DOKTER MATA

4.1K 676 43
                                    

Siang itu Wildan dibonceng Dinda dengan motor matic cewek itu nenuju dokter mata terdekat untuk pemeriksaan mata Wildan lebih lanjut. 

Wildan yang masih menutup mata kanannya dengan tissue itu menurut saja duduk di belakang gadis itu.

Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam karena tak menemukan topik pembicaraan. Hanya helaian ujung hijab Dinda yang terus melambai ditiup angin menyapa wajah Wildan membuat pria itu terpaksa memegang ujung hijab gadis itu agar tidak lari ke mana-mana.

"Lain kali kalau naik motor itu, ujung hijabnya diapain kek. Biar konsep menutup aurat lo terealisasi. Kalau ujung hijab belakang lo terbang ke mana-mana kan rambut lo juga yang kelihatan," ujar pria itu.

Dinda tersindir. Benar juga, pikirnya. Tapi dia terlalu gengsi untuk membenarkan.

"Diem lo!" balasnya dengan nada kejam seperti biasa.

Belum sampai ke dokter mata, Wildan sudah tergoda dengan toko roti di pinggir jalan.

"Dind? Berhenti sebentar."

Perlahan Dinda menepikan motornya tepat di depan toko roti incaran Wildan. "Ada apaan?"

"Beliin gue roti dong. Laper gue."

Dinda sampai melongo. "Lambung lo itu lambung sapi, ya? Lo bahkan tadi baru aja selesai makan dan porsinya kayak kuda. Dan, sekarang lo mau makan lagi? Enggak habis pikir gue." Dia pusing sendiri.

Wildan nyengir saja sebelum mengeluarkan dompet di sakunya. "Capek perjalanan, Dind."

"Kepala lo! Lo itu cuma duduk di belakang, ya. Enggak usah sok capek!"

Wildan langsung menyodorkan dompetnya itu ke arah Dinda. "Bawa nih dompet. Bayar pakai itu, Dind. Beliin yang rasa coklat, ya. Lima. Lo boleh beli yang lo suka juga. Bayarnya pakai duit di dompet itu."

"Lah, main perintah aja! Untung mata lo, kalau kagak, gue buang lo di sungai dari tadi." Kejam level 50

Bukannya kesal, Wildan malah tertawa melihat gadis di hadapannya itu. Entah kenapa dia merasa lucu. Hanya ucapan kejam Dinda yang kalau diarahkan kepadanya bukannya tersinggung malah lucu.

Setelah membeli roti barulah mereka menuju rumah sakit.

Sepanjang perjalanan di koridor rumah sakit, Dinda yang berjalan lebih dulu tak mau berjalan berdampingan.

"Dind? Penglihatan gue sulit. Lo enggak usah cepet-cepet dong jalannya," protes Wildan yang beberapa langkah di belakangnya.

Dinda langsung menoleh dengan ekspresi datar. Gadis itu langsung kembali berbalik dan tanpa minta izin langsung menarik (baca: menyeret) lengan Wildan seolah menuntunnya. 

Wildan merasa seperti sedang ditarik Kepala BK. "Jangan tarik-tarik juga. Emang gue ternak?"

Lantaran malas mendengar protes pria itu, Dinda melepas cengkeramannya dan kembali berjalan lebih dulu.

"Dind?"

Dinda berhenti dan menoleh dengan kesal. "Lo itu maunya apa sih?! Ribet banget jadi orang!"

Wildan mendekat dan tiba-tiba menggandeng tangan kanan gadis itu, menautkan jari jemarinya dengan santai sementara tangan kirinya masih menekan tissue di mata kanannya yang nyeri.

HAP

"Kayak gini. Lebih manusiawi," ujarnya sebelum menarik Dinda dengan paksa agar berjalan sejajar dengannya.

Dinda malah berontak. "Lepasin! Orang jadi mikirnya kita pacaran."

"Ya, gue butuh bantuan buat jalan, Dinda."

"Lebay banget sih. Lagian lo masih bisa pakai mata satunya."

"Susah. Mata gue lelah pakai satu aja." Alasannya tak masuk akal.

Dinda memutar bola mata malas. "Tck."

Pada akhirnya dia pasrah. Berbeda dengan Wildan yang merasa sesuatu menyelimuti hatinya.

"Apa ini? Apa ini?"

Hatinya berbunga-bunga, bermekar-mekar, dan bertaman-taman. Lihat saja bibirnya yang sudah tak kuat menahan senyum anehnya itu.

Kapan lagi bisa menggandeng manusia jahat seperti gadis di sebelahnya itu, pikirnya.

Pria itu terus menggandeng tangan Dinda bahkan pada saat mengantri, pemeriksaan ke dokter, mengambil obat, bahkan sampai ke parkiran sekalipun. Entah ini murni butuh bantuan Dinda atau sebenarnya karena dia termakan perasaan bahagia. Hanya dia yang tahu.

"Alhamdulillah enggak kenapa-kenapa, ya." Wildan bersyukur karena matanya tak apa. "Gue yang nyetir aja."

Dinda menatapnya dengan sensi. "Heh?! Masa depan gue Insyaallah masih panjang. Gue masih mau hidup dengan bahagia."

"Cepetan naik!" titah gadis itu tak ingin dibantah.

Terpaksa Wildan naik setelah menggunakan helmnya.

Tiba-tiba kepalanya muncul di sebelah pundak Dinda. "Bisa mampir dulu di pecel lele di pertigaan yang punya Mas Slamet?"

"Enggak!" balas Dinda dengan kejam.

"Ayo dong, Dind. Gue laper. Please. Jalan di koridor rumah sakit itu menguras kalori gue."

Asli, Dinda sampai menganga. "Hah?!"

Pada akhirnya mereka mampir juga. Kemauan Wildan dituruti.

Pria itu langsung memesan dengan semangat pada salah satu pelayan perempuan.

"Mbak? Pesen pecel lelenya lima. Taruh aja di piring yang gede itu, ya."

Lagi-lagi Dinda menganga. Dia tak paham seluas apa lambung Wildan itu. "Gue kayak lo udah muntah."

Wildan meliriknya dengan senyum-senyum penuh arti. "Siapa bilang gue makan sendiri? Gue habisinnya sama lo."

Dinda melotot. "Heh?! Jangan sembarangan, ya, lo! Gue enggak mesen."

"Gue enggak mau tahu. Lo harus bantu habisin. Lo enggak lihat mata gue karena siapa?"

Kali ini Dinda tak berkutik. Wildan memanfaatkan status 'terdzoliminya' untuk menekan Dinda.

Benar saja, saat makanan di piring super besar yang lebih mirip nampan itu datang, mau tak mau Dinda harus ikut bersiap untuk makan.

1

2

3

"Okay, sikat!"

Keduanya langsung makan dengan begitu lahap dan super fokus.

Para pengunjung di meja lain sampai melongo melihat semangat keduanya. Sama-sama terlalu doyan makan.

Arga yang mengawasi dari jauh pun ikut memijit dahi. Pusing melihat pemadangan itu.

"Saya sebenarnya berpikir, kamu sudah ketemu cewek yang satu server dengan kamu, Mas. Sama-sama doyan makan," gumamnya.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang