Wildan memutuskan untuk berhenti berharap pada Dinda dan berhenti memperjuangkan perasaannya yang sudah terlalu lama mendekam di hatinya. Arga benar, mungkin dia terlalu berharap pada manusia, pikirnya.
Sejak pertemuan terakhirnya dengan Arga, dia kembali ke kehidupannya yang normal seolah tak pernah mengenal Dinda sebelumnya. Tak pernah mampir ke kantin Bu Reni dan bertemu Dinda untuk pertama kalinya. Kenangan tentang Dinda mungkin selalu ada di hatinya tapi mulai dipinggirkan ke sisi lain dari hatinya. Cukup dikenang, tak ingin diratapi. Berhenti mengikuti semua berita tentang Jihan dan Dinda dan berhenti dari semua perjuangannya yang menurutnya konyol.
Kalau dulu dia selalu menyebut Dinda dalam doa-doa panjangnya kapanpun bahkan sebelum Dinda menjadi tokoh publik seperti saat ini, sekarang doanya menjadi lain.
"Ya Rabb, yang menciptakan semua makhuk secara berpasang-pasangan, pertemukan dan persatukan hamba dengan jodoh yang terbaik versi-Mu di waktu terbaik, tempat yang terbaik, melalui cara yang terbaik, dan di atas ikatan yang Engkau ridhai. Seorang wanita yang terbaik versi-Mu, yang Engkau pilihkan dari golongan hamba-hamba yang Engkau cintai. Karena kalau Engkau mencintainya, hamba yakin dengan izin-Mu, hamba juga bisa mencintainya."
Doanya di sepertiga malam tak lagi menyebutkan nama. Hanya ingin yang terbaik menurut versi Allah Ta'ala Yang Maha Tahu, bukan lagi versinya yang pasti selalu mengikuti kemauan pribadi yang belum tentu terbaik karena terbatasnya pengetahuannya.
Dia juga berpikir, sudah waktunya untuk serius mencari pendamping hidup. Tak lagi main-main. Move on!
"Yang datengin perasaan cinta dan hilangin perasaan cinta itu Allah Ta'ala, maka kalau mau move on, mintanya ke Allah Ta'ala," batinnya.
Siang itu Wildan masih di Jakarta saat mendengar secara tak sengaja berita Jihan yang diberhentikan sementara dari perusahaannya sendiri sampai diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham. Wildan baru paham arti perkataan Dinda bahwa bisnis bisa menjadi jahat sewaktu-waktu.
Seketika dia langsung menghubungi Aldan. Tak lama dia mendapatkan kabar lagi dari pria itu bahwa dia tengah mengantar istrinya ke sebuah rumah sakit karena pingsan mendadak.
Sejujurnya Wildan tak ingin bertemu dengan Jihan, tapi ini menyangkut persahabatannya dengan Aldan. Alhasil dia membeli beberapa hal untuk dibawa ke rumah sakit untuk menjenguk sekaligus menanyakan keadaan istri sahabatnya itu pada Aldan.
"Mumpung gue masih di sini," batinnya.
Tepat sekali Rumah Sakit itu adalah Pelita Harapan. Rumah sakit yang sama saat dulu Reni dirawat dan memiliki kenangan tersendiri pertemuannya dengan Dinda. Mengenangnya Wildan sudah bisa tersenyum. Kenangan tak harus dilupakan. Kita bukan amnesia. Cukup tempatkan pada tempat yang seharusnya tanpa menyiksa hati. Karena hakikatnya tentang melupa adalah bukan melupakan semua yang sudah terjadi tapi mau diingat sekalipun, kita sudah biasa saja dan menganggapnya sebagai pelajaran berharga, pikirnya.
Lagipula kalau waktu bisa diulang, Wildan tak ingin memulai semuanya dengan PDKT untuk pacaran. Setidaknya setelah dia mulai ngaji bersama Aldan, dia mulai paham bahwa melanggar perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya berakhir menyakitkan walaupun tampak indah pada awalnya.
***
Aldan dan Jihan sedang berpelukan di ruang rawat.
Tepat sekali Wildan juga datang tanpa pemberitahuan dan mengetuk pintu terlebih dahulu. Langsung membuka pintu ruang rawat dan dia mendapati pemandangan yang membuat hatinya tergores, tersayat, ternoda, dan terluka sangat dalam. Dia langsung kembali menutup pintu secara teratur dan bersandar di tembok sambil menggenggam keranjang buahnya dengan berusaha menegarkan hatinya yang rapuh.
"Astaga. Terluka sangat parah gue. Kenapa bisa dateng pas lagi momen begini?"
Bukan, dia bukan cemburu. Hanya saja dia menyesalkan matanya yang harus melihat kemesraan orang lain dan aneh pada dirinya sendiri karena saat Aldan sudah menikah dan bisa menyalurkan kasih sayangnya pada seorang wanita, dia justru masih belum selesai bertarung dengan urusan masa lalu.
Tiba-tiba begitu mendongkak, dia malah mendapati seorang gadis berkaca mata hitam yang mendekat. Gadis itu berhenti tepat di hadapannya dengan jarak yang cukup berarti sebelum membuka kaca matanya.
"Wildan?"
1
2
3
Waktu seolah berhenti berputar.
Deg
Jantung Wildan langsung berdetak cepat. Keduanya sampai terpaku di tempatnya saking tak tahu harus apa.
Penampilan keduanya sudah berubah, wajah mereka sudah jauh lebih dewasa, dan suara pun demikian. Itu membuat mereka agak merasa ... asing.
Pada akhirnya pria berjaket kulit hitam itu mengangkat tangan dengan senyum santai menutupi salah tingkahnya. "Hai galak. Sehat? Sudah berapa leher kah yang engkau patahkan?"
Salah! Dia salah pertanyaan.
Sontak refleks seorang Dinda langsung bekerja. Merunduk hendak mencabut sepatu ketsnya untuk melempar pria itu membuat Wildan melotot. "HETTTTTT ...." Suara pria itu kencang sekali seperti sedang meneriaki anggotanya membuat mereka menjadi sumber perhatian warga rumah sakit. "Gue cuma mau jengukin istri temen. Ini juga mau nitip di si Aldan kok. Bukan ngasih langsung sama Jihan."
Dinda mengerutkan dahi. Dia baru tahu Aldan berteman dengan orang semacam Wildan.
"Kadang gue merasa ... dunia sempit," batin Dinda.
"So, tenangkan diri lo, OKAYYYYY?" Wildan melotot lagi dengan gaya lebaynya membuat amarah Dinda tersulut lagi tapi gadis itu berusaha menahan dirinya karena mereka sedang di rumah sakit.
Sejujurnya mau usia berapapun mereka bertemu, mereka akan merasakan perasaan semacam ... SATU SERVER. Tak ada bedanya dengan masa SMA. Akan kembali aura permusuhan mereka tapi perasaan cocok yang sulit disangkal.
"Lo ikut pengajian tapi kagak ada perubahan, Dind. Pasti lo sering tidur, kan, pas kajian? Akhlak lo dari zaman bahola tetep aja kejam dan tukang bunuh orang!" Wildan menghakimi gadis itu semaunya membuat Dinda melotot.
"Apa lo bilang?!! Ngomong lagi!! Siapa yang lo maksud bunuh orang?!!" Volumenya luar biasa.
"Otot gue bukan buat ngajar cewek, ya. Jadi nih gue nitip deh. Taruh sini, ya. Gue pergi nih. Lo terlalu banyak su'udzon sama gue lo. Enggak asik lo!!" Wildan jengah sendiri sebelum berlalu setelah menggantung keranjang buahnya pada handle pintu agar diambil Dinda.
Dinda mengepalkan tangannya kuat-kuat menatap punggung pria itu. "Tck!!"
.
.
"Dari sekian banyak orang yang berubah, kayaknya lo tetap sama. Apa kedatangan lo sebenarnya mengisyaratkan bahwa lo sesuka itu sama Jihan?" Dinda tak paham padahal kadang diam-diam dia masih merindukan pria itu.
Wildan pun berlalu dengan perasaan tak menentu. "Berhenti berharap, titik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...