00:09

123 16 0
                                    

Ibukota mulai bising, para penghuni gedung-gedung tinggi itu mulai meninggalkan tempat paling nyaman untuk berkeluh. Menuju realita yang tak akan manis tanpa usaha.

SMA 9 masih sangat sepi bel masuk sekitar 45 menit lagi. Tapi tidak melunturkan niat seorang gadis untuk berjalan menuju rooftop di lantai 4. Ia menaiki tangga demi tangan dengan perlahan. Hanya iseng saja berangkat lebih pagi dan meninggalkan sang adik.

Pintu menuju rooftop sudah tampak di depan mata. Jemari lentik itu mendorong pelan lempengan besi itu. Niat hati ingin menikmati suasa sekolah yang mulai hidup di pagi hari, yang gadis iti dapati malah kejutan paling mengejutkan.

Di dinding pojok sana, ada dua insan yang tengah bercumbu. Gadis itu mengenal jelas siapa laki-laki dan perempuan yang tengah saling memangut. Dadanya tiba-tiba sesak. Tubuhnya membeku. Dengan sisa tenanga yang ia punya, gadis itu berlari menuruni tangga dengan tergesa.

Bulir-bulir air mata menjadi saksi sehancur apa hatinya kini. Toilet bagian ujung dekat ruang guru jadi pilihan meratapi nasib. Ya, memang apa lagi yang gadis itu bisa? Berteriak marah? Tidak. Itu hanya akan semakin menghancurkan segalanya.

Masuk ke salah satu bilik, menguncinya, dan menyandarkan punggung rapuh itu ke sana. Air matanya semakin deras, isakan mulai lolos dari bibir tipisnya. Dadanya sakit, seperti puluhan anak panah baru saja menghujam bagian jantung. Hati. Hatinya mungkin hancur berkeping, Dari awal memang sudah tidak utuh, dan kini semakin remuk.

Ini bahkan bukan yang pertama, kenapa sakitnya lebih terasa? Gadis itu menari rambut panjang tergerai miliknya. Menyalurkan rasa sesak yang tidak kunjung hilang.

Tangan lain meraba bagian dada, menggenggam sesuatu di balik seragamnya yang menjadi sumber rasa sakitnya. Ia meremas benda itu. Isakan pilu kembali terdengar. Tidak peduli meski nanti ada yang datang. Ia hanya perlu menangis se kencang-kencangnya untuk sekarang.

"Dia tidak salah. Aku yang jatuh terlalu dalam. Dan terlalu mengagungkan cinta padanya."

"Cinta pandangan pertama?" Gadis itu terkekeh hambar.

"Itu hanya akan berakhir kehancuran." Gadis itu memukul dadanya yang kembali sesak.

"Cinta pertama adalah kebohongan."

"Aku benci pada diriku sendiri. Mengapa semudah itu jatuh cinta."

"Dia tidak salah. Salahku yang banyak berharap pada ikatan tanpa persetujuan ini."

Gadis itu tersedu dengan monolog yang tidak kunjung berakhir. Ia kembali menjambak surai panjangnya. Penampilannya sangat kacau. Seragam yang kusut, rambut acak-acakan, jangan lupakan wajah sembah karena menangis.

"Tenang, hiks. Kamu harus tenang, Hira." Gadis itu, Hira. Berusaha mengatur nafasnya agar kembali tenang.

Flashback on

Hira. Gadis bertubuh mungil itu tengah menagis tertahan di lorong sepi kelasnya. Ia baru saja dibentak pembina kelas karena salah dalam mengerjakan tugas MOS. Belum lagi kakak kelas itu melakukannya di depan banyak orang.

Gadis itu terus menunduk. Hingga tidak sadar ada laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya. Laki-laki dengan hoodie berwarna hitam itu memandang si gadis intens.

Laki-laki jangkung itu menarik bagian lengan hoodienya agar menutupi telapak tangan. Sedikit merunduk karena perbedaan tinggi badan. Membawa tangan berbalut hoodie itu untuk mengusap kepala gadis yang terus saja menunduk itu.

"Gapapa kok kalo mau nangis. Tapi jangan banyak-banyak." Tutur laki-laki itu, mengambil perhatian si gadis.

Ia menyodorkan sebuah sapu tangan. Bukannya menerima gadis itu malah dibuat terdiam dengan laki-laki yang tidak ia kenal itu. Membuat laki-laki itu langsung mengusap air matanya dengan sapu tangan.

Hira, gadis itu tersadar. Ia sedikit menyunggingkan senyum manis. Meski masih merasa sakit hati karena dibentak tadi.

"Kalo mau nangis. Kamu tarik nafas dalam, buang perlahan, dan tersenyumlah meski terpaksa. Itu bisa buat suasana hatimu membaik." Tutur laki-laki itu lagi.

"Kak Tara!" Terikan laki-laki lain membuyarkan keheningan yang tercipta di antara keduanya.

"Aku duluan. Jangan menangis lagi." Pamit laki-laki itu.

Hira menatap sepasang punggung kokoh yang mulai menhilang dari jangkauan matanya. Ia melakukan apa yang dikatakan laki-laki yang dipanggil 'Kak Tara' itu. Benar. Suasana hatinya membaik.

Flashback off

Kepingan memori tentang pertemuan pertamanya bersama Tara mencuat. Ia kembali melakukan apa yang dikatakan Tara. Menarik nafas, membuangnya, lalu tersenyum.

"Kak Hira? Kakak di dalem?" Suara dari Niskala, adiknya membuyarkan lamunan.

Dengan cepat keluar dari bilik dan menemukan sang adik yang merentangkan tangannya lebar. Dengan air mata yang kembali meluncur deras, ia menubruk tubuh kokoh Niskala.

"Kala-"

"Aku tau. Jangan menangis, ok?" Potong Kala.

Kala melihat sang kakak turun tergesa dari tangga menuju rooftop, karena penasaran ia sedikit menintip dan ia melihat apa yang Hira lihat. Hanya saja, Kala melihat saat dua orang itu sedang saling memeluk.

"Perlu kuberi pelajaran?" Tanya Kala, lengannya sibuk mengusap punggung mungil itu memberi ketenangan.

"Aku menyayanginya." Gumam gadis itu.

"Laki-laki brengsek sepertinya tidak pantas untuk mendapatkanmu." Murka Kala.

"Jangan menyakitinya. Bagaimanapun, dia.." Ucapannya terpotong.

"Pada dasarnya, dia milikmu."

Hira semakin erat memeluk tubuh nyaman adiknya. Ia mulai merasa tenang. Ucapan Kala tidak salah. Pada dasarnya laki-laki yang tadi tengah bercumu adalah miliknya. Walau laki-laki iti enggan menganggap ikatan ini.

Kala menjauhkan wajah kakaknya. Menelisik setiap inci penampilan kacau di hadapannya.

"Aduh.. Kamu harus make up lagi, cin. Sini biar ekeu dandanin." Tutur Kala dengan gaya layaknya abang-abang di salon.

Hira kembali tertawa. Suasana hatinya membaik berkat sang adik. Ia membiarkan Kala menghapus jejak air matanya menggunakan tissu, memakaikan bedak tipis, lalu mengaplikasikan lipbam ke bibir pucatnya. Terakhir, Kala menyisir rambut lurusnya.

Hira baru tahu Kala menyimpan banyak barang-barang seperti itu. Tapi ia tidak peduli. Hatinya menghangat ketika bibir semi tebal sang adik mengecup dahinya lembut.

"Jangan menangis karena si brengsek itu lagi." Titah Kala.

"Dia punya nama, Kala." Sergah Hira.

"Terserah. Aku tidak sudi, bahkan hanya untuk menyebut namanya." Kala menarik pergelangan tangan sang kakak untuk keluar dari toilet, dan bergegas menuju kelas.

Sementara di sisi lain, ketika laki-laki itu baru saja menjauhkan wajahnya dan melepas tautan bibir dengan sang kekasih. Ia langsung dihadiahi pukulan di bahu. Wajah si gadis benar-benar merah hingga ke telinga karena malu.

"Ini masih sekolah." Kesalnya.

"Maaf. Lagi pula kamu terlihat berkali-kali lipat lebih cantik hari ini." Goda laki-laki yang merupakan kekasihnya itu.

"Tetap saja, kalau ada yang lihat bagaimana?"

Laki-laki bersurai hitam kecokelatan itu menarik pinggang ramping sang kekasih. Mendekapnya, lalu menghirup dalam-dalam aroma alami dari tubuh kekasihnya.

"Ya.. Mungkin sudah saatnya untuk hubungan kita go publik." Sahutnya kelewat enteng.

"Dari awal yang gak mau publik kan kamu." Tuding si gadis surai gelombang.

"Jadi kamu emang maunya kita publik?" Goda si laki-laki itu, menaikan sebelah alisnya.

"Tidak. Aku tidak akan nyaman." Gadis itu menyandarkan kepalanya pada bahu sang kekasih.

_ _ _

Konflik-konflik.

Gimana puasanya? Semangat!

Papai..

DEMURE | Lee Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang