26. Pacar Rahasia?

42 6 8
                                    

~Sudah ditampar keras oleh keadaan, masih saja berpegang pada harapan~

~Sudah ditampar keras oleh keadaan, masih saja berpegang pada harapan~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


🦋🦋🦋

"PAK OKIS, TUNGGUUUU!" Suara nyaring Haikal melantun pagi itu, berlari setengah mati agar masih bisa menembus gerbang SMA Garuda Jaya, tempat ia bersekolah.

Pak Okis yang hendak menderek gerbang yang hampir menutupi setengah jalan itu, lantas berhenti mendengar ciutan suara keras yang memekakkan telinga.
"His, kamu ini selalu kesiangan, suara mu itu, loh. Sudah kayak toa pengumuman orang meninggal, saking kerasnya," oceh sekuriti paruh baya dengan perut buncitnya itu.

"Oalah, Pak. Saya itu punya penyakit mental yang melekat sejak dini, jadi harap maklum." Haikal berdrama.

"Lah? Memangnya kamu punya penyakit apa?" Alis Pak Okis menukik curiga.

"Kemiskinan."

"Itu bukan penyakit namanya, tapi kodrat kehidupan kamu," kata Pak Okis dengan geram. Mengangkat setengah pentungan yang selalu ia bawa.

"Pak, maaf lah, Pak. Saya telat karena teman-teman saya___" ia menjeda perkataan sambil menunduk.

"Apa? Cepat katakan, kenapa?" Pak Okis kepo.

"Kepo, yaaa?" Haikal tersenyum jahil.

"Jangan main-main, atau kamu tidak saya izinkan masuk!"

"Karena teman-teman saya sedang sibuk meloncati pagar di sana!" Tunjuk Haikal ke seberang pagar, terdapat tiga orang siswa sedang loncat dari pagar hingga derap bunyi tanah mengagetkan Pak Okis.

"Heh! Dasar brandal!" teriak Pak Okis hendak mengejar Jaffres, Elgra, dan Zicho.

"BAPAK! SAMPAI JUMPA LAGI, YAAA!" sorak Haikal ikut berlari dengan arah berlawanan sambil melambaikan tangan. Menjadi umpan untuk memancing perhatian Pak Okis memang ia dan Elgra ahlinya.

Mereka berlari berpencar, dan kembali bertemu di simpang koridor lantai bawah.
"Hahaha, seru juga mengelabui Pak Okis," ujar Zicho tertawa dengan nyaring. Tawa yang terdengar seperti suara lumba-lumba, begitulah kata Haikal menyebutnya.

"Tidak sia-sia kan, ide gue?" Jaffres tersenyum bangga. Sebagai pengutus ide untuk menjadikan Haikal sebagai pengumpan, ia merasa bangga karena sudah menerbitkan keberhasilan mereka.

"Gue haus habis lari, kantin yuk! Mumpung belum bel masuk," ajak Haikal. Napasnya memang tersengal-sengal kali ini. Begitu juga dengan keringat yang sudah membasahi seragamnya.

Bahagia Untuk Jaffress [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang