Ketika pagi menyingsing, matahari mulai naik ke pelupuk dan menyinari dedaunan teh berwarna hijau nan menggugah mata, seorang remaja terbangun lebih dulu dengan raut terkejut kala melihat sosok lelaki dewasa tengah tertidur dengan posisi duduk di kursi ruang keluarga mereka.
Lelaki yang terlihat mengenakan kaus polos berwarna hijau dan celana katun itu terlihat begitu lelah entah karena apa. Pikiran Jose melayang kala mendengar suara jeritan samar dari sang ibu tiri yang hanya tersiar beberapa detik saja tetapi sanggup menghubungan benang-benang samar yang ia teorikan.
"Papa, word wakker, het is ochtend, (papa bangun, sudah pagi)," Jose menepuk pelan pundak sang ayah dan tak butuh waktu lama untuk Zander membuka matanya dan di sambut tatapan heran sang putra.
"Hoe laat is het nu? (Jam berapa sekarang?)"
"Om 8 uur vertrek ik zo naar school ( jam 8 pagi, aku akan berangkat sekolah sebentar lagi)."
Zander memijat pelipisnya pelan lalu tersadar jika ia telah terlalu banyak meminum alkohol setelah menyetubuhi sang istri. Entah mengapa rasanya Zander begitu tak karuan bahkan perasaannya tak enak ketika menyadari apa yang telah ia lakukan.
"Di mana Atikah? Apa dia sudah bangun?"
Jose menggedikkan bahunya, "aku baru saja bangun dan tak melihat keberadaannya. Ah ya," Jose menatap penuh curiga terhadap sang ayah, "apa kau memukuli perempuan itu semalam? Aku mendengarnya berteriak."
"Bersiaplah ke sekolah. Kau akan kesiangan, biar nanti Deden yang mengantar kau."
Josepun setuju tanpa berpikir lebih dalam dirinya berlalu ke arah kamar mandi semetara Zander yang penasaran dengan keadaan sang istri segera berlalu ke arah kamar utama di mana kejadian semalam yang cukup sadis ia lakukan terhadap Atikah.
Ketika membuka pintu Zander tak melihat apapun berubah selain ranjang yang berantakan dan seseorang tengah dalam posisi terlentang tertutup selimut di atasnya. Atikah tak menutup matanya terlihat air mata juga membasahi pipi pucat yang semakin membuat perempuan itu bak mayat hidup.
Sedikit terselip penyesalan dalam benaknya kala menyadari bagaimana prilakunya semalam. Harusnya ia tak melakukan kekerasan fisik di luar adegan bercinta.
Perlahan Zander berjalan ke arah Atikah dengan langkah pasti. Lelaki itu duduk di sisian ranjang sembari menatap lekat wajah sang istri. Ingin rasanya Zander meminta maaf tetapi egonya begitu tinggi, tak mungkin baginya untuk merendahkan diri di hadapan seorang wanita apalagi Atikah adalah seorang dengan darah campuran.
"mijn liefje, bagaimana keadaanmu?"
Jangan harap pertanyaan Zander akan terjawab karena bahkan mendengar suaranyapun Atikah tak sudi.
"Bersihkan dirimu," Zander mengusap lembut rahang Atikah yang terlihat kebiruan, "aku akan memanggil Asih untuk membantu kau mandi. Atikah, Je moet weten dat ik je nooit echt heb gehaat (kau harus tau, aku tak pernah benar-benar membencimu)"
Setelah itu, Zander pergi ke luar dari kamar karena dirinya tahu keberadaannya tak akan membuat amarah Atikah mereda. Mungkin ia akan diam untuk beberapa saat sampai Atikah siap untuk berbicara lagi dengannya.
Nampaknya Zander sesungguhnya tak sekejam itu, bukan?
"Permisi, Nyai." Suara sosok perempuan paruh baya terdengar di luar kamar membuat Atikah yang sedari tadi hanya terdiam melamun begitu tertegun. Pasalnya tak pernah sekalipun ia membayangkan jika sebutan Nyai akan menjadi sebutan baru bagi dirinya.
"Masuklah," Jawab Atikah sembari perlahan terbangun dari posisinya lalu ia melihat sosok setengah baya itu membawa sebaskom air dan lap yang Atikah ketahui fungsi dari benda-benda itu.
"Meneer meminta saya membantu Nyai bersih-bersih."
"Ah ya ... " Atikah mengusap wajahnya lalu dengan perlahan bersandar kepada kepala ranjang. Bagian bawahnya masih terasa sangat sakit, pinggangnya juga terasa akan patah tetapi tak ada hal lain yang dapat ia lakukan selain melakukan apa yang Zander inginkan. Ia tak ingin mati di tangan pria itu jika membantah lagi.
"Biasa saja kalau terasa sakit Nyai. Nyai masih perawan, nanti lama-lama juga terbiasa," Ujar Asih seolah mengerti jika Atikah tengah berjuang dengan rasa sakit bercinta untuk pertama kali.
"Siapa nama kau?" Tanya Atikah dengan suara setengah seraknya.
"Sebut saja Asih, Nyai."
Atikah lalu terdiam, ia perlahan menurunkan selimutnya sehingga tubuh bagian atasnya terekspos. Tak ada rasa malu karena mereka sama-sama wanita juga Asih mungkin berusia lebih tua dari mendiang ibunya.
"Memang londo itu kasar, bringas, paling tak suka juga bila di bantah. Tapi kalau sudah dapat hatinya, mereka baik sekali, kalau sudah jatuh hati juga tak segan memberikan segalanya," Asih berujar, "nyai geulis, pinter, berpendidikan, teu kos abdi saumur-umur jadi babu. Pindah ti imah hiji Meneer ka nu lainna, (nyai cantik, pintar, berpendidikan tak seperti saya, seumur-umur menjadi babu, pindah dari rumah meneer satu ke meneer lainnya), kuatkanlah hati Nyai. Nyai pasti bisa dapat hal-hal indah di masa depan."
Asih mengusap punggung tangan Atikah dengan selembar handuk yang di basahi air hangat membuat Atikah tak kuasa menahan derai air mata. Asih seolah hapal betul bagaimana keadaannya, bagaimana rasanya hidup dengan seorang Meneer dengan hati yang kejam.
Tetapi di sisi lain juga Atikah merasa jika perkataan Asih membangkitkan dirinya di tengah segala keputus asaan. Karena bagaimanapun ia harus hidup dan menjadi wanita yang dapat membela dirinya sendiri dan juga para pribumi yang bernasib sama sepertinya.
"Terimakasih, Asih."
Tbc ...
Demi apa, nulis ini sambil prihatin :")) btw komen dong kak :"))
KAMU SEDANG MEMBACA
Pribumi [Jaedy]
FanfictionCOMPLETED Cerita ini berlatar pada jaman penjajahan kolonial Belanda, di mana seorang perempuan yang lahir dari hasil pernikahan campuran antara Bangsawan dari Netherland (Belanda) dan rakyat Pribumi di paksa menikah dengan Bangsawan dari Netherland...