin pemotong rumput di gudang?" tanya pria berkaos hijau lumut yang tak lain adalah Arga.

Wildan yang sedang membersihkan kolam itu mengangguk. "Siap. Tunggu bentar, Pak."

Pria itu langsung bergegas ke gudang dan mencari benda yang dimaksud. Dicarinya tapi tak juga ditemukan. Dia masuk ke sebuah ruangan kecil yang ada di gudang dan membuka kain putih lusuh dan berdebu yang menutupi barang-barang tak terpakai itu.

Tak lama dia terpaku mendapati kereta bayi di sana. Tertera nama lengkapnya dari ukiran kayu di kereta bernuansa ungu itu. Seketika dia tersenyum. Baru tahu bahwa barang-barang masa kecilnya masih disimpan bahkan ikut ke manapun ayahnya dipindah tugaskan.

Namun, perhatiannya teralih pada sebuah kereta lainnya yang ada di samping miliknya. Kereta berwarna dominan hijau itu sekilas tampak mirip dengan keretanya dan ada sebuah nama yang tertera pula di sana bertuliskan, "Radhival Sahara Aryakasena".

Seketika Wildan mengerutkan dahi. Sepengetahuannya dia tak memiliki saudara karena dia anak tunggal, tapi nama itu membuatnya terkenang pada ucapan kakeknya tempo lalu saat berkunjung.

"Radhival?" gumamnya dengan benak penuh tanya.

Cepat-cepat dia menuju ke rumahnya mencari ibunya yang masih sibuk di dapur.

"Ma?"

"Iya, Wil?" Wanita paruh baya yang masih sibuk memanggang kue itu menoleh.

"Aku boleh nanya sesuatu enggak?"

Sonya tersenyum. "Nanya apa?"

"Radhival itu siapa sih? Kok ada kereta bayi di gudang namanya Radhival Sahara Aryakasena?"

Sonya langsung terpaku di tempatnya.

"Terus eyang juga pernah--"

"Enggak usah sebut nama itu lagi! Lupain apa pun yang kamu denger!" potong Sonya dengan cepat.

"Lho, aku kan--"

"Kembali bantu bersih-bersih!" Nada Sonya terdengar tegas membuat Wildan tak berani bertanya lebih lanjut tapi jujur dia semakin penasaran.

***

Dinda masih menggenggam erat tangan Reni yang masih terbaring di ranjang rumah sakit itu. Keadaan wanita itu tampak semakin membaik.

"Ibu ada uang tabungan. Kamu bisa pakai itu untuk kuliah, Dind."

Dinda menggeleng pelan. "Lebih baik pakai aja untuk pengobatan ibu. Apa artinya aku dapet segalanya tapi ibu enggak ada? Semuanya enggak ada artinya."

Ekspresi Reni berubah tak suka. "Enggak boleh bilang gitu. Pokoknya kamu harus tetep sekolah dan lanjutin kuliah. Kamu sama Jihan harus kuliah. Paham?" Nadanya tak ingin dibantah membuat Dinda hanya mengangguk.

"Paham, Bu."

Tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara salam dari pintu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," sahut Dinda dan Reni bersamaan.

Keduanya terpaku mendapati seorang pria berpakaian loreng dengan pangkat bintang satu, lengkap dengan baret hijau khas TNI AD, dan tongkat komando menandakan dia seorang komandan dari sebuah daerah militer. Di belakang pria itu ada seorang ajudan yang masih cukup muda dan tengah memegang sebuket bunga dan sebuah keranjang berisi buah-buahan.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang