"Ayo," ajak Wildan ke dalam sebuah ruangan bergaya klasik dengan banyak bingkai foto berukuran besar itu. Lantainya dilapisi karpet merah membuat Dinda terpana.
"Wow," gumamnya pelan sambil menatap ke sekelilingnya.
"Eyang jarang pulang ke rumah ini, tapi tempat ini dibuka untuk umum kok. Terutama untuk masyarakat sekitar," jelas Wildan. Tempat itu berada tepat di sebelah rumah milik Teguh, hanya saja pria lanjut usia itu jarang pulang ke rumah tersebut dan hanya ada penjaga rumahnya di sana.
"Tapi kok sepi?"
"Ya, zaman sekarang kan anak muda enggak terlalu tertarik lagi sama sejarah. Mereka lebih suka mengomentari konten sejarah dengan sedikit hal yang mereka ketahui yang mungkin aja salah dan hanya mencukupkan diri sama pelajaran sejarah di sekolah." Mereka berhenti di sebuah foto monumen yang fotonya berwarna hitam putih seperti foto-foto lainnya. "Mereka jarang mau tahu di luar itu, padahal yang diajarkan di sekolah itu sedikit banget. Sekolah gue bahkan enggak terlalu nekanin pelajaran sejarah."
Dinda menoleh ke arah pria itu. "Tapi kenapa lo tetap suka sejarah?"
"Karena keluarga gue punya budaya suka dengan sejarah. Dari kecil gue dididik untuk cinta sama sejarah. Kami terbiasa obrolin sejarah pas kumpul keluarga. Gue juga suka baca sejarah. Dari situ gue tahu bahwa yang diajarkan di sekolah itu sangat sedikit dari yang gue baca."
"Contohnya?"
"Contohnya adalah apa yang lo ketahui dari Partai Komunis Indonesia alias PKI selain peristiwa G30S/PKI?" tanya Wildan sambil menatap gadis di sebelahnya yang tampak berpikir itu dengan senyum tipis.
"Cuma peristiwa G30S/PKI. Pembunuhan para jenderal TNI dari Angkatan Darat pada tanggal 30 September 1965."
"Nah, itu contohnya, Adinda, padahal tahu enggak, pemberontakan pertama PKI itu udah dimulai sejak 12 November 1926. Itu tercatat sebagai pemberontakan pertama yang dilakukan oleh organisasi. Mereka berhasil ditumpas oleh Belanda waktu itu. Pesertanya adalah petani, buruh, dan nelayan yang terkena hasutan. Sampai 12 Januari 1927, 9 orang digantung dan 13.000 ditahan padahal mereka banyak yang bukan aktivis PKI. Hanya terkena hasutan. Sementara petinggi-petinggi PKI ini yang hobi provokasi seperti Muso, Alimin, Darsono, dan lainnya malah menghilang dari Indonesia.
"Sebelum penumpasan PKI pada 1965, PKI untuk mempertahankan ideologinya, komunis akan mengerahkan segala cara bahkan jika harus menumpas nyawa saudara sebangsa bahkan saudara kandung sendiri hanya karena perbedaan ideologi."
Dinda mengerutkan dahi lantaran terkejut. "Sekejam itu? Bahkan saudara kandung sendiri harus dibunuh hanya karena perbedaan ideologi?"
Wildan mengangguk. "Enggak heran sih di negara lain pas ideologi komunis mau bertahta pun begitu. 500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin, 6.000.000 petani kulak Rusia dibantai Stalin, rentang sampai tahun 1953, 40.000.000 dibantai Stalin, 50.000.000 Rakyat China dibantai Mao Tse Tung, 2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot.
"1.000.000 rakyat Eropa Timur di berbagai negara dibantai rezim Komunis setempat dibantu Rusia Soviet, 150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rezim Komunis di sana, 1.700.000 rakyat berbagai negara di Afrika dibantai rezim Komunis, dan 1.500.000 rakyat Afghanistan dibantai Najibullah."
Dinda sampai menganga saking tak tahunya harus berkomentar apa. Wildan menyebut jumlah orang-orang itu seperti tampak mudah, tapi itu adalah nyawa manusia yang dibantai hanya untuk mempertahankan ideologi. Jujur, Dinda merinding atas peristiwa matinya hati nurani dan tak adanya rasa kasihan atas nama kemanusiaan.
"Dan, you know, pas penggrebekan PKI oleh RPKAD yang sekarang adalah Kopassus, banyak ditemukan dokumen yang menyebutkan bahwa jika PKI menang, maka daftar orang yang harus dibunuh mencapai 20 juta orang," lanjut Wildan membuat Dinda melotot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Rusuh & Nona Galak (Tamat)
Spiritual#KARYA 11 📚 PART LENGKAP Tetangga sekolah dengan riwayat permusuhan melegenda. Ini kisah antara Wildan, anak petinggi TNI dari sekolah elit di sebelah dan Dinda, anak ibu kantin pemilik sabuk hitam karate yang siap mematahkan leher siapapun yang me...