EPILOG

333 15 4
                                    

Tidak pernah terpikir bahwa semua akan berakhir seperti ini. Perasaan kosong itu terus datang disaat ramai sekalipun. Apa yang dia pikirkan sampai mengambil keputusan sebegitu gila seperti ini?

Satu tahun setelah kecelakaan yang merenggut satu nyawa itu, keputusan dari si gadis atas pertanyaan si lelaki mengejutkan semua pihak, termasuk sipenanya itu sendiri.

"Hira, aku tidak akan memaksa. Aku sangat tahu kesalahanku. Tapi, jika masih diberi kesempatan, bisakah aku meminta agar hubungan ini dilanjutkan. Bukan atas dasar perjodohan, tetapi perasaan kita sendiri."

"Ya, aku mau melanjutkan hubungan ini, Demure."

Bahkan jawaban seyakin itu tetap tidak membuat si lelaki percaya diri bahwa ia masihlah pantas untuk hubungan ini. Disaat si gadis coba benahi apa yang dulu sempat berantakan, si lelaki terus dihantui perasaan tidak pantas atas si gadis.

Hingga suatu waktu, si gadis dapatkan kabar bahwa lelaki itu ingin pergi sementara untuk tenangkan diri. Entah kemana, tapi dibiarkan saja. Mungkin, memang itu yang diperlu.

Satu nomor dengan nama tidak asing datang.

"Hira, ini Naya. Aku, Ibu, dan seluruh keluarga Nirwana pergi ke Amerika. Keadaan Jura kacau, Dokter bilang, jika tidak secepat dapat jantung pengganti, entah apa yang akan terjadi. Doakan kami."

Doa tidak pernah putus dipanjatkan untuk si bocah mungil kesukaannya. Semoga malaikat baik yang sering dibicarakan benar adanya. Tidak berselang lama, nomor dengan nama yang sama kembali datang.

"Hira, Alhamdulillah. Jura bisa bertahan. Malaikat baik itu datang tepat waktu. Transplantasi jantung itu berhasil, Jura bisa sembuh. Pemulihannya mungkin akan lama, tapi semua baik sekarang."

"Tapi Hira, maaf. Aku sungguh tidak tahu, aku baru tahu tadi pagi bahwa pendonor itu..

Demure."

Entah reaksi seperti apa yang harus diberikan. Kenapa lelaki itu mengambil keputusan ini? Hubungan mereka baru akan dimulai, lagi.

Berdiri di pemakaman tidak pernah terasa sebingung ini. Menangisi kepergian lelaki itu, atau merasa senang dan bangga atas yang telah dilakukannya. Satu yang pasti, air matanya luruh setiap membaca nisan yang tertulis.

Selembar kertas tidak pernah terasa semenusuk ini, harusnya.

Assalamualaikum..

Maaf apabila ini terkesan merepotkan.

Tapi aku ingin minta tolong, untuk memakamkan aku sesuai syariat Islam. Tiga hari sebelumnya, aku telah mengucap syahadat. Aku sudah bertaubat, aku sudah salat.

Terima kasih.

Semoga sehat selalu, dan semoga Jura senang dengan hadiah kecil dari Om Demu-nya.

Ponsel lelaki itu ditangannya sekarang. Dibuka lagi ponsel itu hingga menunjukan lookscreen dengan bertuliskan, 'Hira, baca bagian note-nya'.

Hai?

Kamu Hira?

Jangan marah atas kabar yang kamu dengar. Jantung ini memang lebih pantas hidup pada si mungil kita. Bukan semata bosan hidup, tapi cepat atau lambat, aku juga akan mati.

Sebelum aku benar-benar kalah dari kegagalan ginjal sialan ini, aku harus lebih dulu memang dan menyerahkan jantung yang sedikit lebih sehat ini.

Semoga selalu bahagia dengan hidupmu, Hira.

Jika kamu bertemu Ayya, katakan aku minta maaf dan katakan aku ikhlas atas dia. Semoga dia bahagia.

Jika kamu bertemu Arunika, katakan aku minta maaf dan berterima kasih. Katakan juga untuk terus bahagia.

Tidak banyak yang dilakukan sejauh ini. Cukup berusaha menghubungi dua wanita yang namanya tercantum dipesan terakhir itu. Semoga bahagia katanya.

* * * *

Batu nisan yang menanda pemisah alam, tetapi tidak jadi pemisah keyakinan dipandangi. Tengan mungil menyentuh tepat pada bagian nama lelaki itu yang terukir cantik dibawah kaligrafi.

"Pa-pa.. Papa.."

"Iya sayang, ini Papa. Senang bertemu, hm?"

Gadis itu tidak menangis. Entah. Diraihnya lengan mungil yang terus menyentuh nisan sosok yang dipanggil "Papa" tadi.

"Yaafi Razan Sabah, namanya. Bagus, kan?"

Seseorang memanggil dari belakang. Gadis itu bangkit, si bocah berusia satu tahun itu sudah digendong oleh pria yang tadi memanggil. Ketiganya akan segera pergi. Tetapi si gadis berbalik sembari tersenyum.

"Dia putramu secara biologis, Demure."

Pria tadi memutar bola mata malas. Menggandeng lengan kurus sang istri. Menyeretnya dengan lembut, senyum masam ditunjukkan.

"Kita harus segera pulang, Arunika Lazuardi."

* * * *

"Aku pergi dulu, Demure."

"Ziya, cepat. Lihat, Jura semakin merajuk." Gadis itu mempercepat langkah. Ia berbalik sebentar.

"Selamat jalan, Demure Ethereal Mellifluous."

27.01.2023
Perjalanan, resmi berakhir.
Selamat Tinggal.

_ _ _ _

Ya, selamat tinggal.

Semoga bab ini menjawab apa yang menjadi tanya di bab Ending sebelumnya.

Aku tidak ingin kalian menunggu lebih lama lagi. Di tengah kesibukan yang aku jalani kini, rasanya tidak memungkinkan menulis perjalanan mereka lebih jauh.

Semoga kita semua bahagia.

Semoga ini tidak buat kecewa.

Semoga kita bisa secepatnya bertemu dalam Universe yang sama dengan tokoh utama yang berbeda.

Mari bersama katakan,

"Selamat jalan, Demure Ethereal Mellifluous."

DEMURE | Lee Heeseung [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang