00:39

110 14 5
                                    

-- 19:39

Nayanika Nirmala. Gadis itu duduk termenung di pinggir ranjangnya. Memandang kosong gaun berwarna baby blue selutut yang ia kenakan. Pikirannya melayang ke mana-mana.

"Setelah resmi bercerai ayah akan pergi ke Ausie. Kamu bisa ikut dengan ayah, Lea."

"Tidak. Tidak. Apa-apan kamu?! Lea akan ikut denganku ke Prancis. Tinggalah bersama Naya."

Naya menyeka air matanya yang entah sejak kapan mengalir membasahi pipi. Dadanya sesak mengingat percakapan kedua orang tuanya satu bulan lalu.

"Kenapa kalian bisa memilih? Aku bahkan tidak bisa menuntun hatiku ingin tinggal dengan ayah atau bunda. Tetapi kalian dengan enteng memilih kakak dan saling menyerahkan aku. Apa kalian pikir aku tidak sakit hati?"

Isak tangis mulai terdengar di kamar dengan warna-warna pastel itu. Perceraian orang tua bukan hal yang ia ingin rasakan. Belum lagi rasa sesak saat ayah dan bundanya sama-sama merebutkan Lea, kakaknya. Tidak ada yang mencoba untuk menganggap ia. Tidak ada yang menginginkan dia.

"Bibi menemukan non Lea terbaring di tempat tidur. Bibi kira non Lea tengah istirahat, tetapi ternyata non Lea tidak lagi bernafas. Non Lea meninggal. Non Naya yang sabar, ya."

Naya menutup wajah sembabnya. Mengingat bagaimana ia tahu sang kakak meninggal dunia. Ditemukan terbaring tak bernyawa di kamarnya sendiri. Mengingat wajah pucat itu, Naya semakin menangis.

Orang tuanya bercerai, bundanya ke Prancis, ayahnya ke Ausie, dia dan kakaknya tetap di Jakarta. Tetapi dua minggu lalu, kakaknya pergi untuk selamanya. Meninggal ia sendiri.

Berat. Naya sangat terpukul dengan rentetan kejadian menyedihkan yang terus menghampiri ia. Rasanya sudah tak sanggup.

Suara mesin mobil mengalihkan perhatiannya. Naya yakin itu sang ayah. Bergerak cepat menghapus jejak air mata. Mencoba terlihat baik-baik saja guna menyambut sang ayah yang baru kembali berkunjung setelah dua minggu lalu.

Brakk!

Brakk!

Suara pintu kamar yang dibuka dan ditutup dengan kasar membuat Naya terperanjat. Ia memandang khawatir sang ayah yang tampak mabuk. Memberikan diri mendekat untuk membantu. Namun yang ia dapatkan malah tarikan kasar pada pinggangnya.

Naya panik saat sang ayah mulai menyerang bibirnya dengan brutal. Kedua telapak tangannya dengan keras memukul dada sang ayah. Menghentikan hal tidak seharusnya antara ayah dan anak.

Tetapi bukannya berhenti. Jatnika sang ayah malah mendorong dan mengukung tubuhnya di atas ranjang. Membuat Naya semakin takut. Dengan sekuat tenaga mendorong, tetapi sebuah tamparan malah ia dapatkan.

Tuan Jatnika menutup akses Naya untuk kabur. Tangan diikat di atas kelapa, tubuh bagian bawah diduduki oleh tubuh beratnya. Ia mendekat kembali, menatap putrinya penuh nafsu.

"A-Apa yang ingin ayah lakukan?!" Tanya Naya dengan suara tinggi dan bergetar.

"Sama seperti aya yang saya lakukan terhadap Lea."

-- 21:39

Naya meraih ponselnya dengan tangan dan tubuh yang terus bergetar. Penampilannya amat kacau. Rambut kusut, mata bengkak, bekas air mata di pipi, bibir bengkak, leher penuh tanda menjijikan dari sang ay- apa masih pantas disebut ayah?

Badannya terasa remuk. Dengan sisa kekuatan yang ia punya, Naya memindal salah satu nomor milik seseorang yang ia percaya bisa membantunya.

Pikirannya masih berkecamuk dengan apa yang baru saja terjadi. Apa yang ayahnya lakukan pada dirinya tidaklah benar. Belum lagi, sang ayah bilang, ia melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Lea, kakaknya.

Naya memandang miris kondisi ranjang yang baru saja dipakai kegiatan tidak senonoh. Gadis itu kembali menangis mengingat kejadian tadi. Ia takut. Meski sang ayah telah pergi lagi 10 yang lalu.
Panggilan telepon kepada Tara tersambung. Dengan suara parau dan lirih, Naya berucap.

"Tara.. Tolong.. "

* * * *

Tara memasuki rumah Naya. Sepi. Karena panik ia bahkan tak sempat mengucap salam. Dia pergi bersama 7 bodyguard dan 1 sopir. Meminta mereka untuk ikut masuk dan mencari Naya.

Firasatnya mengatakan, gadis yang dicari ada di kamar. Ternyata benar. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat betapa kacaunya ranjang yang diduduki Naya kini.

Tara berusaha menghilangkan pikiran negatif. Untuk saat ini mengecek kondisi Naya adalah yang terpenting. Samar-samar terdengar suara tangisan. Tara semakin mendekat.

"Nay.."

Bruk

Tara berkedip cepar beberapa kali. Memproses apa yang kini ia lakukan. Tunggu.. Naya memeluknya? Ini tidak benar. Saar hendak melepaskan pelukan itu, tangisan perih dan pelukan itu semakin kencang. Membuat Tara tidak tega sekaligus bingung.

Dengan ragu, Tara mengusap punggung gadis yang bergetar dalam dekapannya ini. Manik tajam bak elang itu menelisik setiap sudut kamar. Ranjang yang berantakan, jas dan dasi bercecer di lantai, entah milik siapa.

Tara membalas pelukan Naya. Memberikan kehangatan dan rasa nyama serta aman. Ia sedikitnya mengerti apa yang baru saja dialami Naya. Meski ia masih menerka siapa yang melakukannya.

"Nay.. Bersih-bersih, ya? Aku beresin ini. Nanti kita ke rumahku." Titah Tara sangat halus.

Sesampainya di kediaman keluarga Nirwana. Semua orang langsung panik. Bunda Anna amat khawatir melihat kondisi Naya. Walau sudah bersih-bersih dan ganti pakaian, wajah pucat dan bibir bengkak itu masib terlihat.

Bunda Anna dan Ayah Irfani sudah tahu mengenai ini sebelum keduanya datang. Tara sempat mengirim pesan tentang kondisi kesayangan mereka. Meski apa yang dikatakan Tara masih 'dugaan'. Mereka tetap saja khawatir.

Naya kini berbaring di ranjang kamar tamu. 15 menit berbaring, Naya masihlah enggan melepas pelukannya kepada Tara. Rasanya aman, dan jika tidak ada Tara, gadis itu sangat ketakutan.

Bunda Anna beberapa kali mencoba mengajak gadis itu berbincang. Namun tidak direspon sama sekali. Ayah, Bunda, Tara, Gala, Gara ada di kamar yang ditempati Naya. Hanya si bungsu kembar yang tidak ada karena sudah tidur.

"Sayang.. Kamu sudah makan, nak?" Tanya Anna, tetapi sama, tidak direspon.

"Kamu tidur saja, Naya. Kamu aman di sini." Tutur Irfani.

"Nay.. Lepas dulu pelukannya. Kamu aman kok di sini." Bujuk Tara.

Naya melepaskan pelukannya. Mengubah posisi jadi meringkuk ke samping lalu mulai memejamkan mata. Mencoba menyingkirkan bayangan kejadian buruk tadi. Air matanya kembali turun. Ia takut.

Hal itu disadari oleh Anna. Satu-satunya wanita di sana mengganti posisi Tara. Mengelus kepala dan punggung gadis rapuh itu. Membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki makna ketenangan.

Hari terus berlalu. Naya masih sering kedapatan melamun menangis dan menyakiti dirinya sendiri. Hal itu membuat keluarga Nirwana khawatir. Bahkan si bungsu, Jura juga selalu ikut andil dalam menenangkan kakak Yaya tersayangnya. Jura akan memeluk Naya ketika gadis iti tidak berhenti menangis.

Hira, Ziya, Arunika, Niskala dam Demure sering datang sehabis pulang sekolah untuk menjenguk. Mencoba mengajak ngobrol, memberi guyonan meski tidak direapon dengan baik. Naya lebih sering diam, padahal biasanya dia adalah yang paling aktif bicara.

Tapi kata dokter, ini hal wajar. Naya butuh waktu. Setidaknya jangan berhenti memberikan Naya atensi agar ia tidak merasa sendiri.

Sampai di hari ke-10 setelah kejadian. Naya akhirnya buka suara setelah sebelumnya hanya terus mengangguk, menggeleng, dan terdiam. Satu kalimat yang mengatakan semuanya. Luka besar yang akan sangat sulit sembuhnya.

"Aku diperkosa ayah."

_ _ _

Hallo-hallo!!!

Kangen Demu gak? Udah satu bulan lebih, ya..

Maaf banget, L baru sempet up book ini lagi :(

Maaf juga buat Naya..

Papai..

DEMURE | Lee Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang