KETAHUAN

3.8K 605 38
                                    

"Senyum-senyum terus," goda Arga saat Wildan baru masuk ke mobilnya.

Pria itu tetap memasang senyumnya bahkan lebih lebar. "Pengen senyum aja, Pak."

"Matanya udah baikan, Mas?" Arga melirik mata kanan Wildan yang masih ditutupi kapas yang dilekatkan dengan plester itu.

"Kata dokter enggak apa-apa, Pak. Paling besok udah sembuh. Cuma perih aja."

"Jelas aja udah baikan. Kan udah makan berdua. Kelihatan menikmati banget. Enggak pakai jaga image lagi," sindir Arga.

"Ngapain jaga image di depan Dinda, Pak? Gue sama Dinda itu sama. Sama-sama bar-bar. Sesama bar-bar enggak baik saling menjaga image."

Arga mengembungkan pipi. Sulit menahan tawanya. "Mphhh ... hahahahaha ...."

***

"Matamu kenapa?" tanya Sahara tiba-tiba ke arah putranya yang duduk di kursi di sampingnya itu.

Sonya yang tengah duduk di meja seberang sambil menghabiskan makan malamnya pun langsung ikut melirik Wildan.

"Kemasukan cairan cuci piring," jawab Wildan sekenanya.

"Di mana?" Sahara tampak tenang tapi Sonya tahu, sikap tenangnya Sahara itu menghanyutkan.

"Di rumah temen, Pa."

"Sekitar jam berapa?"

"Sekitar 13.45." Wildan santai sekali tapi instingnya mengatakan dia perlu hati-hati, karena Sahara bukan orang sembarangan yang bisa termakan dusta.

Pertanyaan sederhana Sahara yang terkesan basa-basi, sebenarnya adalah informasi penting untuk pria paruh baya itu. Pintar mengintrogasi tanpa diketahui tersangka.

"Rumah temenmu di area mana?"

Kali ini Wildan terdiam sebentar sebelum mengarang jawaban baru. "Area ... area ... rumahnya si Erick, Pa." Dia berbohong.

"Rumahnya Erick bukan di perkampungan yang di belakang area sekolahmu itu."

Deg

Jantung Wildan langsung berdetak lebih cepat. Sonya langsung melirik ke arah putranya dan suaminya seperti sedang menonton sebuah pertandingan.

"Temen-temenmu juga tidak ada yang tinggal di area perkampungan."

Deg

"Dan, kamu bantu nyuci piring? Papa yakin, temen-temenmu itu 98% ada ART di rumahnya. Jadi kenapa kamu perlu nyuci piring?" Sahara menatap tepat ke arah Wildan dengan tatapan dinginnya.

Deg

Wildan mati kutu. Kena mental.

"Sebulan penuh juga kamu tidak makan di kafetaria sekolah padahal kamu tidak puasa. So, kamu makan di mana?"

Sonya pun ikut melotot. "Wildan? Kamu enggak makan di kafetaria sekolah?"

Wildan kesulitan menjawab. "Aku ... aku makan di luar sama Pak Arga."

Sahara tersenyum sinis. "Makan di luar? Tapi lokasimu menunjukan sebulan penuh kamu ada di sekolah sebelah saat jam istirahat. Ngapain di sana?"

DEG

"Okay, mampus," batin Wildan. Tak tertolong.

"Okay, aku jujur. Aku suka makanan di kantin sekolah di sebelah. Aku enggak terlalu tertarik makanan di kafetaria sekolah." Dia merasa percuma berbohong pada Sahara. Pria itu punya informan ataupun segala cara untuk mengetahui detail tentang dirinya tanpa dia sadari. Walaupun permasalahannya sebenarnya ada pada smartwatch di tangan Wildan. Itu bisa melacak keberadaan Wildan dengan mudah.

"Nyusup ke sekolah orang? Balita juga tahu itu pelanggaran berat." Nada Sahara berubah sedikit kesal. Dia langsung menatap ke arah istrinya yang sudah tak sanggup berkata apa pun. "Hanya karena dia tidak tertarik dengan makanan di kafetaria sekolah yang kita bayar setiap semester dengan SPPnya. Ini konyol!" Sonya pun tak dapat membantah apa pun.

Jelas saja, kafetaria sekolah selalu berusaha menyediakan makanan bergizi dan Wildan tak menyukainya. Terdengar aneh bagi Sahara.

"Wildan? Jujur sama mama! Kamu ke rumah siapa?"

Wildan menghela napas jengah. Dia capek melakukan peran sebagai anak buah bukan sebagai anak bagi kedua orang tuanya. Dia merasa selalu jadi tersangka dan pelaku dari semua kesalahan di rumahnya.

"Aku ke rumah Dinda."

Sahara dan Sonya saling lirik sebelum kembali menatap ke satu titik. Wildan.

"Siapa Dinda?" tanya Sahara.

"Dinda adalah temenku dari sekolah sebelah." Sejak kapan dia dan Dinda mendeklarasikan pertemanan? Entahlah.

Sahara geleng-geleng kepala dengan pelan. "Kamu tahu sekolah sebelah itu kurang berkualitas dan anak-anaknya itu dari kelas menengah ke bawah. Papa bukan menghalangi kamu untuk berteman dengan kalangan manapun. Silahkan berteman mau latar belakangnya seperti apa pun, tapi papa sekolahin kamu di sekolah elit karena kualitas dan lingkungan pergaulan yang mendukung masa depan kamu. Pergaulan itu penting. Apa kamu paham?!"

Wildan terdiam dan tak kunjung menjawab membuat Sonya menatapnya dengan tajam.

"Wildan?" panggil Sonya agar putranya itu segera menanggapi Sahara.

"Hampir tiga tahun aku sekolah di sekolah elit, Pa tapi hanya semenjak mengenal Dinda baru aku mau belajar wudhu, belajar shalat walaupun baru shalat dzuhur aja pas pulang sekolah, aku mau belajar IQRA', dan ikut kajian. Mungkin baru beberapa kali ikut, kadang enggak hadir, tujuan aku pun belum bener dan kadang aku masih sering males, tapi bagiku itu penting.

"Dinda bukan hanya siswa dari sekolah kurang elit dan anak dari masyarakat kelas menengah. Bagiku dia lebih baik dari semua teman-temanku yang pernah papa dan mama kenal dari sekolah elit itu. Jadi ... tolong jangan pernah merendahkan dia lagi. Makan di meja makan keluarganya buat aku jauh lebih bahagia dan makan dengan Dinda buat aku lebih merasa punya seseorang yang bisa disebut sebagai teman bahkan keluarga," lanjutnya sebelum meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata pun. Tak memasang sikap sopan sedikitpun.

Amarah Sahara seketika meningkat. Pria itu langsung melirik istrinya. "Tck. Apa ini yang kamu ajarin ke anak kamu? Melupakan semua kebaikan orang tuanya dan memuji kebaikan orang asing di luar sana yang bahkan baru dia kenal?! Begini cara kamu mendidiknya?! Melompat pagar pembatas dan menyusup ke sekolah orang lain hanya karena tidak tertarik makanan di kafetaria? Memalukan!" Tanpa ucapan apa pun, Sahara pun bangkit dari meja makan dengan wajah kesal.

Tersisa Sonya sendirian di sana yang sedetik kemudian tersadar bahwa dia sudah ditinggalkan.

Wanita paruh baya itu melirik ke kanan dan ke kiri sebelum melongo. "Kenapa semua meninggalkan saya? Siapa yang salah sebenarnya di sini?" Dia heran.

***

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang