19. Patah?

38 10 8
                                    

~Seseorang akan tertidur untuk bermimpi, lalu terbangun untuk mewujudkannya.~

🦋🦋🦋

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦋🦋🦋

Duduk di balkon sambil menyaksikan gemerlap lampu bangunan sekitar, dan langit malam dengan jumlah taburan bintang yang tak terkira, bertemankan angin sejuk dan sekotak susu stroberi. Merupakan momen yang jarang Aghiella lakukan akhir-akhir ini.

Duduk di atas lantai ubin yang lembab, membaca kata perkata halaman novelnya, novel pemberian seseorang yang sama sekali tidak ingin ia ingat kejadian saat itu. Hanya saja, kenangan singkat tersebut selalu terlintas melewati benaknya. Jaffres, Aghiella tidak tau kabar anak itu, seusai laki-laki itu mulai berubah dan menjauh selama sebulan ini, Aghiella tidak pernah lagi bertegur sapa, atau saling mengobrol seperti sebelumnya.

laki-laki dengan paras sempurna, matanya yang kian tajam dan teduh itu, terlalu sulit untuk ditebak apa alasan sifatnya yang berubah-ubah.

Helaan napas Aghiella menyatu dengan hembusan angin malam yang sejuk, membuka lembar-lembar novel yang ia baca, menceritakan tiap isi yang hampir persis dengan ia alami akhir-akhir ini.


"Sayang!"

Aghiella sontak berbalik ke arah sumber suara yang menyeru dirinya.
"Papa?" sahut Aghiella terkejut, seperti melihat hantu. Bersigap menyembunyikan novel di belakang punggungnya.

"Kamu ngapain di sini, malam-malam begini?" Tirto mendekat, menghampiri putri semata wayangnya yang sedang bersimpuh di balkon hanya seorang diri.

"Eee... enggak apa-apa, Aghiella lagi lihat bintang saja."

"Lalu, apa yang kamu sembunyikan di belakang mu itu?" Tirto memiringkan kepalanya, hendak mengintip sesuatu yang disembunyikan anak gadisnya itu.

"Bukan apa-apa, hanya buku," jawab Aghiella menyicit kecil. Sungguh ia takut sang ayah akan marah dan memaksanya untuk membaca buku pelajaran yang sama sekali ia tidak minat.

"Novel lagi?" selidik Tirto.

Aghiella menggeleng, lantas, percuma saja. Tirto lebih cepat bergerak, merebut buku novel yang ada di tangan Aghiella. Lalu menunjukkannya di depan wajah sang anak dengan tatapan datar.

"Papa tidak menyuruh kamu untuk membaca hal-hal yang tidak berguna seperti ini, nilai kamu itu kurang bagus, Aghiella. Kamu harus lebih giat membaca buku-buku pelajaran kamu!" Suara berat Tirto meninggi. Laki-laki berkacamata itu segera membawa pergi buku tersebut, tak mengindahkan panggilan dari Aghiella yang menyeru permohonan maaf.

"Pa, Papa jangan bawa buku Aghiella yang itu!" pinta Aghiella melangkah cepat, menyusul Tirto menuju belakang rumah.

"Kamu harus turuti kemauan Papa, Aghiella. Kamu tidak bisa membaca buku seperti ini terus-menerus!"

"Papa kenapa sih, selalu menentang kebahagiaan Aghiella? Kenapa selalu menuntut kesempurnaan nilai pada Aghiella?"

Langkah Tirto terhenti, masih membelakangi anaknya yang sudah bergetar menahan tangis.
"Papa cuma mau yang terbaik buat kamu, Aghiella." Tirto meremat buku novel di tangannya, suaranya kian memberat penuh penekanan.

"Papa mau yang terbaik, tetapi Papa berlaku tidak baik pada Aghiella. Selalu seperti ini jika Aghiella lagi butuh ketenangan. Aghiella capek belajar terus, dari pagi hingga sore Aghiella sekolah untuk belajar. Apa salahnya Aghiella istirahat Unu membaca buku lain, untuk kebahagiaan dan ketenangan Aghiella sendiri." Gadis itu menaikkan intonasi ucapannya, matanya tidak dapat lagi membendung buliran bening yang seenaknya mengalir begitu saja.

"Aghiella baca buku novel, karena Aghiella mau jadi penulis buku, Papa selalu tidak mengerti perasaan Aghiella." Pundak gadis itu bergetar, suaranya terisak sambil mengusap air mata di pipinya.

Tirto berbalik arah, mengguratkan ekspresi datar menatap teduh wajah putrinya.
"PAPA MAU KAMU MENJADI PENERUS KARIR PAPA, BUKAN MENJADI PENULIS TIDAK BERGUNA SEPERTI ITU!" gertak Tirto membulatkan mata emosinya.

Sesak demi sesak membaluti hati Aghiella, perkataan ayahnya seakan meruntuhkan semua harapannya selama ini. Tangisnya semakin deras mengalir walau tak bersuara lirih. Namun, hal itu lebih sakit dibandingkan meluapkan tangisnya dengan suara keras.

"Jika tidak bisa membuat bahagia setidaknya jangan dibikin sedih. Sampai harapan anaknya sendiri dipatahkan!" Gadis itu pergi meninggalkan sang ayah, membanting pintu kamar dengan kasar, meluapkan segala amarah kesedihan dengan membenamkan wajahnya menggunakan bantal.

Tidak bisakah sekali saja ayahnya memberi secercah bahagia untuknya. Disaat-saat seperti inilah ia merindukan sang ibu. Sosok yang tidak lagi hadir dalam kehidupannya, tapi masih tersimpan dalam hati dan angan yang ia ciptakan sendiri.

"Aghiella, buka sayang!" seru Tirto mengetuk pintu kamar putrinya. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Ia bergegas meninggalkan tempat tersebut, berdiri di depan tempat sampah di dapurnya, lalu melempar kasar novel itu kedalam tong berwarna merah muda tersebut.

"Buku tidak berguna!"

Next

*Hay readers, bagaimana dengan bagian ini?Nulisnya singkat aja deh, soalnya lagi fase galau banget hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Hay readers, bagaimana dengan bagian ini?
Nulisnya singkat aja deh, soalnya lagi fase galau banget hehe.

So, jangan lupa untuk Votement dan follow akun authornya yups.

Follow my Instagram @Rulls_4 *

Thank you

Bahagia Untuk Jaffress [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang