00:14

110 15 0
                                    

"Hiks.."

Hira, gadis itu memilih menyembunyikan wajahnya dilipatan tangan di atas meja sebuah caffe saat ini. Sedari tiga jam lalu mencoba menghubungi sang tunangan. Mereka akan makan malam bersama sesuai dengan janji yang dibuat Demure.

"Besok malam pukul 19:30 di caffe dekat pasar malam. Aku janji. Tapi hari ini enggak bisa, aku bersama Arunika."

Ucapan Demure kembali berputar bak kaset rusak. Janji? 19:30? Ini bahkan sudah pukul 23:00. Hira menangis dalam diam, berusaha membekap mulut agar tidak mengeluarkan isakkan. Hatinya sakit, ia malu karena beberapa kali dimarahi pelayan yang mengadu banyak pengunjung sedangkan meja penuh, belum lagi Hira yang hanya diam tanpa memesan makanan.

Hira baru beranjak dari caffe tersebut tepat tengah malam. Dengan air mata yang tidak lagi terbendung. Ia menangis tersedu-sedu dari meja tampatnya duduk menuju pintu keluar, keadaan caffe sudah gelap karena tutup. Hira melempar kantong keresek berisi makanan dingin yang ia pesan beberapa menit lalu karena paksaan agar tidak diusir.

Belum sempat berjalan menyurusi trotoar, sosok laki-laki yang ia tunggu juga tengah mematung di seberang jalan dengan jaket kulit berwarna hitam dan celana jeans hitam. Hira mengusap air matanya kasar, berlari sekencang mungkin.

Laki-laki itu, Demure. Segera menyebrang jalan dan berlari mengejar tunangannya. Ia merutuki diri sendiri karena sudah memberi janji yang membuat gadis itu menunggu sampai larut.

"Ay. Maafin aku. Aku tahu aku salah. Aku telat."

"Ini bukan terlambat, Dem. Kamu janji datang jam 8 malam, bukan 8 pagi kayak gini. Aku marah."

Sekelebat bayangan ketika ia melanggar janji pada sang mantan kekasih mencuat. Demure segera menggeleng, bukan saat yang tepat untuk kilas balik. Karena sekarang ia bisa lihat Hira tengah menyebrang tanpa melihat kiri kanan.

Grep

Tepat waktu. Sebuah mobil melaju kencang, namun syukurlah Demure berhasil membawa sosok mungil itu kedekapannya. Meski sekarang ia harus rela dadanya dipukul dengan brutal oleh sosok yang minta dilepaskan ini.

"Dengerin dulu, Hira." Katanya pelan.

"Gak mau. Hira mau pulang." Teriak Hira. Masih dengan usahanya melepaskan diri dari dekapan sosok jangkung itu. Walaupun ia sadar, tenaganya bukan apa-apa.

"Sama aku." Pinta Demure, mempererat pelukannya, karena pukulan Hira mulai melemah.

"Gak mau, hiks. Mau sendiri."

"Maafin aku. Aku tahu aku salah. Tapi kamu harus pulang sama aku, ok?" Demure masih berusaha untuk membujuk.

"Hiks.. Hira cape." Demure diam untuk mendengarkan.

"Harusnya gak usah janji. Hira gak maksa kok. Hira tau kalo kok, hiks, Hira kan gak penting buat Demu. Tapi Hira malu, tadi dimarahin pelayan, hiks, terus diusir barusan."

"Demu kemana aja?" Tanyanya pelan setelah mengeluarkan uneg-uneg tadi.

"A-Ak-Aku.." Ucapan terbatanya terpotong.

"Sama Aru, ya? Ini kan malam minggu. Maaf Hira ganggu." Potong Hira sembari menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya di dada bidang laki-laki jangkung yang merupakan tunangannya.

"Lupain, ya. Maafin aku. Sekarang pulang, besok hari minggu. Ke rumahku saja, ya." Ajak Demure, mengelus pelan surai panjang itu penuh penyesalan.

"Ke gereja sama Demu, mau?" Laki-laki itu mengulas senyum saat mendapatkan anggukan.

* * * *

Demure baru saja keluar dari kamar mandi selepas mandi. Ini baru pukul 05:00 pagi, tapi ia memutuskan untuk mandi karena terbangun dari tidurnya yang kurang nyaman. Ia semalam tidur di sofa di depan ranjangnya, sebenarnya sofa itu cukup panjang, hanya saja tinggi badannya tidak cocok.

Ia memandangi wajah tenang seorang gadis yang semalam ia buat menunggu selama hampir 5 jam. Hira, sesampainya di rumah sang tunangan, gadis bermata bulat itu segera menjatuhkan diri di ranjang Demure.

Puas memandangi Hira, laki-laki jangkung itu memilih untuk bersiap. Pukul tujuh nanti mereka akan berangkat ke gereja, sudah memberi tahu orang tua tuangannya juga. Sedang orang tuanya sendiri sedang di Semarang untuk sebuah kepentingan.

Selesai dengan acara bersiap, ia berjalan perlahan menuju ranjang. Menoel pipi si gadis yang memang semakin gembil. Mengelus rambutnya, bodoh memang. Hal itu justru membuat Hira tambah nyenyak.

Karena melihat Hira yang malah tambah nyaman. Telapak tangan lebar itu digunakan untuk menghimpit wajah bulat tunangannya. Memencet pipi mulus itu, menyebabkan bibir mungil pink alami milik si gadis monyong seperti ikan.

Demure menatap lekat bilah bibir itu dengan pikiran yang melayang jauh. Ia segera menggeleng, ketika otaknya merancang skenario buruk.

"Wanita itu, hanya mau berciuman dengan laki-laki yang mencintainya. Bukan hanya yang dia cintai, Dem."

"kok kamu tahu, Ay?"

"Teman-temanku bilang begitu. Dan aku rasa, prinsipku juga seperti itu."

"Berarti aku boleh menciummu?"

"Kenapa?"

"Akukan cinta kamu."

"Tentu."

_ _ _

Cetak miring + tebel itu omongan mantannya Demu, yang muncul di otak Demu, ya.

Demure ini mungkin gak bakal L bikin jadi cowok kejam gitu. Cuma emang gamon sama plin plan bikin bingung aja.
L lupa ^o^

Xixixi. Gimana puasanya?

Papai..

DEMURE | Lee Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang