Peristiwa didepaknya Jihan dari perusahaannya cukup membuat Jihan dan Dinda terpukul walaupun tak terlalu berpengaruh signifikan pada kekayaan mereka. Banyak kamera yang mencoba menyorot mereka tapi keduanya seperti menghilang begitu saja. Pergi dari riuhnya ketenaran dan media yang haus berita. Mencoba mengevaluasi langkah sebelumnya untuk menentukan langkah selanjutnya.
Ya, keduanya pergi ke sebuah daerah terpencil di kawasan pegunungan. Wilayah pondok pesantren dan ma'had ada di sana. Banyak yang tak mengenal mereka membuat semuanya menjadi bebas.
Bisa bersepeda di kawasan perkebunan setiap pagi dan sore sembari belajar agama di Ma'had sebagai tamu yang sangat diterima pendirinya mengingat Jihan dan Dinda adalah donatur tetap di sana.
Mereka banyak merenung selama di sana. Terutama Dinda yang mulai menghitung betapa banyak kekurangannya yang perlu diperbaiki. Dari tajamnya lisan, sedikit sombong, kejam jika menghajar orang lain, gampang tersulut emosi alias tak sabaran, dan banyak hal lainnya yang ingin diperbaikinya selama satu bulan di sana.
Dia sering mengikuti kajian tapi terkadang itu hanya sekedar menjadi pengetahuan yang tak diamalkannya sama sekali. Dia sudah tahu bahaya mendzolimi orang lain dengan lisan maupun dengan kekerasan, tapi tak diindahkannya dengan selalu berlindung di balik kata, 'kebiasaan'. Meskipun akhirnya dia memilih mulai memperbaiki dirinya.
"Apa arti duduk berjam-jam di kajian, tapi enggak menjadi lebih baik dan lebih tenang hidupnya. Jangan-jangan ada yang salah. Ilmu itu bermanfaat ketika diamalkan," batinnya.
***
Wildan mulai merasa tak nyaman saat ibunya mulai menanyakan perihal kapan nikah. Dia pikir pertanyaan horor itu hanya akan muncul saat dia menghadiri acara pernikahan sahabat-sahabatnya. Rupanya lebih horor saat ditanyakan oleh ibunya. Karena itu berarti akan bercampur dengan ancaman yang menyertakan kandidat istri untuknya. Seperti makan siang aneh siang itu.
"Kamu tuh kapan nikah sih? Lihat tuh si Aldan, udah mau punya anak aja. Lah kamu?"
Wildan sampai kebal dengan pertanyaan ibunya. Pertanyaan yang entah sudah berapa ratus kali ditanyakan kepadanya semenjak Aldan menikah.
"Sabar, Ma, sabar." Pria yang sedang menghabiskan roti lapisnya itu berusaha santai.
Wanita paruh baya berhijab lilit tujuh di seberang meja makan itu malah mendengus sebal. "Sabar, sabar, gimana? Disuruh nikahin Lia enggak mau. Disuruh jalan sama Alana, nyari alasan dan bilang sibuk terus. Kalau kayak gini, gimana kamu bisa nikah?"
"Jodoh tuh dari Allah Ta'ala, Ma." Wildan berusaha selembut kapas.
"Iyaaaaaaaa tapi dijemput dong dengan usaha. Gimana sih kamu? Mama kan malu ditanyain pas kegiatan persit, kenapa kamu enggak nikah-nikah." Sonya sewot membuat Wildan ingin sesak napas saja.
"Nikah bukan ajang perlombaan lari karung." Ingin sekali dia berkata begitu tapi takut menjadi anak durhaka yang kebanyakan nyolot.
"Sekarang mama ingin tahu, kenapa kamu nolak si Lia dan Alana? Ayahnya mereka itu jenderal, Wil, jenderal. Nama kamu bakal bagus, prospek karir kamu juga Insyaallah terang benderang dengan nikahin anak jenderal."
Pria dengan t-shirt itu rasanya ingin sakit kepala. "Ma? Aku nyarinya istri bukan pacar."
"Jadi maksud kamu, Lia dan Alana enggak cocok jadi istri? Gitu? Enggak makmum-able, gitu?" Sonya tak ingin kalah. Sekilas Wildan menganga. Kosa kata ibunya terlalu gaul, pikirnya.
Lagi-lagi Wildan tahan napas dengan wanita dengan cara berhijab khas itu. Sering dia mengingatkan ibunya tentang pentingnya berhijab syar'i agar ibunya itu mengganti model hijabnya menjadi syari, tapi dakwahnya masih selalu masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Yang penting usaha, pikirnya.
"Bukan gitu, Ma. Tapi, aku tuh ...." Wildan menghentikan ucapannya dan berusaha menggenggam tangan Sonya lebih dulu. "Terima kasih deh, Mama udah mau repot-repot nyari kandidat calon istri, tapi Wildan pengen yang setidaknya pakai hijab, Ma. Yang tertutup gitu lho, Ma." Nadanya sangat lembut tapi Sonya tetap saja ngegas.
"Wildannnnn? Enggak semua perempuan berhijab itu kelakuannya bener. Kamu lihat, banyak banget yang enggak bener."
Wildan tahu itu, tapi semenjak bergaul dengan manusia bernama Aldan Athariz Alghifari yang super religius itu, setidaknya dia sedikit-sedikit hadir kajian ilmu agama bersama Aldan. Hobinya yang dulu suka ke club malam perlahan hilang, shalat fardhunya pun sudah tidak bolong-bolong lagi, dan salah satu yang terpenting, lebih berbhakti kepada orang tua. Meskipun tampak amburadul dengan akhlak terkutuk seperti kata Dinda, sebenarnya dia pelan-pelan ingin berhijrah juga. Jadi standar istrinya setidaknya seperti perempuan yang ditemuinya saat kajian ilmu. Jihan misalnya. Maksudnya yang sejenis, pikirnya. Menepis fakta dan bayangan Dinda.
"Tahu, Ma. Tapi yang salah tuh bukan hijabnya. Aku mikirnya gini, perempuan dengan pakai hijab itu udah satu tanda seorang perempuan mau tunduk sama perintah Allah Ta'ala. Karena hijab itu perintah Allah Ta'ala bukan budaya arab. Aku mau cewek yang kayak gitu. Bukan yang alasan enggak mau pakai hijab karena gerah, karena pengen hijabin hati dulu dan lainnya.
"Kalau sama perintah Allah Ta'ala aja dia enggak mau tunduk apalagi sama aku, Ma? Meskipun enggak semua perempuan enggak berhijab itu buruk, ya. Setiap orang berproses, tapi enggak deh, enggak mau nikah sama perempuan yang enggak pakai hijab. Kalau masih bisa cari yang tertutup, kenapa harus nyari yang terbuka?"
Sonya agak terkesima dengan jawaban putranya itu. Benar juga, pikirnya. Dia patut bersyukur karena Wildan semakin positif dan lebih rajin beribadah semenjak mengenal Aldan di Akmil. Tak lupa lebih menghormati orang tua. Dan, lihat saja, calon istrinya pun dilihat dari sisi religiusnya terlebih dahulu, pikirnya.
"Harusnya aku dukung pilihan anakku yang mau istri shalihah gitu."
"Terus siapa orangnya?"
Pertanyaan itu sukses membuat Wildan berhenti memasukan sepotong roti ke dalam mulutnya. "Itu dia." Mulutnya masih menganga.
"Jawab Wildan!" paksa Sonya seperti ingin mengetahui sesuatu.
"Dinda, Ma namanya," jawab Wildan sembarangan karena hanya Dinda yang tiba-tiba muncul di otaknya.
Mata Sonya spontan membelalak sebelum tersenyum secerah matahari pagi. "Dinda? Dinda yang mana? Pokoknya mama enggak mau tahu, pekan depan kamu harus kenalin ke mama."
Mulut Wildan semakin kesulitan mengatup. Menganga terus seperti orang aneh.
"Ma ...."
"Habis," batinnya. Habis kepalanya dimangsa Dinda.
Tak ada pilihan lain selain 'menyeret' Dinda secara paksa ke hadapan ibunya. Karena kalau gagal, ibunya yang sudah terlalu berharap itu akan memasang diri sebagai korban. Dan, itu mengerikan bagi Wildan.
.
.
"Tapi kenapa harus Dinda? Astaghfirullah, harusnya gue sebut nama yang lain." Dia menyesal sendiri karena kebiasaan menyebut nama Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...