31 : Menang

495 80 7
                                    




























Zander membuka pintu kamar yang telah tiga hari di tinggali Atikah, Zander mendengar dari Asih jika Atikah terlihat begitu sedih dan kerap menangis perempuan itu terlihat tak sehat dan membutuhkan seseorang untuk bicara tetapi Asih tak cukup berani untuk menemani majikannya itu.

Mendengar tuturan sang Babu Zander tentu saja tergugah, mengingat kesehatan Atikah adalah sesuatu yang penting apalagi ia tengah dalam masa kehamilan yang beresiko.

Zander membuka kunci pintu kamar sang puan, perlahan Zander membuka pintu yang telak memperlihatkan sosok Atikah tengah tertidur dengan posisi memiringkan tubuhnya membelakangi pintu. Melihat itu Zander perlahan mendekat, mengulurkan tangannya lalu mengusap pundak ringkih sang istri.

Sementara tanpa Zander ketahui Atikah tidaklah tertidur, ia hanya memejamkan mata ketika mendengar daun pintu bergerak terbuka.

"Kau baik-baik saja, bukan?" Tanya Zander meskipun pikirnya Atikah sungguh terlelap, "kau tau, saya membenci bagaimana cara kau berlaku terhadap bayi kita, sekalipun kau membenciku kau ... " Tiba-tiba saja rasa sedih memenuhi relung dadanya hingga Zander merasa sesak, "kau tak harus membunuh anak yang tak bersalah ... Dan bisakah kau mengerti apa yang saya lakukan itu tanda peduli?" Zander menelan kenyataan getir yang tiba-tiba muncul dalam ingatannya.


"Kau tak perlu berbuat sejauh itu karena jika saya tak menghalangimu kau akan menjadi wanita paling menyesal di Hindia Belanda. Cepatlah sembuh Atikah, kau membuat saya khawatir," Setelahnya Zander segera pergi meninggalkan kamar menyisakan Atikah dengan tangisan yang sedari tadi tertahan.

Ia mendengar semuanya, segala keluh kesah Zander kini cukup membuatnya merasa jika lelaki itu memiliki sedikit ketulusan. Dirinya memang bodoh, setelah beberapa saat terkurung dalam kamar Atikah mulai menyadari jika apa yang ia lakukan adalah hal yang jahat. Bagaimanapun bayi yang ia kandung tak memiliki hubungan dengan segala kebenciannya terhadap Zander.

Keegoisannya hampir saja membuat ia menyesal, maka dengan perlahan tangan Atikah terulur untuk mengusap perutnya sendiri, "maafkan Ibu, Nak ..." Ucapnya sembari menangis tergugu.


























****


















"Apa dia memakan makanannya Asih?" Tanya Zander kepada perempuan paruh baya itu.

"Di makan Meneer, Nyai juga rajin meminum vitaminnya," Jawaban Asih membuat Zander setidaknya merasa lega.

Di minggu ke enam Atikah terkurung di kamar perempuan itu rupanya telah banyak menyadari kesalahannya. Jika begitu terus Zander tentu akan berbaik hati melepaskan Atikah dari hukumannya.

"Tetapi Meneer," Asih menyela dengan suara yang begitu hati-hati, "maaf sebelumnya Meneer, Nyai harus banyak menjemur diri di pagi hari untuk kesehatan bayinya," Asih yang sedari tadi menunduk akhirnya melirik takut-takut kepada Zander, takut majikan londonya itu akan marah besar.

Tetapi berbeda dengan perkiraannya, Zander terlihat menganggukan kepala, "baiklah, tolong beri tahu saya jika waktunya Atikah berjemur, saya akan menemaninya."


Mendengar itu Asih sontak tersenyum senang lantaran Atikah terlihat memiliki kulit yang begitu pucat karena hanya terkena cahaya matahari dari balik jendela kamar dan hal itu tak sehat untuk bayinya, "baik, Meneer."




















Atikah cukup terkejut saat Asih memberi tahu jika ia di perintahkan keluar dari kamar untuk berjemur. Atikah pikir Zander sama sekali tak akan melepaskannya hingga ia melahirkan tetapi mendengar apa yang Asih katakan Atikah merasa penuh syukur ia juga ingin menghirup udara di luar rumah dan juga bayinya tak akan sehat jika ia terus berdiam di dalam kamar.


Atikah melebarkan matanya kala terkejut melihat sosok Zander terlah berdiri di depan pintu kamarnya. Matanya telak beradu pandang dengan iris biru laut yang telah beberapa waktu tak ia lihat eksistensinya secara langsung, ada rasa takut dan rasa bersalah terhadap lelaki itu membuat Atikah segera menundukkan kepala.

"Mau berjalan ke kebun? Kau butuh cahaya matahari, kata Asih ... " Ucap Zander lembut.

"Y-ya, tentu ... " Zander lalu meraih lengan sang istri dan menggenggamnya erat. Melihat perlakuan Zander Atikah hanya menurut.



















Genggaman Zander tak terlepas, mereka berjalan menyusuri jalan berbatu di sekitar kebun yang terhampar luas. Atikah sesekali menghirup udara sedalam-dalamnya, matahari pagi begitu hangat membuat segala pegal di tubuhnya seakan terangkat begitu saja. Sementara Zander sekali dua kali melirik istrinya yang terlihat menikmati pemandangan.

"Bagaimana kandunganmu? Apa baik-baik saja?" Tanya Zander sontak membuat Atikah menoleh dan segera mengangguk.

"Meneer ... " Atikah tetiba menghentikan langkahnya dan menatap iris Zander yang terlihat begitu lembut terhadapnya, "kau sudah tak marah?" Tanya Atikah takut-takut.

Zander tersenyum lalu tangannya terulur naik hendak mengusap sisian wajah pias sang istri, "saya sangat marah untuk beberapa saat, Atikah, tetapi kau terlihat sudah menyesal dengan perbuatanmu, bukan begitu?" Tanya Zander yang entah mengapa malah membuat air mata Atikah luruh. Untuk pertama kalinya Atikah melihat dan mendengar langsung kebaikan dari Zander, sosok yang selama ini ia anggap lelaki paling kejam yang ia temui.

"Sungguh saya menyesal, kebodohan yang saya lakukan ... " Atikah mengusap kedua belah matanya dan menunduk tersedu, "kebodohan yang saya lakukan membuat saya hampir kehilangan sesuatu yang berharga."

Zander diam-diam tersenyum lalu menarik Atikah ke dalam dekapan hangatnya, "tak apa, mulai sekarang berpikirlah dengan matang sebelum bertindak, Atikah. Kau tahu kau bisa menyesal jika gegabah."

Atikah lalu mengangguk sembari terus tersedu dalam pelukan Zander, lelaki londo yang lagi-lagi menang dalam perang ego keduanya.






























Tbc ...

Uwu-uwuan dulu ygy ...








Pribumi [Jaedy]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang