Hari berganti bulan, bulan demi bulanpun terlewati dengan cukup tenang lantaran Atikah tak melakukan hal-hal yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun kandungannya. Zander memang masih mengurung Atikah tetapi hanya di dalam rumah bukan di dalam kamar karena Zander takut Atikah akan mengalami stress begitupun bayi mereka.
Seperti saat ini, kandungan Atikah telah menginjak usia yang matang untuk melahirkan dan kerap kali Atikah berjalan mengelilingi rumah mereka dengan perut besarnya. Zander juga melarang Atikah menggunakan kebaya dan kain jarik karena menurut Zander pakaian itu akan membuat sang istri merasa sesak.
Josepun mulai sedikit melembutkan prilakunya, remaja itu tak lagi membuat masalah dan cukup intens berinteraksi dengan Atikah walaupun hanya sekedar sapaan dan pertanyaan singkat dari keduanya. Zander merasa cukup lega untuk menjalani aktifitasnya juga akhir-akhir waktu.
"Kau akan melahirkan di rumah sakit di Batavia, bukan?" Pertanyaan Lilis membuat Atikah yang tengah memakan irisan buah pear di halaman belakang rumahnya menoleh. Ya, Lilis dan Hasnah memang sesekali berkunjung ke rumahnya tetapi saat itu hanya Lilis yang sempat karena Hasnah tengah sibuk bekerja di kebun.
"Ya, Meneer menjadwalkanku pergi ke Batavia akhir minggu ini," Jawab Atikah sembari mengusap perut besarnya.
"Bagaimana rasanya akan menjadi Ibu dari anak Meneer terkaya di desa kita, Atikah, kau senang?"
Pertanyaan yang cukup membuat Atikah merenung itu akhirnya di angguki, "senang karena akan menjadi Ibu Lis, bukan tentang siapa ayahnya karena memang perempuan kodratnya begitu."
Lilis setuju tetapi tetap saja bukan itu yang ia maksud, "apa kau sudah ... Mulai mencintainya?"
Bungkam, Atikah terdiam bahkan buah pear yang tengah ia kunyah dalam mulutpun masih belum sempat ia telan, pertanyaan Lilis menyadarkan batinnya, mungkinkah ia telah mencintai Zander? Tetapi sepertinya tidak.
"Aku tak terlalu memikirkan itu, Lis, dia bersikap baik saja sudah membuatku bersyukur," Jawab Atikah miris, berharap apa dia pada cinta sang tuan, mana mungkin ia mencintai sosok yang sedari awal tak ia inginkan.
"Tetapi aku rasa, Meneer jatuh cinta kepada kau, Atikah."
Mendengar tuturan sang kawan tentu saja Atikah mengibaskan tangannya di depan wajah sang sahabat, "kau tak boleh menyimpulkan perasaan para londo, mereka tak semudah yang kau kira, Lilis, jangan asal bicara!" Seru Atikah dengan alis menukik tajam.
"Kau sungguh tak pintar menerka perasaan orang rupanya Atikah," Jawab Lilis sembari menggelengkan kepala.
"Goedemiddag (selamat siang)" Tetiba suara sapaan perempuan dari arah belakang keduanya membuat Atikah dan Lilis menoleh. Sosok perempuan berusia lanjut terlihat berjalan ke arah mereka dengan menggunakan tongkat sembari tersenyum cantik. Mata birunya menjelaskan segala rasa penasaran Lilis karena ia tau itu pasti kerabat dari suami sahabatnya.
Atikah yang melihat kedatangan bibi dari suaminya itu hendak bangun dari kursi tetapi Beatrix melarangnya, "duduklah, kau tak perlu repot bangun. Saya yang akan menghampiri," Ujar Beatrix.
"Atikah, sepertinya aku harus pergi," Lilis menepuk pundak sahabatnya, "aku akan kembali besok," Setelah itu Lilis pamit dan tersenyum serta menunduk ke arah Beatrix membuat londo itu ikut tersenyum.
"Goed verdriet, kau terlihat sehat, Atikah," Ucap Beatrix sembari duduk di kursi bekas Lilis duduki.
"Tante, bersama siapa datang kemari?" Tanya Atikah sembari membenarkan posisi duduknya.
"Bersama suamimu tentu saja, dia mampir ke Buitenzorg sepulang dari Batavia dan mengajakku ke rumahnya."
Tak lama kemudian muncul Asih membawa segelas teh hangat dan sepiring camilan kattetong untuk di sajikan kepada sang tamu.
"Terimakasih," Ujar Atikah dan senyuman dari Beatrix.
Atikah sejujurnya cukup merasa heran akan kedatangan keluarga dari sang suami itu karena selama mereka menikah hanya Augustijn yang beberapa kali mampir untuk sekedar minum alkohol bersama Zander.
"Kau sebentar lagi akan melahirkan, bukan begitu?" Tanya Beatrix membuat Atikah tersenyum.
"Ya, sepertinya satu atau dua minggu lagi."
"Kau akan melahirkan di rumah sakit atau secara tradisional?"
"Meneer telah menjadwalkanku untuk melahirkan di rumah sakit di Batavia."
Mendengar itu Beatrix mengangguk. Perempuan tua itu lalu menyesap tehnya sejenak sebelum iris biru dengan kulit tak lagi segar itu kembali menatapkan Atensinya ke arah sang puan, "kau juga pasti dapat menebak jika alasan kedatangan saya ke rumah ini bukan hanya sekedar berkunjung bukan?"
Tentu saja Atikah tahu, hanya saja ia tak berani mengutarakannya, "sejujurnya, saya memang berpikir begitu Tante."
Beatrix lalu terkekeh, "ya, saya memang datang untuk mendongengkan sesuatu."
Atikah sontak menaikan alis matanya, mendongeng apa ia tak salah dengar, "mendongeng?"
"Ya, anggap saja, dongeng sebelum kau membawa satu nyawa lain ke dunia ini. Dongeng yang akan membuat kau merasa lega ketika mendengarnya dan membuat kau merasa tak terbebani ketika melahirkan putra Jacob ke dunia."
Tentu saja Atikah semakin tak mengerti apa yang di katakan perempuan tua itu dan matanya hanya menatap tak mengerti ke arah Beatrix, "apa kau mau mendengarnya?"
Atikah tentu saja menganggukkan kepala, bagaimana bisa ia menolak penawaran semenarik itu?
Tbc ...
Bakal double up setelah 20+ vote
KAMU SEDANG MEMBACA
Pribumi [Jaedy]
FanfictionCOMPLETED Cerita ini berlatar pada jaman penjajahan kolonial Belanda, di mana seorang perempuan yang lahir dari hasil pernikahan campuran antara Bangsawan dari Netherland (Belanda) dan rakyat Pribumi di paksa menikah dengan Bangsawan dari Netherland...