2 : Terperanjat

767 112 6
                                    























Atikah hanya dapat terdiam membeku di atas kursi kayu halaman rumahnya setelah kepergian londo itu ia sama sekali tak menyangka jika dirinya akan mendapatkan kabar bak sambaran petir di siang bolong. Memang, Djon Van Gils yang merupakan ayah biologisnya telah wafat selama 3 tahun lamanya tetapi tak pernah sedikitpun Atikah mendengar persoalan utang-piutang dengan siapapun apalagi dengan seorang Tun yang baru pertama kali di lihatnya.

"Yaallah Atikah, Apa yang kau lamunkan di pagi hari begini," Tiba-tiba suara cempreng yang terdengar dari arah belakang rumah membuat sang puan menoleh.

Ternyata suara yang di dengarnya adalah ulah Lilis, seorang kawan karib yang bekerja sebagai babu di rumah salah satu Meneer yang cukup terpandang di desa tempat mereka tinggal.

Dengan inisiatif kepala Atikah segera memutar tanya, siapa tahu Lilis yang di kenal sebagai perempuan yang suka bergunjing dengan banyak warga desa dapar menjawab tanya yang akan ia lantunkan.

"Duduk, Lilis, aku ingin menanyakan sesuatu," Ujar Atikah sembari menepuk kursi kosong di sampingnya.

Dengan tanpa banyak curiga Lilis segera duduk sesuai permintaan Atikah. Perempuan berusia setahun di bawah Atikah itu segera tersenyum, "kau mau menanyakan apa? Rasanya sudah lama seorang Atikah tak penasaran."

"Begini, apa kau tahu siapa pemilik kebun teh paling besar di kampung kita?" Tanya Atikah tanpa ingin berbasa-basi lebih panjang.

"Ah," Lilis mendekatkan tubuhnya kepada sang puan lalu tersenyum, "walaupun tak menyangka, ternyata kau juga sama seperti kami yang tertarik dengan kabar terbaru di desa ini, bukan begitu?"

Pertanyaan Lilis malah semakin membuat Atikah bingung sedangkan dirinya merasa tak memiliki pikiran seperti apa yang di tuduhkan, "apa maksud kau?"

"Kau tau bukan, kebun teh 30 hektar di sepanjang jalan menuju rumah Hasnah bernama Theetuinen Van Zander? (Kebun teh Van Zander)" Tanya Lilis membuat Atikah mengangguk. Setahunya nama kebun teh paling besar di desa mereka adalah kebun teh itu.

"Itu adalah kebun teh milik seorang Tun yang selama ini tinggal di Batavia dan baru saja pindah ke Bandoeng bersama anaknya," Lilis bertutur panjang lebar tanpa jeda.

"Lalu siapa nama Tun itu? Apa kau juga tahu?"

"Tentu saja Atikah, namanya adalah, Tun Jacob Van Zander."

Bagai di sambar petir untuk kedua kalinya Atikah terkejut hingga tubuhnya menjadi lemas. Wajahnya mendadak pucat dan rasanya ia kehilangan seluruh daya pada tubuhnya.

"Atikah, Atikah, kau baik-baik saja? Wajah kau terlihat pucat," Lilis menepuk pundak sang kawan namun hanya di jawab dengan gelengan kepala.

"Kau boleh pergi, Lis, aku rasa aku hanya belum sarapan. Dan bukankah, Meneer akan mencari kau jika tak juga kembali?"

Lilis pada akhirnya mengangguk merasa jika kawannya hanya tengah kelaparan perempuan itu segera berlalu meninggalkan Atikah yang tengah merutuki perbuatan sang ayah yang tega menjadikannya sebagai jaminan hutang.

"Memang semua Londo sama saja."




































****

















Zander baru saja kembali dengan sepeda yang membawanya menuju rumah yang akan ia tinggali mulai hari itu bersama putera semata wayangnya. Mereka baru saja tiba malam harinya dan untungnya rumah yang awalnya di peruntukkan menjadi villa itu kini akan mereka tinggali, menjadi sebuah rumah tetap karena Zander berniat untuk tinggal lebih lama di tempat senyaman desa itu.

Meski sempat berbeda pendapat dengan sang putera nyatanya mereka tetap beranjak dari kota menuju desa, karena sang putera bukanlah tipe anak yang dapat hidup mandiri karena selain dirinya tak ada siapapun yang mengurus anak itu.

"Papa," Sapa seorang remaja dengan kulit seputih salju dan rambut pirang khas orang eropa, matanya berwarna biru serupa sang papa lalu wajahnya tak kalah mirip dengannya.

"Jose, wat doe je? (Apa yang sedang kau lakukan?)"

Pertanyaan Zander terucap karena melihat sang putra tengah memasang sebuah jaring transparan memanjang mengelilingi sisi rumah.

"Aku sedang membantu Atang memasang jaring, er zijn veel muggen in dit huis Papa (banyak nyamuk di rumah ini Papa)"

"Ja, masuklah, kau tak perlu membantu Atang, itu memang pekerjaannya. vergezel Papa voor het ontbijt. (temani Papa sarapan)"

Tetapi Jose menggelengkan kepalanya, "jaringnya terlalu panjang, Atang tak akan bisa melakukannya seorang diri."

"Ada jongos lain yang bisa membantunya, masuk, maak geen ruzie! (Jangan membantah!)"

Mendengar nada bicara sang papa akhirnya Jose terpaksa melepaskan untaian jaring di tangannya dan menatap Atang tak enak hati. Berbeda dengan Jose Atang hanya mengangguk pertanda ia baik-baik saja melakukan pekerjaannya sendiri.

Jose mengekori Zander masuk ke dalam rumah menuju meja makan di mana para Babu telah mempersiapkan makanan untuk sarapan sementara Jose memang telah melakukan sarapan lebih dulu atas perintah Zander.

Mereka duduk bersisian sepotong roti, beberapa jenis selai di temani air putih dan juga teh telah terhidang, ada beberapa telur ceplok juga yang terhidang, Zander tak pernah memakan makanan khas nusantara selama 17 tahun kepindahannya ke nusantara, lelaki itu membencinya, apapun yang berhubungan dengan Pribumi Zander sangat membencinya.

Beberapa saat sudah mereka berada di meja makan, Jose hanya duduk melihat sang Papa menyantap sarapan yang kini telah habis separuhnya tanpa ikut bergabung karena perutnya memang telah terisi. Tetapi tiba-tiba Zander manaruh garpu dan pisau makannya lalu mata birunya menatap ke arah sang putera hingga Jose sedikit terkejut.

"Wat is er aan de hand papa? (Ada apa, Papa?)" Tanya Jose sembari meneguk ludahnya sendiri.

"Jose, wil je een nieuwe Moeder? (Jose, apa kau ingin memiliki Ibu baru?)"



































Tbc ...



Yang nebak alurnya rumit, memang iya, sudah terlihat dari karakter Zander dan Atikah, hehehe ...

Pribumi [Jaedy]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang