34 : sudah waktunya

579 73 6
                                    















Yang terjadi setelah Atikah mendengar apa yang Beatrix katakan adalah tangisan histeris dan teriakan Atikah, perempuan itu terus menyalahkan dirinya sendiri atas ketidak tahuan dan kebutaan yang ia jalani selama ini akan fakta yang begitu menyayat hati.

Setelah teriakan dan tangisan ia tumpahkan tubuhnya limbung dan pingsan hingga membuat panik Beatrix dan Zander yang memang telah siap sedia untuk menenangkan. Bukan rencana mendadak tentang dongeng itu karena pada dasarnya Zanderlah yang meminta Beatrix untuk bercerita agar sang puan percaya. Sedangkan jika ia sendiri yang bercerita Zander ragu jika Atikah akan meluluhkan hatinya.

Maka dengan pingsannya Atikah Zander telah yakin betul jika perempuan itu telah mempercayai fakta yang ada dan tak ada keraguan dalam hatinya.





Kerjapan mata Atikah membuat Zander yang sedari tadi menemani bernafas lega, pasalnya telah hampir 10 menit Asih memijat kaki dan tangan istrinya tetap tak kunjung membuka mata, Zander segera mengusap dahi sang puan lalu menyambangi pipi Atikah dengan belaian lembut.

"Kau sudah sadar, apa yang kau rasakan?" Atikah tak menjawab dan hanya menatap Zander dengan mata yang berkaca-kaca. Zander mengerti kesedihan mendalam tengah merangkap Atikah.

"A-apa yang Tante Beatrix ucapkan benar? Katakan pada saya apa itu sungguh faktanya?" Tanya Atikah dengan suara gemetar.

"Ya ... Itu benar ... " Jawab Zander sembari menggenggam tangan lemas sang istri.

"Saya bersalah Meneer, bagaimana bisa saya seumur hidup membencinya? Bagaimana bisa saya membenci ayah saya sendiri ... Bagaimana ini, apa yang harus saya lakukan ... Katakan pada saya Meneer! Katakan ... " Atikah terus mengoceh sembari menangis sementara Zander hanya dapat memeluk Atikah yang masih terkuasai dengan emosi.

"Tak apa Atikah, ayah kau adalah orang yang baik, dia pasti memaafkanmu, berhenti menyalahkan diri sendiri, maafkanlah juga dirimu sendiri," Zander terus mengusap lembut punggung sempit Atikah.

"Tapi saya bersalah, saya bersalah Meneer ... "

"Tak sepenuhnya salah kau, dia yang tak jujur selama ini kau hanya tak tahu. Berhentilah memikirkannya kau hanya perlu mengenang Ayahmu sebagai sosok yang baik. Sekarang fokuskan diri untuk kesehatanmu dan bayi kita," Zander memeluk Atikah kian erat sementara Atikah tetap tergugu dalam dekapannya.




















***







"Ada apa dengannya? Mengapa dia menangis lagi?" Tanya Jose ketika menyantap makan malam bersama sang papa, hanya berdua karena Atikah telah makan terlebih dulu dan tidur setelahnya. Walaupun harus di paksa tetapi memang harus begitu.

"Ibumu sedang tak enak badan," Jawaban singkat Zander membuat Jose mengernyitkan dahinya.

"Ahh, dia semakin lemah sejak hamil, harusnya dia tak usah hamil, Papa."

"Hey ... " Zander menaruh garpunya dan menatap tajam Jose, "kau tak boleh berbicara seperti itu kepada calon adikmu, Jose. Papa tak menyukainya," Sentak Zander yang membuat Jose menunduk takut.

"Sorry, Papa," Jawabnya singkat.

"Ah ya, tadi Grootmoeder datang, apa kau sempat menemuinya?" Tanya Zander setelah meneguk sedikit air.

"Ya ... Dan dia mengatakan jika aku bisa menginap di rumahnya ketika Atikah melahirkan nanti."

"Baiklah, kau bisa menginap di Buitenzorg nanti. Ibumu akan melahirkan di rumah sakit di Batavia."

"Haruskah melahirkan di sana? Bukankah terlalu jauh?"

Zander tersenyum melihat kekhawatiran sang putra yang akan segera menjadi seorang Kakak itu, "tak perlu khawatir, Papa akan memberikan segala yang terbaik untuk kelahiran adikmu."






















Atikah mengerjap perlahan kala rasa nyeri di perutnya tiba-tiba mendera, sesekali Atikah mengusapnya sembari meringis, apakah ia kontraksi? Apakah hanya kontraksi sesaat.

Atikah terus bergelut dalam pikirannya, Atikah melirik Zander yang terlihat masih terlelap di sampingnya, lelaki itu baru saja naik ke atas ranjang Atikah sadar itu karena sesungguhnya ia tak nyenyak dalam tidur. Atikah semakin gelisah karena merasa sesuatu akan terjadi jika ia terus dalam posisi tidur.

Maka perlahan kakinya yang sedikit membengkak turun dari atas ranjang, jujur saja dua minggu ke belakang Atikah begitu kesulitan mengontrol tubuhnya sendiri dan ketika berhasil menginjak lantai Atikah hampir saja limbung tetapi untungnya tangan sang puan berhasil meraih lemari yang berada di sisinya.

Menghela nafas sejenak, Atikah meyakinkan diri untuk turun dari atas ranjang dengan sebelah tangan mengusap bagian bawah perutnya yang kian terasa tak nyaman.

"Tak mungkin sekarang, kan? Seingatku usianya baru menginjak sembilan bulan minggu lalu," Gumam Atikah sembari meringis dan mencoba berjalan sedikit demi sedikit namun rasanya semakin tak nyaman. 

Atikah menatap Zander yang masih tertidur dengan begitu pulas perasaannya kian gundah haruskah ia membangunkan sang suami.

"Ahh ... " Atikah mendudukan tubuhnya di sisi ranjang lalu meremas sprei dengan kuat, sepertinya benar, itu sudah waktunya. Atikah menarik dan menghembuskan nafas hingga kepanikan semakin menjadi kala Atikah merasa kakinya basah begitupun juga lantai yang berada tepat di bawahnya.


































Tbc ...

Siap-siap menyambut keponakan onlen kkk

















Pribumi [Jaedy]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang