00:12

121 14 0
                                    

Di ruang tamu itu sangat ramai, sebenarnya yang membuat hangat adalah para pekerja. Ada mama, papa Hira. Sepasang suami istri dan anak laki-laki mereka yang usianya satu tahun di atas Hira. Senyum sumringah itu lenyap begitu saja, ketika manik jernihnya bersitatap dengan laki-laki yang membawa kue di hadapannya.

Dadanya sesak, matanya memanas siap meluncurkan cairan bening yang menumpuk kapan saja. Hira menggigit bibir bawah guna menahan air mata, namun gagal. Air matanya lolos dan semakin deras. Isakkan mulai memenuhi ruangan itu.

Si laki-laki jangkung itu mendekat setelah menyerahkan kue yang ia pengang pada sang bunda untuk merengkuh tubuh mungil gadis yang tengah menangis dan kini meremat kemeja putih yang ia kenakan.

"Hei, sayang. Kenapa malah menangis?" Tanya laki-laki itu mendayu.

Suara itu, senyum hangat itu, membuat hati kecilnya semakin nyeri. Ia ingin menangis lebih kencang dari sekarang. Kemeja putih milik laki-laki itu kusut akibat kuatnya Hira meremat, menyalurkan rasa sesak dari dalam relung.

"Aku memang menginginkan hal seperti ini. Tapi kepalsuanmu, menyakitiku." Batinnya.

Ingatan tentang beberapa jam lalu, ketika tengah menunggu salah satu bodyguard para Nirwana untuk melakukan transaksi setelah acara makan-makan usai. Di dekat pintu masuk, dua orang masuk dengan wajah kentara syok. Ah, tidak juga, si laki-laki lebih terlihat datar. Tiga kembar yang tidak tahu apa-apa mulai mengolok ke arah sejoli yang selama ini digempur gosip hangat. Sedangkan Niskala tengah ditenangkan sang kakak agar tidak melayangkan pukulan ke wajah tampan si laki-laki yang memasang tampang tak berdosa.

Kembali ke tatapan heran dari para orang tua. Kenapa dengan gadis yang tangah berulang tahun ini? Niskala yang sudah tidak tahan, dengan segera menarik sang kakak ke dekapannya. Mengelus surai lurus itu penuh kehangatan.

"Hira, kenapa nangis?" Tanya sang mama.

"Mama mau tahu?" Pertanyaan Niskala mengundang anggukan dari semua orang di ruangan itu.

"Tadi dia--" Katanya, menunjuk si laki-laki jangkung dengan menggunakan dagu.

"Habis kerjain kakak. Pura-pura pacaran sama temennya kakak. Jadi sekarang kak Hira nangis, kerena ngerasa dibohongin." Terang Kala, yang tentu saja tidak benar.

Si laki-laki jangkung mengulas senyum remeh setelah mendengar penuturan dari adik gadis yang mulai tenang di rengkuhan laki-laki pemilik manik mirip puma itu.

"Apa itu benar, nak?" Tanya ibu dari si laki-laki jangkung.

"Dasar anak muda."

"Lain kali jangan seperti itu, sayang. Kasihan Hira." Sang ibu menggeleng-geleng kepala. Menganggap semua ini hanga lelucon.

"Kamu harus perlakuan gadis manis ini dengan baik, ok."

"Jaga tunanganmu, Demure."

Demure. Laki-laki jangkung itu kembali merengkuh tubuh mungil gadis yang berstatus sebagai tunangannya. Mendekatkan bilah bibir tipisnya ke telingan Hira.

"Jangan menangis. Selamat ulang tahun yang ke 17. Besok, tepat satu tahun kita bertunangan. Tepat satu tahun juga, kehadiranmu menghancurkan kehidupanku, sayang." Bisiknya pelan. Hanya mampu didengar oleh Hira.

* * * *

Meja makan.

Kehangatan menguar dari ruangan penuh hidangan mewah itu. Keluarga Evanescent dan keluarga Mellifluous, sebut ini jamuan untuk pertemuan antara dua keluarga yang sudah menjalin hubungan karena putra putri mereka resmi bertunangan sejak satu tahun lalu. Ah, tepatnya besok.

Di kursi paling ujung, ada Tuan  Evanescent selaku Tuan besar. Di sebelah kanan ada sang istri Vanessa, lalu anak-anaknya Hira dan Kala. Di sebelah kiri terdapat tamu kehormatan Emmamure Mellifluous dan sang istri Derena Mellifluous, lalu putra satu-satunya mereka Demure.

Suasana makan malam kali ini sangat ramai dengan obrolan para orang tua. Tentu membicarakan mengenai rencana kedepannya untuk pasangan muda di antar mereka, Demure dan Hira.

Demure yang sudah lelah karena tadi jalan-jalan dengan sang kekasih, Arunika, lalu diminta cepat-cepat datang ke rumah tunangannya, Hira. Kini hanya mengaduk-aduk makan dipiring miliknya tanpa selera. Ia kembali tidak nafsu makan. Sekarang malah merasa mual dan ingin memuntahkan isi perut, padahal dari pagi ia tidak makan. Ya. Saat bertemu dengan Hira di restoran tadi sore, ia tidak jadi makan.

Karena merasa sudah tidak tahan, ia meminta izin untuk menggunakan toilet. Cukup lama ia berusaha memuntahkan isi perut kosongnya. Demure sudah tidak terkejut dengan darah yang malah keluar dari mulutnya.

Dengan segera berkumur, membasuh wajah tampan yang memucat, lagi. Menetralkan deru nafas yang memberat, sebelah lengannya mencengkam erat bagian pinggang. Setelah dirasa agak baikan, ia melangkah keluar dari ruangan lembab itu. Dan kembali bergabung dengan keluarganya.

"Sayang, nak. Kenapa wajahmu pucat sekali?" Tanya sang bunda, Derena.

Demure hanya menggeleng, sebelah lengannya dibawa untuk kembali mencengkam bagian pinggang yang terasa semakin sakit dari sebelumnya. Ia menunduk menetralkan nafas.

Gelagat sang putra membuat Derena semakin khawatir. Ia mencoba mengelus punggung tegap yang kini tampak layu. Mata yang terpejam, membuat nyonya Mellifluous itu makin panik. Menyuruh sopir untuk segera bersiap ke rumah sakit. Emmamure juga sudah berpindah guna melihat kondisi putra tunggalnya.

"Gapapa, bun. Dem, mau pulang aja. Mungkin kecapean." Tolak laki-laki yang masih merintih itu.

"Tapi kamu pucet banget, sayang." Khawatir sang bunda.

"Kita ke rumah sakit, ya." Bujuk sang ayah, memberi usapan halus pada surainya.

Demure kembali menggeleng. Sempat terjadi perdebatan antara orang tua dan anak itu. Namun mereka berhenti dan memutuskan membawa Demure pulang, atas penolakan tegas untuk ke rumah sakit. Keluarga Evanescent hanya menyetujui keputusan calon besannya.

Hira, gadis itu sedari tadi hanya diam memperhatikan sang tunangan. Ada rasa khawatir yang muncul melihat Demure terus menerus memejam mata dan menghela nafas berat. Pasti ada yang disembunyikan oleh laki-laki yang ia cintai itu.

Di perjalanan pulang, Demure hanya diam sembari memejamkan mata indahnya. Mengatur nafasnya agar kembali teratur. Menetralisir rasa sakit itu. Satu kalimat yang tergumam lirih dari bilah bibir pucat itu jadi yang terakhir terucap sebelum ia jatuh tertidur.

"Aku butuh kamu, Ay."

_ _ _

Selamat menikmati hadiah ulang tahun Hira, bestie.

Telat ya? L baru pulang ngabuburit ^o^

Gimana puasanya?

Papai..

DEMURE | Lee Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang