4 : Issabele

595 95 7
                                    





















Atikah ternganga kala mata sebiru lautan dan wajah tampan itu berada di hadapannya, jika di kurangi sifat sombong dan di bubuhi kurang ajar itu tak membingkai seluruh wajahnya maka Atikah akan segera terperosok ke dalam pesonanya tanpa koma.

"Meneer," Ujar Atikah dengan intonasi terkejut, wajah sombong seorang Tun khas Netherland segera menyambut Atikah, "ada keperluan apa datang ke mari?"

Zander lalu berdecak dan kembali memasang tampang mencemooh, "Apa kau tak merasa salah bertanya seperti itu kepada pemiliknya? Bukan seharusnya saya yang bertanya, sedang apa kau di kebunku?"

Demi Tuhan mendengar setiap kosakata sang Tun Atikah merasa ingin memukulnya barang sekali, jika saja Atikah tak waras ia akan segera melakukannya detik itu juga.

"Saya sedang membantu Hasnah, dia kawan saya yang juga bekerja di kebun ini, bersama ibunya," Jelas Atikah tanpa ragu lalu Zander menatap sekeliling kebun teh dengan rasa penasaran apakah Atikah tengah mengibulinya atau sungguh-sungguh sedang membantu kawannya.

"Di mana kawanmu? Saya ingin bertemu--"

"Untuk apa, dia sedang bekerja. Meneer, lebih baik kau segera memeriksa bagian sana, yang saya dengar sering sekali daun teh rusak karena kecerobohan pegawai."

Zander terkekeh lalu ia mendekatkan diri kepada Atikah hingga kini jarak keduanya kian mendekat, Atikah bahkan dapat merasakan nafas Zander begitu hangat, "ja, Van Gils, je hebt geen recht om mij te bestellen (kau tidak berhak memerintahku)."

Mendengar itu Atikah hanya terdiam sembari menyelami rupa serupa dengannya. Paras itu, sangat Atikah benci mulai sekarang dan mungkin akan begitu untuk selamanya.

"Saya permisi, Meneer," Ujar Atikah berjalan ke arah berlawanan, dirinya tak mau berurusan lebih panjang dan meledakkan emosinya di depan umum. Biar saja, dirinya akan memupuk kesal lalu meledakkannya di saat yang tepat.
























"Hasnah," Ujar Atikah kala dirinya telah tiba di tempat sang kawan yang tengah sibuk dengan daun teh di hadapannya, Hasnah menoleh lalu dengan senyuman manis Hasnah menyambutnya.

"Kau kenal dengan Meneer?" Pertanyaan Hasnah membuat Atikah lagi-lagi harus menahan kesal.

"Tak begitu, aku hanya tak sengaja bertemu di jalan."

Sayangnya alasan Atikah tak masuk ke dalam logika seorang Hasnah yang tak bisa juga di anggap dangkal, "kau pikir aku tolol, aku bisa melihat kau dan Meneer itu seperti mau memakan satu sama lain. Mana ada yang seperti itu hanya bertemu di jalan," Hasnah lalu terkekeh setelahnya.

"Kau selalu bisa menebak seperti biasa rupanya Hasnah, aku mau cerita nanti, kau harus dengarkan hingga habis," Atikah terlihat memajukan bibirnya. Sementara Hasnah hanya menggelengkan kepala tak habis pikir.









































Zander tiba di rumahnya ketika senja telah tiba di langit Bandoeng sore itu. Untungnya tak terlihat tanda-tanda hujan dan Zander dapat pulang dalam keadaan kering, tak harus repot berbasah-basahan.

Jose yang sebelumnya tengah fokus melukis di depan jendela ruang tamu tersenyum cerah kala melihat eksistensi sang Papa di halaman rumah.

"Welkom Papa (selamat datang Papa)."

Zander lalu tersenyum lebar melihat perubahan mood sang putra semata wayang terlihat jauh lebih baik, tak lagi mencebik dan merajuk karena biasanya Jose akan membuatnya pusing terlebih dulu sebelum usai dengan aksi 'mengambek'. Mungkin karena suasana di Bandoeng merubah perangainya.


"Apa yang sedang kau lakukan, Mijn zoon?" Tanya Zander sembari berjalan menghampiri sang putra. Sudah lama Zander tak melihat Jose memegang kuas dan melukisnya di atas kanvas, Zander ingat sekali bagaimana Issabele adalah orang yang memperkenalkan putra mereka terhadap seni itu.

"Aku rindu Mama, aku melukis untuk mengingatnya, agar kau juga mengingatnya, Papa."

Perasaan sedih dan terkejut segera menyelimuti Zander, karena bagaimana tidak, Jose berkata seolah ia telah melupakan mendiang sang istri padahal sesungguhnya setiap malam Zander selalu merindukan perempuan Netherland paling cantik di matanya itu.

"Papa tak pernah melupakan Mamamu, Jose, dia akan selalu berada di hati dan dalam kenangan kita."

"Aku tahu, tetapi suatu saat jika Papa ingin menikah lagi, menikahlah, Papa. Kau juga pasti ingin bahagia, tetapi aku minta jangan lupakan Mama. Dia akan sedih di surga."

Zander segera memeluk putranya erat, ternyata selama ini Jose diam-diam memiliki perasaan takut terhadap dirinya dan kenangan keluarga kecil mereka, tetapi Zander sama sekali tak pernah sedikitpun terbersit untuk menghilangkan sosok isabele dalam kehidupan mereka, sekalipun kelak ia akan membawa perempuan lain masuk ke dalam keluarga kecil mereka.

"Maak je geen zorgen mijn zoon, ik zal je moeder nooit vergeten (jangan khawatir anakku, aku tak akan melupakan ibumu, sampai kapanpun.)"
























Tbc ...

Ada yg kangen book ini ga?

Pribumi [Jaedy]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang