00:37

86 11 0
                                    

-- Puncak Bogor. 14 Februari.
16:37

Sepasang tunangan tengah berada di dapur. Si gadis sibuk memasak makan malam, sedangkan si laki-laki sibuk memeluk pinggang tunangannya dari belakang. Sesekali mendusal pada punggung dan celuk leher si gadis.

"Ayya itu.. Ziya?"

Gadis itu, Hira. Akhirnya buka suara setelah selama setengah jam dilanda keheningan. Entah kenapa yang keluar dari bilah bibirnya malah tofik itu.

"Iya. Bagaimana kamu tahu?"

Bohong jika Hira tidak terkejut. Awalnya ini hanya menduga dari apa yang ia lihat belakangan ini dari kedua orang itu. Cara mereka saling memandang, interaksi kecil yang menimbulkan praduga. Ternyata tebakkannya benar.

"Caramu menatapnya sangat kentara, Dem." Ungkap Hira, jujur.

Demure hanya bergumam acuh. Apa peduli ia jika Hira tahu? Bukankah itu bagus. Memang ini tujuannya. Meskupun, Ayya atau Ziya menolak keras orang lain tahu tentang gadis itu. Ingatannya kembali pada saat ia dan Ayya di rooptof sekolah.

"Aku masih mencintaimu. Tapi aku takut ada lebih banyak orang terlalu, jika kita kembali bersama."

Keinginan Denure itu seperti sebuah keharusan. Sebesar apapun penolakan yang diberikan Ayya. Pada akhirnya, gadis itu kembali menjadi kekasihnya.

"Hanya jika kau menang dipertandingkan besok, Dem."

Demure manarik sudut bibirnya. Pertandingan yang dimaksud adalah pertandingan basket waktu itu. 11 IPS 1 menang, dan Demure sangat menonjol sebagai pencetak poin paling banyak.

"Gue mau keluar nanti." Entah disebut izin atau sekedar memberi tahu. Tetapi Demure memilih acuh dan menyuap potongan apel yang baru saja di masukkan ke wadah.

"Kemana?" Tanya Hira, tubuh mungilnya di putar untuk menghadap sang tunangan.

"Malam valentine-an sama Ayya. Lo gak masalah, kan?"

Ditelisik raut wajah Hira yang tak terbaca. Gadis itu tengah merenung. Ingin melarang dan mengadu bahwa ia takut sendirian di villa besar ini. Tapi tidak tega menghilangkan wajah berseri dari tunangannya.

Dengan berat hati ia mengangguk. Lihatlah pahatan sempurna karya Tuhan itu kini semakin tersenyum. Demure memeluk sang tunangan erat, kelewat bahagia.

"Tapi.. Di mana? Kamu gak mungkin balik ke Jakarta?" Wajah bingung Hira malah ditertawakan oleh Demure.

"Kamu inget villa di bawah, sebelum ke villa ini?" Demure balik bertanya dengan wajah menyebalkan.

"Ayya ada di sana."

Wajah Hira berubah pucat. Jadi Demure memaksa ia ke puncak adalah sebagai alasan laki-laki ini untuk bertemu Ayya? Sial. Dia terlalu tinggi ketika berekfektasi. Lamunannya buyar saat laki-laki di hadapannya sengaja meniup wajah bulatnya.

"Muka lo kenapa?"

"Gue baru pergi nanti abis makan malem kok. Masakan lo gak akan kebuang."

Hira menggeleng kepala. Sedangkan Demure hanya tertawa mengejek. Laki-laki itu tidak bodoh. Ia jelas paham arti dari raut kecewa Hira. Pasti gadis ini merasa hanya jadi tameng dari keinginannya.

"Besok pagi orang tua kita bakal kesini. Karena gue mau nginep di villa Ayya sesuai rencana sebelum berangkat. Kalo gue belum pulang setelah mereka datang, bilang aja gue lari pagi keliling villa." Jelas Demure, enteng.

Setelah makan malam, Hira benar-benar ditinggalkan sendiri di villa besar itu. Yang bisa gadis itu lakukan hanya mengunci seluruh pintu dan jendela, lalu mengurung diri di kamar luas yang lampunya sengaja dinyalakan.

DEMURE | Lee Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang