🐰 20 Sesal 🐰

830 62 1
                                    

20. Sesal

🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰



Mata cantik itu mulai mengerjap pelan. Perlahan terbuka kecil untuk menyesuaikan cahaya lampu temaram yang menerpa pandangan. Beberapa kali mengerjap untuk memastikan apa yang tertangkap penglihatan, dahinya mengernyit bingung kala berhasil menyadarkan diri seutuhnya.

Interior dinding yang didominasi warna hitam menampakkan tempat asing yang mencoba diingat. Bergerak pelan, perasaannya menjadi campur aduk kala ia merasakan kulitnya menyentuh sebuah kain halus. Tidak ingin hanya menduga duga, ia mulai mengintip bawah selimut yang ia kenakan.

Matanya membulat seketika saat mendapati tubuhnya tengah dalam keadaan telanjang bulat. Polos tanpa sehelai benang pun. Perempuan itu mulai mengedarkan pandangannya, iris hazzle kembali membulat semakin lebar kala ia mendapati sesosok tubuh kekar yang tengah terbaring di sampingnya.

Sontak saja ia menegakkan tubuhnya tanpa aba-aba. "Aw." Rasa pusing pada kepala membuat pergerakannya tertahan. Tangannya dengan cepat memegang ujung kening, memijit pangkal hidung sedikit untuk menghilangkan rasa nyeri di sana.

Tidak mendapati pilihan, ia mulai bergerak perlahan untuk menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Tangannya masih mempertahankan selimut tebal untuk menutupi tubuh yang diketahui dalam keadaan telanjang.

Saat matanya kembali melihat si pemilik tubuh kekar, saat itulah ia dapat melihat wajah tampan dengan alis tebal dan garis wajah yang kekar.

"Ali," ucapnya lirih.

Kelopak mata tertutup, dan saat itulah ia mulai mengingat kembali. Teringat akan semuanya. Teringat akan segalanya. Di mana ia yang tengah bermaksud untuk singgah sebentar di apartemen Ali menghindari hujan sebentar.

Hingga di mana ia merasa haus dan meminum minuman yang berada di lemari pendingin Ali. Saat itulah ia ingat kala secara tiba-tiba ia merasakan hal aneh pada tubuhnya.

Rasa Panas, gelisah, dan—bergairah.

Hingga—hingga semuanya terjadi. Di mana ia begitu membutuhkan. Di mana ia begitu membutuhkan sentuhan, belaian, kehangatan dan kepuasan.

Hingga tidak bisa ia pikir dua kali. Ia menerima kedatangan Ali. Dirinya menyambut kedatangan Ali dengan tangan terbuka.

Masih ingat betul ia akan semuanya. Di mana setiap belaian yang Ali berikan membawanya melayang. Setiap kecupan, sentuhan yang sepertinya selalu ia damba.

Masih ia ingat jelas kata-katanya yang penuh akan permintaan. Masih ia ingat jelas suara desahan memabukkan yang keluar dari bibirnya. Yang saat ini ia sadari betapa menjijikkannya suaranya saat itu.

Masih diingatnya dengan jelas. Saat ia berkata meminta pada Ali dengan tanpa beban. Meminta untuk disentuh. Dijamah. Dipuaskan. Meminta sesuatu yang menurutnya sangatlah salah. Illy menggelengkan kepala dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Illy mengingat semuanya. Hingga kenikmatan yang tidak sepatutnya ia dapatkan dapat ia rasa begitu saja. Hingga dapat ia ingat dengan jelas lolongan kenikmatan disertai teriakan sebuah nama yang tidak sepatutnya ia sebutkan dalam desahannya.

Oh tidak. Ia telah menjadi seorang pendosa. Tidak terasa air matanya luruh kala ia mengingat semuanya. Illy menangis dalam tundukkan kepalanya. Ia menangis dalam isakannya. Hingga tidak ia sadari, suara itu telah membangunkan pria di sampingnya.

Ali yang memang menjadi sosok itu tampak mengerjapkan mata kala indra pendengaran menangkap suara isak tangisan. Ali mencoba memperjelas pandangannya pada asal suara itu.

Dapat Ali lihat seorang wanita yang saat ini tengah menangis dalam ringkuk lilitan selimut tebal. Sosok yang sangat Ali kenali. Tidak akan Ali memperlihatkan wajah paniknya, karena Ali memang sudah menduga sebelumnya. Hal ini, pastilah terjadi.

"Ly," panggilnya lembut disertai tangan kekarnya yang menyentuh ujung kepala Illy.

"Jangan." Sontak saja Illy menepis tangan Ali. Tidak ingin suatu hal terjadi lagi. Meski ia sadari, semua ini terjadi karena berawal dari dirinya.

"Please. Jangan nangis," ucap Ali lemah lembut. Namun, hal itu malah membuat isakan Illy terdengar lebih kencang. Lebih memilukan.

"Ly. Tolong. Jangan nangis. Aku sedih liatnya." Ali berucap dengan mulai memberanikan diri untuk memegang lengan Illy.

"Jangan sentuh aku!" ucap Illy dengan nada yang mulai terdengar tinggi. Disertai rontaan dirinya pada Ali.

"Please, Va. Please." Tidak mengindahkan penolakan Illy, Ali tetap memegang kedua lengan Illy dan menariknya dalam pelukannya.

"Lepas, Li. Lepas," ucap Illy dengan amarah disertai tubuh yang meronta dalam pelukan Ali.

"Enggak. Nggak akan aku lepas sebelum kamu berhenti menangis." Nada Ali terdengar begitu tegas dengan Kungkungan pelukannya terhadap Illy yang semakin kuat meronta.

Illy masih menangis dan meronta. Dan Ali tetap bertahan meski ia harus mendapatkan pukulan yang bertubi-tubi pada dadanya dari Illy.

"Kenapa, Li? Kenapa?" tanyanya emosi dengan pukulan yang masih Illy berikan pada dada Ali.

"Maaf, Ly. Maaf." Hanya kata-kata itulah yang bisa Ali ucapkan pada Illy saat ini. Namun, siapa yang tahu dalam hatinya Ali merasakan kebahagiaan yang sejati.

"Kenapa kamu jahat sama aku?  Kenapa kamu tega sama aku? Kenapa kamu lakuin ini sama aku?" tanya Illy dengan nada yang terdengar memilukan. Apalagi, pukulan yang sebelumnya ia berikan bertubi-tubi kini tampak melemah.

"Maaf, Ly. Aku harus. Kamu salah minum. Kalau aku nggak lakuin ini, kamu bakalan lebih tersiksa." Ucapan Ali sontak saja membuat Illy mendorong tubuhnya secara kasar dan tiba-tiba. Dan hal itu pun berhasil membuat Ava terlepas dari pelukan Ali.

Dalam mata yang dipenuhi air mata, dan dalam pandangan nyalang, Illy menatap Ali dengan tatapan amarah. Tangannya terangkat untuk menunjuk wajah Ali. "Lebih baik aku tersiksa dari pada aku harus mengkhianati suamiku." Kata-kata itu Illy ucapkan dengan nada tinggi kembali.

Ali mengerti akan ucapan Illy. Tidak ingin menjadi pengkhianat bagi suaminya? Kata-kata itu begitu membuat laki-laki itu menjadi marah. Ali benci kata-kata itu. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.

"Aku mengkhianati suamiku. Aku berselingkuh dengan adiknya. Rasya pasti marah. Rasya pasti membenciku."

"DIAM!" Teriakan Ali yang begitu lantang berhasil membuat Illy diam begitu saja. Menghentikan Illy yang berkata-kata dengan nada frustrasinya.

Illy yang sedari tadi mengucapkan kata-kata yang begitu Ali benci tampak menunduk dalam ketakutannya. Jujur, selama bersahabat dengan Ali, ia belum pernah mendengar teriakan Ali.

Ali melebarkan matanya. Ia pun sama terkejutnya. Ali merutuki kebodohannya yang telah tidak sengaja membentak Illy. Ia yang merasa telah menakuti sang sahabat yang ia cintai tampak menjadi gusar.

Ia mengusap mukanya kasar dengan kedua telapak tangannya. Mencoba mengendalikan amarah yang sempat ia keluarkan. Dengan masih mengatur napas memburunya, Ali menatap nanar keadaan Illy

"Ly," panggil Ali dengan mencoba mendekati Illy. Namun, setiap Ali mendekati, Illy malah meringsutkan keberadaannya pada sudut ranjang.

"Jangan mendekat," ucap Illy di tengah ketakutannya.

Tak ingin Illy terjatuh, Ali pun menurutinya. "Ly—"

"Aku mau pulang." Potong Illy cepat pada ucapan Ali.

"Ly," panggil Ali lagi masih mencoba untuk membujuk Illy.

"Aku mau pulang," ucap Illy lagi dengan nada yang mulai meninggi kembali. Ali mengangkat tangannya tanda menyerah. Tak ingin Illy wanita yang ia cintai menjadi semakin tertekan.

"Pakailah pakaianmu. Aku akan antar kamu pulang." Selepas suara pintu tertutup terdengar, Illy mulai turun dari atas ranjang. Mulai berjalan ke arah kamar mandi dengan selimut yang masih melilit tubuh polosnya.

Tidak ingin berada lebih lama di sini, Illy memilih untuk mencuci mukanya saja.


🐰🐰🐰🐰🐰🔥🔥🔥🐰🐰🐰🐰🐰

Menjadikanmu Milikku (APL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang