AJAK ADINDA

3.8K 620 25
                                    

Suasana di toko buku tampak ramai. Entah sudah berapa lama Dinda berkeliling mencari buku yang membahas tentang PKI. Ya, tugas sejarahnya adalah mengulas tentang sejarah kekejaman PKI di Indonesia dan harus diambil dari sumber-sumber yang relevan.

"Kalau gue cari dari internet, Bu Susi pasti ngomel. Harus beli buku," gumamnya.

Saat hendak berbelok ke rak sebelah, dia terpaku di tempatnya melihat seorang pria yang juga berhenti dan menatapnya dengan tatapan datar. Sedetik kemudian tersenyum dengan gaya khasnya yang jenaka. Ya, siapa lagi kalau bukan ... Wildan.

Deg

Jantung Dinda berdegup kencang saat pria berseragam putih abu dilapisi blazer navy itu berjalan ke arahnya. Dinda langsung membuang muka ke depan. Pura-pura tak kenal. Mengingat tentang pertemuan Sahara dengannya di rumah sakit membuatnya agak khawatir jika terlalu dekat dengan Wildan.

"Hai Adinda Prastowo," sapa pria itu tanpa beban setelah lebih dari dua pekan mereka tak bersua.

Dinda tetap memasang ekspresi datarnya seperti biasa. "Kenapa lo bisa di sini?!" Nadanya seolah tak terima.

Wildan malah ingin tertawa. "Masih aja galak, Neng. Bukannya kangen."

Dinda melotot. "Ihhhhh ...." Dia sudah mengangkat kepalan tangannya membuat Wildan menoleh ke sekitar.

"Rame lho ini. Bisa viral kalau ada penganiyayaan di sini."

Seketika Dinda langsung menjaga sikap. Penuh sopan santun membuat Wildan sukses tertawa. "Hahahahahahaha ...."

"Kok lo bisa di sini?!" Dinda masih tak paham. Dari sekian banyak kemungkinan, dia harus bertemu manusia yang tak ingin ditemuinya itu. Memang diam-diam dia rindu, tapi dia masih tak lupa dengan pertemuannya dengan Sahara.

Tak tahu saja, Arga yang mengerahkan upaya agar bisa mengetahui lokasi Dinda agar Wildan bisa meluncur dengan damai bertemu pujaan hatinya itu.

"Emang enggak boleh? Lagian katanya, kalau lo jauhin gue terus kita ketemu lagi, itu namanya jodoh."

Dinda melotot kejam ke arahnya. "Itu kata lo dan mau lo!"

Lagi-lagi Wildan sukses tertawa tapi sedetik kemudian tangannya langsung menggenggam erat tangan Dinda. Menautkan jari jemarinya seolah tak ingin melepas lagi membuat gadis itu agak terkejut saat sejenak melirik ke bawah.

Hap

"Lo enggak bisa lari lagi sekarang." Wildan menatapnya dengan senyum tipisnya membuat Dinda terpaku lantaran terkunci pada tatapan itu. Agak lama mereka bertatapan. Wildan dengan senyumnya dengan ekspresi cueknya. Yang pasti tatapan mereka mengartikan satu kesamaan. Rindu.

"Makan pecel lele yuk. Gue laper," ajak Wildan.

Cepat-cepat Dinda menunduk. Dia sudah menata hatinya untuk menolak segala sentuhan fisik dengan pria dan ajakan pria, tapi dia lemah kalau itu adalah Wildan. Dia sudah sadar, dia jatuh hati pada pria itu tapi tak ingin mengungkapkannya.

"Siapa yang mau makan sama lo?!"

"Masih aja jual mahal."

"Biarin daripada jual murah!" Dinda memasang ekspresi cemberut.

Wildan tertawa. Entah kenapa di dekat Dinda membuatnya selalu bahagia. Kalimat kejam dan nada galak gadis itu terdengar lucu baginya. Dia benar-benar merindukan gadis itu.

"Mau nyari apa sih di sini, hm?"

"Bukan urusan lo!"

Mereka masih berdiri dekat dan sudah saling menggenggam tangan dengan erat tapi Dinda tetaplah Dinda. Galak, ketus, sinis, dan segala kekejamannya selalu muncul di permukaan jika berhadapan dengan Wildan.

"Siapa tahu gue bisa bantu, Neng." Genggaman di tangan Dinda semakin erat.

Benar juga, pikir Dinda. Dia langsung mendongkak melirik pria itu. "Itu ... ada tugas sejarah. Disuruh bahas tentang kekejaman PKI gitu tapi harus diambil dari sumber-sumber yang nyata gitu lho. Enggak boleh ngambil dari internet. Bisa di museum atau situs yang memperingati kekejaman PKI atau buku atau apa lah," jelas Dinda membuat Wildan langsung terpikir sesuatu.

"Sebenarnya eyang gue hobi kumpulin foto-foto kayak gitu yang berkaitan sama kekejaman PKI. Banyak banget. Gue juga suka diceritain tentang kisahnya gitu. Lo mau enggak gue ajak ke tempat eyang gue itu?"

Tiba-tiba Dinda menunduk sambil menggigit bibir bawahnya lantaran malu. Dia tengah berpikir, itu berarti Wildan mengajaknya jalan.

"Iya, gue ajak jalan. Mau enggak?" Seolah dapat menebak isi pikiran gadis itu.

Dinda bertambah salah tingkah sampai melirik-lirik ke sekitar saking gugupnya.

"Mau enggak?" tanya Wildan dengan suara pelan sambil menatap mencari-cari mata gadis itu agar menatapnya. "Hey?"

Dinda menyerah dan berhenti melirik ke sekitar sebelum kembali menatap pria di sampingnya itu. "Gue bisa dateng sendiri kalau lo ngasih alamatnya."

Rasanya Wildan ingin menepuk jidat. "Tapi gue lebih paham tempat itu daripada lo, Adinda. Gue bisa bantu tugas lo."

"Ya udah terserah!" Ketus level 30.

"Terserahnya tuh gimana?"

Dinda mengedikkan bahu. "Enggak tahu!"

"Kok enggak tahu? Harus tahu dong."

Sedetik kemudian dia menunduk lantaran menahan senyumnya yang ingin muncul membuat Wildan langsung paham.

"Bilang aja mau, Neng. Gengsi amat." Pria itu sukses tertawa lagi. "Besok gue jemput."

.

.

"Maafin gue, Jihan. Nih cowok cobaan banget. Gimana caranya gue enggak suka sama dia? AAAAAAAA ...." batin Dinda histeris karena otak yang berisi ilmu, kemauan, dan gerakan tubuhnya tak sinkron. Sangat tak sinkron saat tengah dimabuk asmara.

*** 

Setelah dari toko buku, Wildan tetap tak mau melepaskan tangan gadis itu. Diajaknya gadis itu makan pecel lele. Tentu saja menggunakan motor Dinda karena motor ninja milik Wildan yang sudah dikembalikan ayahnya itu bagi Dinda sangat horor jika dia harus dibonceng dengan itu.

Alhasil motor keren Wildan itu ditinggal di parkiran toko buku dan pria itu rela menaiki motor matic. Asal bersama Dinda, pikirnya.  

"Mau makan apa, Adinda?"

Dinda mendekatkan kepala ke pundak pria itu agar dapat berbicara dengan jelas didengar pria itu. "Tadi katanya pecel lele."

"Selain itu?"

"Gue bukan lo yang lambungnya lentur."

"Hahahahahahaha ...." Wildan tertawa untuk kesekian kalinya. "Jadi istri gue harus siap-siap banyak makan."

"Ih, percaya diri banget gue mau!" Dinda memutar bola mata malas.

"Harus mau." Wildan tak mau tahu.

"Maksa banget!"

"Harus maksa."

"Gimana kalau suatu saat lo berubah, Dind?" Pertanyaan pria itu muncul tiba-tiba.

Dinda tampak berpikir. "Enggak tahu!"

"Tapi kalaupun lo berubah, jangan lupa satu hal."

"Apa?"

"Kalau lo ketemu gue lagi, marahin gue sambil cabut sepatu dan lempar."

"Hahahahahahahahaha ...." Kali ini keduanya sukses tertawa.

"Hanya lo yang mau-maunya dianiyaya cewek. Aneh!"

Wildan tersenyum sambil melirik wajah Dinda di spion. "Gue betah sama lo. Makanya, lo harus mau sama gue."

Dinda membuang muka ke sisi yang lain agar tak terlihat di spion, dia sedang menahan senyumnya.

***

Bismillah

Maaf baru update. Ini pun update sambil nahan ngantuk. Semoga besok bisa update lebih panjang. Doain, ya.

Terima kasih 🌹

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang