BUCIN

3.7K 559 35
                                    

Wildan terbangun dan menatap gadis yang masih tidur di kursi di sebelahnya itu. Tangannya terulur membenarkan letak bantal leher Dinda agar lebih nyaman.

Arga yang masih sibuk menyetir tak luput dari pemandangan di kursi belakang itu. Pria muda itu langsung senyum-senyum penuh arti.

Ya, dia yang mengantar dua orang itu ke tempat Teguh karena tempatnya memakan waktu dua jam perjalanan. Sejak awal Dinda masuk mobil sebelum berangkat sampai pulang pun, tangan Wildan tidak bisa lepas dari menggenggam tangan Dinda. Bahkan saat tidur sekalipun. Hal itu membuat Arga geleng-geleng kepala.

"Bucin parah," ejek Arga. "Pegangan tangan terus kayak dikit lagi mau pisah alam aja."

Sontak Wildan tertawa dengan suara seraknya khas bangun tidur tapi malas membalas. Pria itu hanya sibuk merapikan sejenak rambutnya di spion.

"Udah ditembak belum?"

"Belum, Pak. Udah sama-sama suka cuma belum ketemu waktu yang tepat aja," jawab Wildan sambil menanggung beban tersendiri. Tak ingin tembak tapi khawatir Dinda diambil orang. Ingin tembak, Dinda sudah ngaji. Dia takut ditolak.

"Ekhem." Arga berpura-pura batuk. "Belum ditembak tapi gayanya kayak udah pacaran 10 tahun," sindirnya sambil menyorot tangan Wildan yang masih menggenggam erat tangan gadis yang masih tertidur lelap itu.

Wildan tertawa lagi. "Infoin kalau udah sampai, ya, Pak."

"Siap, Mas."

Begitu sampai, Arga melihat dua orang itu masih sibuk berpengangan tangan sambil berhadap-hadapan di depan teras rumah Dinda.

Dia baru tahu, Wildan bisa sebucin itu. Setidaknya dia mengenal Wildan sejak SMP kelas 3 dan rentang sampai SMA kelas 3, dia baru tahu bahwa pria itu bisa menyukai perempuan.

"Semangat kerjain tugasnya. Nanti malam gue telepon."

"O ... kay." Dinda salah tingkah sendiri sambil agak menunduk malu-malu. Bukan Dinda sekali.

Manik hitamnya menangkap Arga yang tengah mengawasi mereka dari dalam mobil dengan senyum-senyum aneh seperti sedang menonton drama membuat Dinda lebih malu.

Wildan tetap saja menatapnya sampai tak ada niat pulang sedikitpun. "Jangan lupa angkat telepon gue, ya."

Dinda mengangguk kaku. "Huum."

"Dind?"

"Hm?" Dinda mendongkak melihat pria itu.

Agak lama Wildan menatapnya dengan ekspresi serius. "Lo mau ditembak enggak sih?"

Konyol, pikir Dinda.
Ini pertanyaan paling aneh yang pernah diterimanya. Dia tak paham, dia dan Wildan ini sedang memainkan drama apa.

"Ditembak yang kayak diarahin senjata itu?" Dinda pura-pura tak paham.

Wildan langsung menghela napas jengah sambil menahan tawanya. "Hah, pura-pura enggak paham."

"Iya, yang kayak gimana?"

"Disahin hubungannya."

"Menikah?"

"Ya, jangan sekarang, Adinda. Maksudnya, disahin hubungannya pakai kata-kata. Pacaran. Boleh enggak?" tanya Wildan dengan suara lembut. Sontak Dinda merasa kupu-kupu seperti beterbangan di perutnya. Melilit.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya lantaran bimbang. Dia bingung terkait hubungan bernama pacaran. Memang selama ini dia tidak tertarik pada pacaran bukan karena dia setidaknya sudah ngaji walaupun sedikit, tapi karena dia memang tidak tertarik sama sekali dengan dua sejoli yang belum siap menikah kemudian melegalkan kebersamaan mereka pada jalan pacaran yang belum tentu pasti berjodoh.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang