Seminggu berlalu tak ada hal yang baru selain hari berganti selalu, senin menjadi minggu bunga mekar menjadi layu dan kicauan burung pipit terdengar berkicau bersahutan merdu di telinga siapapun yang tengah menghabiskan sejuknya pagi di hari minggu.
Siapa juga yang tak tahu jika minggu adalah hari yang di nanti, terutama bagi pekerja di sebuah institusi yang masih mengenal waktu, tetapi jangan samakan dengan para pemetik teh di luasnya berhektar-hektar perkembunan milik para kompeni.
Buruh itu terus bekerja tak kenal waktu, menghabiskan hari dari pagi hingga sore bak tak ada lagi waktu untuk mencari senang apalagi tenang. Mereka bekerja untuk menghidupi diri dan lari dari kelaparan juga kemiskinan.
Tetapi hal itu tak jua serta merta membuat mereka terlepas dari beban dunia, nyatanya mereka hanya membantu si kaya semakin kaya dan si miskin tetap miskin. Begitulah kejamnya hidup berada di urutan paling bawah rantai kehidupan.
Sedihnya Atikah kerap melihat kawan serta kerabat mengais rejeki dengan membanting tulang tak kenal waktu, dengan upah minimum mereka yang mayoritas adalah buruh, jongos, ataupun babu di bawah kuasa para londo hanya dapat menerima kenyataan hidup yang sepahit empedu.
"Apakah Hasnah bekerja hari ini?" Gumam Atikah kala melihat beberapa pemetik teh melewati halaman rumahnya sembari membawa keranjang besar di punggung mereka membuat Atikah sontak teringat dengan sosok kawan karibnya itu.
Selain teringat Hasnah, Atikah juga baru menyadari betapa lengangnya minggu ini, sosok Zander tak lagi berkeliaran di sekitarnya, tak jua membuat Atikah kerepotan dengan berbagai tingkah yang kerap membuat ia naik darah, entahlah, ternyata eksistensi seorang Zander cukup berpengaruh untuk ketenangan hidupnya.
"Atikahhhhhhh," Tetiba teriakan seseorang dari arah belakang rumahnya membuat perempuan cantik itu menoleh. Lilis menghampiri Atikah dengan wajah memerah bak di kejar setan hingga membuat Atikah kebingungan. Tak terlewat jejak air mata yang masih membasahi pipi Lilis semakin menambah kekhawatirannya.
"Lilis, ada apa? Kenapa kau menangis?" Ujar Atikah kala sang kawan telah berada di hadapannya. Lilis terlihat gemetar dan ketakutan, bahkan Lilis kesulitan hanya untuk sekedar membuka mulutnya.
"Atikah ... Tolongg ... H-hasnahh ... "
Atikah sontak mengusap bahu sang sahabat sembari menenangkan, "Lis, kau tenanglah, bicara pelan-pelan."
"A-atikah ... Hasnah ... Hasnah akan di eksekusi. Dia ... dia di tuduh mencuri ..."
Mendengar itu Atikah tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya, Atikah mengetahui jelas jika hukuman untuk seorang pencuri tidak akan pernah sepele apalagi Hasnah hanyalah buruh kecil dan juga seorang pribumi yang tak akan di ampuni jika melakukan sebuah kesalahan apapun jenisnya.
"Di mana Hasnah, ayo kau tunjukkan di mana anak itu berada."
****
Dengan terburu Atikah mengendarai sepeda ontelnya dengan membonceng Lilis yang masih saja menangis tersedu. Dari apa yang ia lihat dari keadaan Lilis Atikah yakin apa yang terjadi pada Hasnah bukanlah sesuatu yang sepele, hal itulah yang membuat Atikah semakin tak tenang dan melibas bebatuan yang berada di depannya, meskipun beberapa kali terhuyung dan nyaris terjatuh untungnya mereka masih dapat tiba dengan selamat di sebuah bangunan yang biasa menjadi tempat penghitungan banyak sedikitnya daun teh yang para buruh dapatkan.
Atikah membiarkan sepedanya terjatuh begitu saja dan dirinya berlari menaiki beberapa anak tangga dengan peluh yang bercucuran dari keningnya. Tak peduli kain jarik yang ia kenakan menghambat langkahnya Atikah tetap tak berniat memelankan setiap langkahnya hingga sampailah dirinya di sebuah kerumunan di iringi suara isakkan dengan suara yang tak lagi asing di indera pendengarnya.
"Hasnah!" Panggil Atikah membuat semua mata kini tertuju pada asal suara itu, mengetahui Atikah datang Hasnah yang sedari tadi tersedu dan terpojok kini terlihat semakin pilu. Ada rasa sedih dan malu bersamaan yang Hasnah rasakan.
Bagaimana tidak, mereka telah bersahabat sejak sangat kecil dan Atikah kini harus melihat dirinya di hakimi karena hal yang amat memalukan adalah sebuah aib bagi dirinya.
"Apa yang terjadi, kenapa kau bisa seperti ini?" Tanya Atikah dengan panik.
"Dia mencuri uang gaji untuk membayar buruh lain," Bukanlah Hasnah yang menjawab, tetapi seorang mandor bernama Asman yang memang menguasai wilayah tempat Hasnah bekerja.
"Lalu, mana buktinya jika Hasnah sungguh mencuri?" Tegas Atikah tak gentar.
"Kau tak percaya kawanmu mencuri?" Pertanyaan dari seseorang yang tiba-tiba muncul dari kerumunan membuat Atikah sontak menoleh, demi apapun Atikah tak menyadari jika sedari tadi ada seseorang yang amat Atikah hindari berada di sana. Zander kini berdiri dengan angkuh di hadapannya sembari menunjukan wajahnya yang sombong, "ini," Zander melemparkan segepok uang dengan nominal yang sangat besar membuat Atikah sangat terkejut, "dia menyembunyikan uang ini di dalam bajunya, jika saja dia tak ceroboh dan menjatuhkaannya buruh yang lain mungkin akan kehilangan gaji mereka hari ini."
Jelas Zander dengan lugas sementara Hasnah terus menangis ketakutan. Tentu saja hal itu tak langsung Atikah percaya karena Zander adalah orang yang licik mungkin saja ia sengaja melakukan itu untuk mempermalukan Atikah.
"Hasnah, kau tak benar-benar mencuri, bukan?" Tanya Atikah kepada sang sahabat, Atikah berharap Hasnah akan menyanggah dan menggelengkan kepala, tapi nyatanya Hasnah hanya terdiam dan menangis tanpa menjawab, "tak apa, jika kau sungguh melakukannya, aku tak akan marah. Jelaskanlah yang sesungguhnya Hasnah, kau tak perlu takut," Atikah mengusap lembut bahu ringkih Hasnah yang gemetar. Atikah tahu hukuman yang akan di berikan adalah hukuman mati bagi siapapun pribumi yang nekat mencuri, tetapi Atikah akan mengusahakan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa sang kawan karib.
"Kau tak sungguh-sungguh mencuri, bukan?" Ulang Atikah kembali bertanya sembari menatap lekat iris Hasnah yang memerah.
"M-maafkan aku, Atikah ... Aku, aku benar-benar mencuri uangnya."
Tbc ...
Gimana?? Jangan lupa vote!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pribumi [Jaedy]
FanfictionCOMPLETED Cerita ini berlatar pada jaman penjajahan kolonial Belanda, di mana seorang perempuan yang lahir dari hasil pernikahan campuran antara Bangsawan dari Netherland (Belanda) dan rakyat Pribumi di paksa menikah dengan Bangsawan dari Netherland...