Wildan tidak mungkin lompat pagar ke sekolah seberang hari ini. Jelas saja, dia mengenakan seragam khas sekolahnya dan sekolah sebelah pun memakai batik khusus sekolah mereka.
Terpaksa dia membawa teropong di dalam tasnya dan berdiri di rooftop sekolahnya sejak pagi buta hanya untuk memantau kedatangan Jihan di pagar sekolah sebelah.
Kalau tidak bisa bertemu Jihan di kantin, maka di depan sekolah pun bisa, pikirnya.
Tepat 06.30 Jihan sudah muncul membuat Wildan yang sedang mengamatinya menggunakan teropong hijau lumut itu tersenyum. Walaupun sedetik kemudian senyumnya hilang saat melihat siapa yang di sebelah gadis itu.
"Si virus Adinda Prastowo," gumamnya dengan nada tajam. "Tck. Nempel aja kayak biskuit!"
Kalau begini, dia tidak akan bisa mengusik Jihan. Dia menyerah.
Tepat sebelum jam pulang sekolah sebelah, dia kembali ke rooftop sekolahnya dan mengamati dengan sabar keberadaan Jihan di antara banyaknya siswa yang pulang. Seniat dan sesabar itu.
Saat Jihan tertangkap teropongnya, kembali pria itu tersenyum cerah tapi lagi-lagi senyumnya memudar begitu mendapati .... "Si kodok Adinda Prastowo! Nih orang enggak ada kehidupan apa selain mengawal Jihan?" Dia menyerah lagi.
Saat tengah bingung dan mondar-mandir tak jelas, mendadak dia menemukan ide yang membuatnya menjetikan jari. Cemerlang, pikirnya.
"Cari sosmednya."
Secepat kilat dia langsung membuka ponselnya untuk mencari facebook, instagram, dan segala macam sosmed yang memungkinkan untuk menemukan Jihan.
Namun, setengah jam berlalu tetap saja ... nihil.
"Jihan enggak ada sosmed? Macam hidup pada zaman Fir'aun aja. Ah, dia pasti terpengaruh kudet dari si prajurit Fir'aun nih. Adinda Prastowo. Gini nih kalau bergaul sama orang yang salah."
***
Mobil hijau lumut dengan plat khusus itu berhenti di depan Masjid Al Muttaqin yang tak jauh dari sekolahnya.
"Dinda dan Jihan mentoring di sini," lapor Arga. "Mentoring tuh kayak pembinaan rohani Islam gitu, Mas. Gratis, Mas untuk semua siswa SMA. Siswa manapun. Dari informasi yang saya dapat dari informan, Jihan dan Dinda selalu ngikut kegiatan pembinaan di sini."
Ya, saking niatnya mendekati Jihan, Wildan sampai menyuruh ajudan ayahnya untuk mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dia bisa mendekati Jihan.
"Oh gitu. Jadi gue harus ikut mentoring gitu, Pak?"
Arga mengangguk pelan. "Bener, Mas."
"Tapi gue enggak pernah shalat, Pak. Enggak apa-apa?" Wildan mulai ragu. Dia jarang ke Masjid kecuali saat hari raya. Sekolahnya bahkan tidak ada musholla untuk shalat. Tidak ada aturan ibadah di sekolahnya.
Arga mengibaskan tangan di depan wajah. "Ya, enggak apa-apa. Kan pembinaan rohani macam kajian Islam itu, kan maksudnya buat membina seseorang. Bukan cuma diikuti yang udah sempurna aja. Lagian semua manusia juga enggak ada yang sempurna kali, Mas. Semua orang berdosa," ujar Arga masih memegang setir mobil.
Agak lama Wildan terdiam sebelum mengiyakan. Pria itu melepas sabuk pengamannya.
Hendak melangkah keluar mobil, dia dipanggil oleh Arga.
"Mas Wildan?"
"Iya, Pak?"
"Jangan buat kerusuhan! Ingat ini rumah Allah Ta'ala."
"Siap. Gue mah anteng, Pak. Yang rusuh itu dia. Si Dinda itu."
Begitu melangkah ke teras Masjid, Wildan malah bingung harus berbuat apa. Dia menoleh ke kiri dan kanan sebelum membuka satu pintu.
Begitu terbuka, dia langsung mendengar jeritan histeris. "ASTAGHFIRULLAH."
"Eh--"
Cepat-cepat dia kembali menutup pintu dengan panik. Rupanya dia masuk ke tempat wudhu wanita. Dia baru sadar saat melirik ke atas menemukan tulisan, Tempat Wudhu Wanita.
Bersyukurnya ada marbot masjid yang menangkap kebingungannya.
"Cari tempat wudhu pria, Mas?" tanya pria paruh baya berpeci coklat itu.
Wildan malah bingung karena terakhir kali dia berwudhu adalah saat kelas 3 SD. Saat praktek wudhu bersama gurunya. Dia agak lupa gerakannya.
"I-ya, Pak," jawabnya asal.
Pria paruh baya itu langsung mengarahkannya ke tempat wudhu pria. Saat di sana dia masih berdiri. Menunggu ada yang muncul. Begitu seorang pria paruh baya bertubuh gempal muncul untuk berwudhu, Wildan langsung ikut berwudhu sambil melirik mesra gerakan wudhu yang benar milik pria itu.
"Jadi begitu," batinnya.
Setelah berwudhu, pria di sampingnya itu mengangkat tangan untuk berdoa setelah wudhu. Wildan hanya ikut mengangkat tangan tapi tidak tahu harus berbicara apa karena tak mengetahui doa setelah wudhu.
***
Wildan mulai masuk ke shaf pria mengikuti pria yang gerakan wudhunya sempat 'dicurinya' itu.
Manik hitamnya menangkap beberapa pria SMA yang tengah duduk membentuk kelompok-kelompok kecil sambil fokus mendengarkan seorang pria dewasa di kelompok mereka yang disebut ustadz.
"Ayo dik. Gabung."
Dia menoleh kaget saat pundaknya ditepuk seorang pria paruh baya yang entah bagaimana 'menyeretnya' ke sebuah kelompok mentoring. Dan, di sinilah masalahnya.
Setelah mengucapkan salam, pembuka, motivasi, dan lainnya, ustadz dalam setiap kelompok itu beralih ke agenda lain.
"Kita akan mulai dengan membaca Al Qur'an terlebih dahulu secara bergiliran. Masing-masing dua ayat. Silahkan dari kanan."
Sebuah mushaf Al-Qur'an diberikan ke arah Wildan dan semua pasang mata menatap Wildan.
Sontak jantungnya berdegup kencang. Rasanya seperti ingin wafat.
Deg
"Sa-saya?" tanyanya gelagapan sambil menunjuk wajahnya dengan telunjuknya. Ekspresinya khas orang tersesat di tengah hutan belantara. Linglung.
Ustadz Darwis mengangguk. "Ayo dik. Dimulai dengan ta'awudz."
Keringat dingin langsung bercucuran di pelipis Wildan. Semua pasang mata yang menatapnya itu seperti anak panah beracun.
Mana bisa dia membaca Al-Qur'an sementara tidak pernah menyentuh IQRA' atau metode lain yang bisa dipelajari agar bisa membaca Al-Qur'an? Fix, dia buta Al-Qur'an. Gelap.
"Sa-saya ...."
"Ayo dik dimulai," desak Ustadz Darwis.
"Sa-saya ... saya ... saya ... saya ... saya ... saya ...."
Dan, saya, sayanya berlanjut sampai bermenit-menit mencoba menguras kesabaran Ustadz Darwis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...