PROLOG

11.3K 970 34
                                    

"Hah ... beres."

Wildan menghela napas lega begitu sukses memanjat pagar belakang sekolah dengan mulus untuk berpindah ke sekolah tetangga. Sebuah SMA khusus anak-anak kelas menengah.

Cepat-cepat pria berwajah tirus itu membuka blazer biru navynya dan membuangnya asal ke belakang menyisakan seragam putih abu. Strategi agar tak dikenali dari sekolah elite di sebelah yang tengah melakukan pelanggaran kelas berat. Ya, menyusup ke sekolah orang lain.

Pria berkulit terang itu langsung melangkah mencari kantin tanpa takut sambil mengendalikan gerak-geriknya agar tak dicurigai.

Tiba-tiba perkataan ibunya tadi pagi terngiang di benaknya.

"Nanti makan yang bener, ya dari catering sekolah. Ngapain mama setiap semester bayar SPP sekalian catering kalau kamu enggak mau makan, Wil?"

Terlalu bergizi, pikirnya.

"Maafin aku, Ma," batinnya mengabaikan nasehat ibunya.

Begitu melihat kantin, dia langsung merasa menemukan kebebasannya. Dapat makan apa pun yang dia inginkan.

"Bu? Pesen bakso, soto ayam, rawon, nasi goreng, nasi uduk, dan minumnya es teh, es jeruk sama es teh tarik."

Untuk beberapa saat ibu kantin yang merupakan seorang wanita paruh baya itu melongo. "Ini buat temen-temennya, ya, dik?"

Wildan tersenyum santai menampakan gigi ratanya. "Bukan, Bu, buat saya."

Reni si ibu kantin itu sukses kembali melongo seolah ingin menanyakan pertanyaan yang sama seperti ajudan ayahnya. "Itu lambung manusia atau lambung sapi?"

Di tengah keanehan itu, seorang gadis berpakaian putih abu super panjang yang menutupi badan dengan hijab syar'i berwarna putih muncul.

"Assalamu'alaikum, Bu Reni," sapa suara lembut itu.

Reni langsung tersadar sebelum menoleh ke arah sumber suara. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Mbak Jihan." Wanita itu tersenyum hangat sebelum menyerahkan sebuah bungkusan berisi makanan.

Refleks Wildan pun menoleh karena ikut terusik ingin mengetahui siapa gadis dengan nama sapaan Jihan itu.

1

2

3

Deg

Seketika Wildan merasa jantungnya langsung berdetak cepat. Hanya butuh tiga detik untuk terpesona pada senyum, suara, dan pesona dari seorang gadis berkulit kuning langsat dengan lesung pipi saat tersenyum itu. 

Perkataan guru biologinya terngiang di benaknya. "Penelitian menunjukkan bahwa hanya dibutuhkan seperlima detik bagi otak untuk melepaskan zat kimia yang menghasilkan perasaan jatuh cinta."

Wildan tersenyum kecil. "Jadi begitu ...." Dia merasakannya. Hanya tiga detik membuatnya sukses terpesona sampai tak sadar ada sepasang manik hitam yang menatapnya dengan tajam bin kejam.

Jihan yang tak sadar sedang ditatap langsung berbalik ke kelas. Baru beberapa langkah, insiden besar sudah terjadi pada Wildan.

PRAKKKKKKK

"AAAA ...." Wildan meringis kesakitan memegang kepalanya yang ditimpuk dengan keji menggunakan nampan kayu.

Sontak dia langsung menoleh ke samping mendapati gadis berwajah oval berkulit terang yang sedang memandanginya dengan tatapan melotot.

"LIHAT APA LO?!" teriak gadis berhijab putih itu.

"Lo ...."

"Dinda?!" Reni yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu. "Kamu enggak boleh nyakitin orang kayak gitu, Dind. Itu sakit banget. Bahaya. Udah berapa kali ibu bilangin sama kamu?"

Dinda tetap tak menyerah. "Lah, dia ngelihatin Jihan persis kayak serigala yang mau menerkam anak orang, Bu." Pandangannya kembali kepada Wildan yang masih merasa pusing setelah dibuat setengah geger.

Dia sudah dapat memprediksi, kepalanya akan benjol sedikit lagi. Gadis ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.

Masih lemas, kerah baju Wildan malah sudah ditarik paksa oleh gadis yang masih menatapnya dengan tatapan ingin memakan itu.

SRETTTTTT

"Lo denger, ya, kata-kata gue!! Selama gue masih hidup, gue enggak akan biarin curut kayak lo deketin sahabat gue!" Volumenya meninggi. "Paham?!"

Untuk beberapa saat Wildan terdiam menatap gadis yang wajahnya memerah menahan kekesalan itu.

"Oh, jadi lo sahabatnya? Bagus dong. Lo butuh berapa duit biar bisa bantuin gue deketin dia? Gue bayar sekarang."

PRAKKKKK

"AAAAAA ...." Wildan kembali menyentuh kepalanya yang untuk kedua kalinya menjadi korban kekerasan.

"HEH?! ...." Belum membalas, teriakan peringatan dari siswa nakal yang sedang berlari mencari tempat persembunyian itu mengagetkannya.

"MUNASSSS DATENGGG WOYYYY!!"

Sontak semua pria yang sedang asyik makan di kedai sebelah itu langsung masuk ke kolong meja. Wildan yang entah mendapat pencerahan dari mana, malah ikut nyungsep di bawah kolong meja seolah melindungi diri.

SRETTTTTT

Dinda yang menganga mendapati pria itu sudah bersembunyi di dekat kakinya.

Tak lama benar saja, Pak Munawar Nasri yang merupakan Kepala BK itu sudah muncul dengan wajah geram.

"Ada beberapa siswa nakal di sini?" Volumenya meninggi seolah menggertak. Wildan ikut ketar-ketir.

Pria paruh baya itu menoleh ke arah Dinda yang masih terpaku di tempatnya.

"Dinda? Apa kamu lihat Sano dan gengnya?"

Dinda mengidikkan bahu dengan santai. "Mereka masih hidup, Pak?" Dia bertanya balik membuat Munawar memutar bola mata malas.

Dinda justru merasa status kehidupan Sano dan gengnya adalah berita buruk untuknya.

Begitu Munawar berlalu, Sano langsung keluar dari kolong meja kedai sebelah sebelum menghela napas lega.

"Makasih, Dind. Lo memang baik banget nyelamatin gue."

Ekspresi Dinda malah sinis. "Kagak usah bilang terima kasih, gue justru kaget lo masih hidup di planet ini."

Sano sampai menatap gadis itu dengan geram. Perkataannya tak pernah disaring, pikirnya.

Wildan yang ingin merangkak keluar malah kesulitan saat kepalanya yang baru keluar dari meja ditimpuk lagi dengan nampan kayu.

BUGGGG

"AAAA ...."

"Karena BK enggak jadi ngehajar lo, maka gue yang ngehajar lo!!"

BAGGG BUGGGG BAGGG BUGGG

"WOY LO MAU BUAT GEGER OTAK?!"

Dinda tak peduli. Dia sekejam itu.

Alhasil Wildan pulang dalam keadaan kenyang dengan babak belur. 

Awal perkenalan Wildan dan Dinda yang menjadi awal permusuhan melegenda mereka.

Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang