RAGU

3.3K 535 27
                                    

Sejak berita Aldan dan Jihan yang seperti keajaiban dunia itu, Wildan semakin berharap dan yakin bahwa Dinda adalah jodohnya dan harapannya tak akan pernah padam lagi.

Semua proses menuju halal, Aldan dan Jihan seolah sangat dipercepat mengingat link Jihan adalah Panglima TNI.

Namun, hanya Wildan yang tahu bahwa Aldan adalah satu-satunya calon pengantin di dunia ini yang kurang berbahagia. Wajahnya selalu kusut dan tak berminat sama sekali. Hal itu membuat Wildan merasa bersalah, apakah berbahagia di atas kesedihan Aldan adalah pilihan yang tepat? Pikirnya bertanya-tanya. Dia tak tega.

Dia pikir Aldan akan bahagia dengan hal itu. Ternyata Aldan berbeda dengan mayoritas pria yang sangat menginginkan Jihan sebagai calon pendamping hidup. Terlebih dia tahu seperti apa tipe istri idaman Aldan yang 180 derajat kebalikan dari Jihan. Aldan juga tak suka menjadi sorotan dan Jihan secara alami selalu menjadi sorotan wartawan. Hal itu menjadi beban tersendiri untuk Aldan yang menyukai ketenangan dalam hidupnya. Bukan hidup seperti roller coaster.

"Al? Gue jadi ngerasa bersalah," batinnya saat melihat wajah kusut Aldan saat pulang dari persiapan acara lamarannya.

Namun, semua sudah terlanjur terjadi dan takdirnya. Wildan tak bisa menyalahkan dirinya 100%. Dia memilih melanjutkan strateginya. Ya, menemukan waktu untuk bertemu dengan ... Adinda.

Lucunya seyakin-yakinnya Wildan, dia selalu dipatahkan oleh harapannya sendiri.

"Hah? Acara udah selesai?" Wildan melongo saat salah satu pengurus acara mengabarkan kepadanya bahwa acara lamaran telah usai.

Dari sekian banyak kemungkinan, dia terjebak macet. Dia memilih meninggalkan mobilnya dan berlari ala tentara dari jalan sampai tempat acara hanya untuk mendapatkan angin kosong. Bahkan tak mendapatkan air putih apalagi bertemu Dinda yang sudah berlalu tanpa terlihat batang hidungnya.

.

.

"Okay, SABAR!"

***

Wildan tak menyerah. Masih ada acara pernikahan, pikirnya. Dia bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk bertemu dengan Dinda.

Setelah hampir satu bulan menunggu dan menunggu, dia hadir di sana untuk mencari keberadaan Dinda di tengah banyaknya tamu yang hadir.

Tapi ... lagi-lagi dia dipatahkan oleh harapannya. Dinda tak terlihat bahkan setelah dia menunggu sampai larut malam.

Dari sekian banyak kemungkinan, Dinda mendapat panggilan darurat dari perusahaan tekstilnya yang membuatnya pergi dari tempat acara sebelum waktunya.

.

.

"Okay, SABAR!"

***

Saat Aldan dan Jihan telah menikah, dia tak menemukan satu pun momen untuk bertemu Dinda. Tak menemukannya.

Aldan terlihat seperti orang yang belum menikah. Dia pulang lebih awal ke batalyon dan Wildan sudah menyangka bahwa Aldan pasti belum bisa beradaptasi dengan Jihan.

Hal itu tentu saja mempersulit Wildan. Dia tak bisa mengomunikasikan tujuannya untuk mendekati Dinda.

Sebenarnya ada satu momen saat Dinda datang mengantar Jihan ke asrama untuk bertemu Aldan. Wildan mendapat berita itu dengan cepat, tapi saat dia ingin bertemu Dinda justru panggilan mendadak dari atasannya hadir.

Setelah selesai, dia baru tahu, Dinda sudah ... pergi.

Alhasil dia kembali menunggu momen.

.

.

"Okay, SABAR!"

***

Wildan menganalisis kedatangan Jihan ke asrama yang menghebohkan ibu-ibu satu asrama itu membawa perubahan baik pada hubungan Aldan dan Jihan. Dia terlampau berharap.

Saat tinggal selangkah mengomunikasikan tujuannya untuk mendekati Dinda, Aldan justru mendapat surat ... pindah.

Sontak Wildan tak dapat menahan amarahnya lagi. Dia sudah cukup bersabar dan berharap tapi selalu momen terlewat begitu saja. Selalu begitu. Seolah tak memberikan kesempatan kepadanya walaupun sekali untuk menemui Dinda.

Mereka seperti tak ditakdirkan untuk bertemu lagi.

Hal itu membuat Wildan justru ragu. Harapannya mulai padam. Saat cuti, pria itu pulang dan mencurhatkannya pada Arga.

"Kayaknya sebaiknya gue menyerah aja, Pak Arga." Suaranya terdengar lesu. "Udah lama banget gue suka sama dia. Udah seharusnya menyerah."

Arga yang sedang menemani pria itu meminum teh di pinggir kolam itu agak kaget. "Kenapa begitu, Mas Wildan?"

"Gue udah mengerahkan semua upaya gue. Gue udah berharap banget dan gue dipatahkan sama harapan gue. Semua momen yang menurut gue sangat pasti gue bertemu dengan Dinda, terlewat gitu aja. Selalu ada halangannya. Gue jadi ragu. Apa jangan-jangan ini tanda bahwa gue dan Dinda mungkin cuma selesai dalam kisah masa lalu yang tak terulang kembali?"

"UHUKKKK ...." Arga malah tersedak karena mendengar pemilihan kata yang terlampau puitis. Sejujurnya dia ingin tertawa.

Wildan malah melirik pria itu dengan datar. "Gue serius, Pak Arga."

Arga langsung menormalkan ekspresinya yang menahan tawa itu. "Tahu saya, Mas. Maaf."

"Dari SMA lho ini, Pak. Gue terkesan ngejar-ngejar dia banget dan akhirnya enggak berakhir pacaran. Gue masih ngejar-ngejar dia waktu pendidikan di tingkat-tingkat awal. Gue berusaha nyari dia. Enggak ketemu-ketemu juga. Pas udah mau lulus, dia udah jadi tokoh publik yang susah buat ditemuin. Gue masih sabar. Gue mencoba berharap lagi untuk ketemu dia tapi ujung-ujungnya apa, Pak? Semua usaha gue gagal, Pak." Ekspresi Wildan berubah sendu.

Arga angguk-angguk kepala pelan seolah paham dengan semua itu. Tentu dia paham, dia yang menjadi saksi Wildan dan Dinda sejak SMA.

"Gini deh, Mas. Perjuangan itu harus tetap dilakukan sampai Mas yakin bahwa sesuatu itu enggak ditakdirkan untuk, Mas. Kalau Mas menyukai sesuatu, perjuangkan! Itu aja. Tapi kalau Mas ingin menyerah, saran saya, Mas lihat dulu, apa yang salah dari perjuangannya, Mas.

"Apa selama ini Mas terlalu berharap agar Dinda membalas perasaanya, Mas? Apa selama ini Mas berdoa terus tapi berharapnya ke Adinda, ke Mbak Jihan, ke Pak Aldan? Kalau Mas mau dapat apa yang Mas inginkan, Mas harus bebaskan harapan Mas dari manusia. Kalau kita nemuin jalan buntu, kuncinya adalah bebaskan diri dari harapan terhadap manusia. Pas kita udah bebaskan diri dari harapan ke manusia, Insyaallah Mas, saat itu Allah Ta'ala tolong kita dengan cara yang kita enggak pernah bayangkan. Saya sering ngalamin hal itu. Sekedar berbagi aja, Mas," lanjut Arga.

.

.

Wildan menghela napas panjang. "Entah, ya, Pak Arga. Gue enggak mau lagi untuk ... berharap sama Adinda."

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang