GALAU

3.7K 556 16
                                    

Sejak hari itu, Wildan tak lagi menghubungi Dinda. Dia bingung, apa yang harus dibicarakan dan apa yang harus dijalani. Dia tak tahu tujuan akhir kedekatannya dengan Dinda.

Sehingga saat ayahnya mengajaknya memancing di luar kota, pria itu menerimanya saja. Meskipun seperti tak ada semangat hidup. Galau.

"Kenapa?" tanya Sahara yang duduk di seberang tempat api unggun itu.

Sejak tadi mereka duduk di depan danau tapi ekspresi Wildan tanpa senyum sama sekali. Tampak tak bersemangat.

"Bingung, Pa," jawabnya dengan suara pelan.

"Memangnya ada apa? Adinda? Kata Arga kalian sempet ketemu beberapa hari lalu."

Wildan mengangguk lemah. "Udah beberapa hari ini, aku enggak hubungin Adinda, Pa. Aku bingung. Adinda beneran suka sama aku atau enggak."

"Lho, kok gitu? Kata Arga kalian sama-sama suka."

"Tapi Adinda kayak enggak mau ditembak, Pa. Dia udah ngaji. Dia ngerasa bersalah kalau pacaran sama aku. Terus aku harus gimana? Kalau enggak pacaran, kita maunya gimana? Aku enggak bisa awasin dia terus di luar sini. Selama pendidikan pasti aku di asrama. Kalau dia tertarik sama orang lain gimana, Pa?" curhatnya mengeluarkan uneg-unegnya. Dia benar-benar galau tingkat tinggi gara-gara gadis galak yang merupakan siswa dari tetangga sekolahnya itu.

Sahara menahan senyumnya. Dia baru paham, Wildan bisa sangat bucin kalau sedang jatuh cinta.

"Wildan ... Wildan. Dengerin, ya, Nak. Kalau dia jodoh kamu, mau seribu tahun berlalu pun, dia enggak akan jadi milik siapapun kecuali cuma jadi milik kamu. Kalau memang takdir kamu, cuma bakal jadi milik kamu. Jadi kenapa khawatir gitu? Dulu mamamu itu udah dilamar pengusaha kaya raya. Pengusaha kelapa sawit. Udah dilamar tapi ditolak sama mamamu karena cintanya sama papa. Hatinya ada papamu ini, bukan harta hasil kelapa sawit.

"Kamu tahu, pas orang jatuh cinta itu enggak ada yang lebih penting dari orang yang dicintainya. Tapi ... Papa juga yakin, Adinda jauh lebih cinta sama Allah Ta'ala, makanya dia galau dan terkesan ingin mendahulukan perintah Allah Ta'ala di atas segalanya. Mungkin dia masih banyak kekurangan tapi dia pengen jadi bener.

"Cewek yang enggak ngelanggar prinsipnya gitu yang harusnya kamu perjuangin. Itu tipe cewek yang sangat konsisten. Perjuanginnya itu bukan buat dipacarin tapi buat dinikahin sekalian pas udah siap. Kalau aturan Allah Ta'ala aja dia mau taat apalagi kamu. Itu yang keren. Justru kamu harus takut kalau dia langgar aturan Allah Ta'ala cuma buat kamu. Kalau Allah Ta'ala aja dia enggak taat apalagi sama kamu. Paham, kan, Nak?" lanjut Sahara membuat Wildan tampak berpikir.

"Iya juga sih, Pa." Suaranya masih terdengar lemas tapi dia mulai sedikit tercerahkan. "Terus aku harus gimana?"

"Sekarang tugas kamu adalah memantaskan diri. Prioritaskan dulu yang harus diprioritaskan. Masa depan kamu misalnya. Jangan sampai karena pusing sama masalah yang belum waktunya untuk diurus, kamu malah melalaikan apa yang harus difokuskan terlebih dahulu.

"Papa memandang, perempuan itu bukan matre, tapi realistis. Pria yang bener-bener sayang, bukan protes, tapi berusaha memberikan kehidupan yang layak secara finansial untuk perempuannya. Karena kita pria ini harus memandang ke depan dengan realistis. Hidup enggak mengandalkan cinta aja walaupun cinta itu penting."

Benar juga, walaupun dia terlampau bucin pada Dinda, tapi kalau tidak ada rencana masa depan yang dipersiapkan, sama saja seperti tak ada kehidupan. Hanya bucin tak jelas, pikir Wildan. 

"Fokus, Wildan!" tegas Sahara sebelum menarik alat pancingnya karena umpannya dimakan.

***

Setelah berhari-hari galau tak dihubungi Wildan, Dinda memutuskan mencari suasana baru. Ke kajian misalnya. Benar saja, dia menerima ajakan Jihan untuk hadir dalam Tabligh Akbar khusus anak muda.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang